Home » Gagasan » Islam Liberal » Al-Ghazali, Qiyas dan Khazanah Islam Klasik yang Kreatif

Al-Ghazali, Qiyas dan Khazanah Islam Klasik yang Kreatif

4.4/5 (45)

IslamLib – Dalam Islam sunni, dikenal empat sumber utama untuk menetapkan suatu hukum agama: Quran, sunnah/hadis, ijma’ (konsesus ulama) dan qiyas. Qiyas biasanya dipahami sebagai analogi: sesuatu yang belum diketahui hukumnya dipadankan dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahui status hukumnya. Qiyas biasanya dipakai oleh fukaha Muslim (Muslim doctors of law) untuk menetapkan status hukum hal-hal baru yang belum pernah dibicarakan dalam Quran dan sunnah.

Seorang sarjana hukum Islam dari mazhab Maliki dan sekaligus juga seorang filsuf yang masyhur, yaitu Ibn Rushd (di dunia Latin dikenal sebagai Averroes; w. 1198), mengemukakan sebuah statemen yang menarik dalam karyanya yang terkenal, Bidayat al-Hidayah: bahwa teks wahyu jumlahnya terbatas, sementara peristiwa yang terjadi dalam sejarah manusia tak terbatas. Bagaimana mungkin teks yang terbatas hendak “coping with” atau menghadapi peristiwa yang tak terbatas?

Dulu, saat Nabi Muhammad hidup dan menerima wahyu, belum ada transaksi-transaksi perdagangan yang kita kenal sekarang: asuransi, future trading, penggunaan kartu kredit, lembaga perbankan, jual-beli lewat online, dsb. Pada zaman Nabi, praktek jual-beli menggunakan metode tradisional: yaitu tawar-menawar secara verbal seperti kita kenal di pasar-pasar desa kita. Belum ada praktek jual-beli dengan menempelkan label harga secara “fixed” sehingga menghindarkan proses tawar-menawar. Apakah praktek semacam ini diperbolehkan, padahal tidak ada contohnya dalam zaman Nabi?

Pertanyaan ini dijawab oleh Ibn Rushd dengan sebuah solusi, yaitu ijtihad atau penalaran rasional. Hanya dengan ijithad-lah manusia yang hidup di zaman sekarang bisa mengetahui hukum hal-hal baru yang tak pernah dijumpai pada zaman Nabi hidup. Apa yang dimaksud dengan ijtihad oleh Ibn Rushd pada daasarnya adalah qiyas atau analogi. Prosedurnya bekerja dengan proses seperti ini: Hukum hal-hal baru itu dianalogikan atau disepadankan dengan hal-hal yang sudah pernah ada dalam Quran dan sunnah asal ada kemiripan antara kasus yang lama dan baru itu.

Itulah yang disebut qiyas dalam hukum Islam. Diskusi mengenai qiyas dalam literatur hukum Islam sangat luas dan menarik sekali, terutama bagi mereka yang tertarik dengan diskursus hukum. Saya kira, sarjana hukum positif modern layak juga mempelajari prosedur qiyas yang dipakai oleh juris Islam klasik ini.

Dalam esei ini, saya mau membahas pendapat salah seorang ulama besar Islam dari abad ke-11 Masehi, yaitu Imam Ghazali. Nama ini, saya kira, dikenal oleh hampir semua umat Islam di kawasan manapun karena pengaruh gagasannya yang besar sekali. Dia bisa disetarakan dengan sosok seperti Thomas Aquinas dalam dunia Kristen. Al-Ghazali menulis sebuah rislah pendek tentang qiyas berjudul: Asas al-Qiyas (Dasar Qiyas).

Setahu saya, risalah ini jarang mendapatkan perhatian di kalangan sarjana Muslim di Indonesia, terutama di kalangan pesantren atau madrasah. Risalah ini, dalam pandangan saya, sangat penting karena di sana kita jumpai pendapat Imam Ghazali yang agak sedikit berbeda dengan para juris atau fukaha (ahli fikih atau hukum Islam) yang lain. Saya akan coba sarikan sedikit pendapat al-Ghazali di sana, dan kemudian pada bagian akhir saya akan kemukakan komentar saya.

Dalam debat soal qiyas di kalangan juris Muslim, ada dua blok besar: mereka yang setuju dengan qiyas, dan mereka yang menolaknya. Al-Ghazali bisa saya pandang sebagai pihak yang ada di posisi tengah-tengah. Pendapat al-Ghazali bisa saya sebut sebagai blok ketiga. Dia tak menerima qiyas secara penuh, tetapi juga tak menolaknya secara total. Al-Ghazali menerima qiyas dengan sebuah catatan. Dengan posisi ini, saya memandang al-Ghazali memiliki pandangan yang cukup unik di antara fukaha yang lain. Ini juga sekaligus menunjukkan kreativitas Imam Ghazali sebagai pemikir besar Islam dari era klasik.

