Home » Gagasan » Irshad Manji: “Ada Kesesuaian antara Islam dan Homoseksualitas”
Irshad Manji bersama para pelajar Indonesia (Foto: Irshad Manji/facebook.com)

Irshad Manji: “Ada Kesesuaian antara Islam dan Homoseksualitas”

3.4/5 (5)

IslamLib – Akhir bulan April 2008 lalu, Irshad Manji berkunjung ke Jakarta untuk meluncurkan terjemahan buku bestseller internasionalnya, The Trouble with Islam Today. Edisi bahasa Indonesianya berjudul Beriman Tanpa Rasa Takut, dapat juga diunduh secara gratis dari situs http://www.irshadmanji.com.

Jaringan Islam Liberal mengundang jurnalis, feminis dan aktivis HAM yang sangat berani dan cemerlang ini ke sebuah diskusi singkat di Utan Kayu. Ia berbicara secara lugas dan terbuka tentang mengapa ia bukan seorang muslim moderat, perlunya pembaruan Islam, Quran, imperialisme budaya Arab dan ijtihad yang merupakan tradisi pemikiran kritis Islam. Berikut ini bagian dari pembicaraan tersebut.

 

Bagaimana respon masyarakat terhadap karya anda?

Saat The Trouble with Islam Today diterbitkan kurang lebih 5 tahun yang lalu, kontroversi pun segera merebak. Tiga minggu setelah penerbitannya, buku tersebut menduduki puncak jumlah penjualan buku terbanyak. Para tokoh Islam pun pada akhirnya menyadari bahwa orang-orang tidak membutuhkan persetujuan mereka untuk membaca buku ini.

Bahkan, akibat begitu kerasnya mereka mengutuk buku ini, banyak orang yang malah memutuskan untuk mulai membacanya. Para tokoh Islam itu pada akhirnya terpaksa melibatkan diri mereka dalam perdebatan – yang sebelumnya mereka kira bisa diabaikan begitu saja mengingat merekalah yang selama ini menentukan apa yang otentik dan apa yang tidak otentik.

Faktanya, orang-orang mulai membaca gagasan-gagasan saya serta tak peduli dengan pendapat para tokoh tersebut. Lebih jauh lagi, semakin banyak yang mulai melibatkan diri dalam perbincangan mengenai pembaruan Islam, bahkan tanpa persetujuan dari para ulama.

Banyak kaum muda Muslim yang mengirim e-mail pada saya dan mengungkapkan bahwa mereka sebelumnya merasa tidak akan mungkin mengemukakan isu-isu tersebut di rumah, madrasah ataupun masjid. Mereka pun bakal dikecam gara-gara mendiskusikan gagasan-gagasan saya dan mengutarakan pendapat mereka secara bebas.

Saya menyarankan agar mengkambinghitamkan saya begitu mereka dicaci maki oleh keluarga mereka – sehingga dengan begitu mereka dapat berdiskusi tanpa terbebani oleh stigma pribadi. Saya berani mengambil risiko ini karena satu-satunya persetujuan yang saya butuhkan hanyalah dari Pencipta saya – dan nurani saya. Itu saja, selain itu adalah politik belaka.

Setelah buku saya terbit, saya menerima banyak e-mail dari kaum muda Muslim di Timur Tengah yang meminta saya menerjemahkan buku ini ke bahasa Arab dan memuatnya di website. Sehingga mereka bisa membaca buku ini secara pribadi dan aman.

Mereka mengatakan, “Kami mungkin saja tidak bersepakat dengan poin anda, namun paling tidak kami dapat memperdebatkannya begitu kami mendapat akses menuju informasi tersebut.” Para pemuda itu benar-benar menginginkan perdebatan yang sejujurnya mengenai Islam.

Akhirnya, selain ke bahasa Arab, buku tersebut juga dierjemahkan ke bahasa Urdu dan Persia. Di Iran, buku ini dilarang total. Delapanbelas bulan kemudian, terjemahan Arabnya telah diunduh sekitar setengah juta kali, yang mengindikasikan adanya dahaga untuk meliberalisasi pola pikir kaum Muslim. Sayangnya, tidak banyak yang berani bersuara secara terbuka dan nyaring.

Ketakutan untuk berbicara terbuka tidak hanya terjadi di dunia Islam tradisional, namun juga di Amerika Serikat – di kalangan anak muda Muslim kelahiran Amerika yang masih saja bergumul dengan pengaruh budaya tribal Arab yang diterapkan oleh keluarga mereka.

Pernahkah terbersit di benak anda untuk meninggalkan Islam?

Sejak usia belia, saya kerap mempertanyakan bukan tentang apa yang saya yakini, namun tentang apa yang diajarkan pada saya di madrasah. Misalnya, saya diberitahu bahwa perempuan itu inferior atau lebih rendah dari lelaki dan karena itulah mereka tidak boleh mengimami sholat.

Saya lalu teringat pada ibu saya yang membesarkan tiga anak perempuan dan mengusahakan agar ketiganya mendapat makanan, pakaian, dan rumah yang layak dari gaji seorang tukang bersih-bersih. Bahkan di usia belia, saya tahu betul hal itu membutuhkan otak dan nyali. Saya fikir ibu saya tidak mungkin inferior daripada lelaki.

Dengan mengamati kenyataan yang ada, saya mengerti bahwa sebenarnya yang selama ini diajarkan pada saya di madrasah bukanlah iman, namun dogma. Bedanya adalah bahwa iman cukup aman ketika dihadapkan pada pertanyaan dan tidak pernah merasa terancam olehnya. Akan tetapi dogma -baik itu sosialis, Islamis, kapitalis, atheis ataupun feminis- sangatlah lemah dan rigid. Ia merasa silau di bawah sinaran pertanyaan.

Tidak mengherankan jika di usia 14 tahun, setelah mengajukan banyak pertanyaan yang salah, saya pun dikeluarkan dari madrasah. Saya kerap bergurau dengan kawan atheis bahwa dikeluarkan dari sekolah tersebut adalah satu-satunya bukti yang saya perlukan akan keberadaan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang! (tertawa)

Setelah dikeluarkan dari madrasah, saya pun berfikir: mengapa saya masih membutuhkan agama? Saya bisa saja membebaskan diri – berdiri sendiri, berfikir kritis, mencintai ilmu dan pendidikan yang saya dapat dari sekolah umum dan bergerak maju.

Namun kemudian saya menyadari, bahwa bisa jadi semua yang dikatakan oleh guru madrasah saya tentang Islam hanyalah kebohongan belaka. Atau bisa jadi ia memang seorang pengajar yang payah. Supaya adil pada iman saya, saya perlu mempelajari Islam sendiri dan saya harus melihat personalitas Islam yang otentik.

20 tahun selanjutnya saya gunakan untuk mempelajari Islam secara otodidak. Selama itu, saya mempelajari sisi feminis Islam yang tidak akan pernah diperkenalkan pada saya jika tetap bertahan di madrasah. Misalnya, saya belajar bahwa di masa Nabi Muhammad, pernah ada seorang imam shalat perempuan –dan nabi mendukungnya.

Saya mempelajari bahwa istri pertama Nabi Muhammad, Khadijah, adalah seorang pedagang kaya yang merupakan majikan Nabi selama bertahun-tahun. Bahkan menurut sejarah Islam tradisional, ialah yang melamar Nabi.

Saya juga mendengar tentang figur perempuan kuat lainnya, Rabiah. Menurut tradisi Islam, ia diberi pilihan empat orang lelaki untuk dijadikannya suami. Ia pun memutuskan untuk mewawancarai yang terpandai di antaranya, namun menyimpulkan bahwa orang itupun bahkan tidak cukup pandai untuknya. Akhirnya ia memilih untuk membujang, mengingat Quran memberi semua perempuan pilihan untuk begitu.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.