Di mana letak perbedaan pandangan al-Ghazali dalam soal qiyas ini? Saya akan coba sederhanakan dalam penjelasan berikut.

Dalam pandangan fukaha Islam, apa yang disebut hukum agama, sumber utamanya hanyalah satu saja: yaitu apa yang disebut dengan tauqif atau petunjuk dari Tuhan dalam bentuk wahyu. Pertanyaan berikutnya: apakah di luar tauqif atau wahyu Tuhan ada sumber lain yang bisa dijadikan landasan untuk menetapkan sebuah hukum? Apakah akal manusia bisa menjadi dasar penetapan sebuah hukum? Di sini ulama Islam terpecah menjadi dua mazhab atau kubu besar.

Kubu pertama mengatakan bahwa tak ada sumber hukum di luar tauqif atau petunjuk wahyu. Kubu kedua mengatakan: ada sumber lain di luar wahyu, yaitu pendapat manusia yang dicapai melalui penalaran rasional. Dengan istilah lain: ijtihad.

Kubu yang pertama menghadapi pertanyaan yang sulit: Bagaimana jika wahyu tak mengatakan apapun tentang hal yang muncul belakangan? Bagaimana kita bisa menetapkan hukum bagi kejadian-kejadian pasca-wahyu?

Contoh sederhana: wahyu, baik dalam bentuk Quran atau hadis, tak pernah berbicara mengenai asuransi, sebab model transaksi itu tak ada pada zaman Nabi hidup. Jika kita mengatakan wahyu adalah satu-satnya sumber hukum, bagaimana umat Islam harus menghadapi model transaksi baru yang terus bermunculan dari waktu ke waktu?

Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh kubu kedua yang berpendapat bahwa akal manusia bisa menjadi landasan penetapan sebuah hukum agama. Apa yang disebut dengan akal di sini ialah ijtihad manusia. Karena itulah, di kalangan kubu kedua ini dikenal adagium seperti ini: al-syar’u imma tauqifun atau qiyasun – hukum agama (syari’at) itu ada dua: wahyu dan qiyas alias ijtihad manusia. Qiyas atau analogi, dalam pandangan kubu kedua ini, dipandang sebagai sumber hukum di luar wahyu atau tauqif.

Di sinilah al-Ghazali berbeda pandangan. Dia mengatakan bahwa qiyas bukanlah sumber hukum yang independen. Bagi dia, qiyas bukanlah murni hasil penalaran akal mansuai, melainkan ada elemen wahyu di sana. Dengan kata lain, an analogy cannot generate a legal determination (hukm) by itself and on its own. Qiyas tetap harus disandarkan juga pada wahyu atau tauqif.

Kenapa demikian? Penjelasannya adalah sebagai berikut. Seperti sudah saya sebutkan di muka, qiyas terjadi melalui prosedur seperti ini: Ada kemiripan antara kasus baru yang belum diketahui hukumnya dengan kasus lama (an existnglegal  case) yang sudah diketahui hukumnya melalui sebuah teks di Quran dan sunnah. Karena adanya kemiripan itu kemudian kasus yang baru dianalogikan dengan kasus yang lama itu. Kemiripan itu dalam teori hukum Islam disebut dengan “munasabah” atau korelasi.

Contoh sederhana adalah sebagai berikut: dalam Islam khamr (arak) diharamkan. Khamr ialah minuman keras yang terbuat dari anggur (‘inab), atau yang kita kenal dengan wine sekarang ini. Bagaimana dengan minuman-minuman keras lain yang terbuat dari bahan-bahan non-anggur? Apakah haram juga? Dengan prosedur qiyas, kita bisa mengatakan minuman-minuman keras yang bukan khamr diharamkan sebab ada kemiripan (alias munasabah) dengan khamr itu.

Kemiripan itu terjadi melalui apa yang dalam teori hukum Islam disebut dengan ‘illat (ratio legis) atau wasf (sifat, kualitas). Dalam kasus khamr dan minuman keras non-khamr itu, apa yang disebut dengan ‘illat atau wasf adalah kualitas “intoksikasi” (membuat seseorang mabuk). Baik khamr maupun minuman keras lain memiliki munasabah atau kemiripan dalam kualitas intoksikasi ini. Karena itu semuanya diharamkan dalam Islam.

Pertanyaannya: Apakah hukum keharaman minuman keras di luar khamr atau wine itu didasarkan pada tauqif/wahyu, atau melalui akal manusia alias qiyas? Menurut pendapat kubu kedua di atas, jawabannya jelas: melalui akal manusia. Sebab, yang jelas-jelas diharamkan melalui wahyu hanyalah khamr belaka. Hukum minuman keras yang lain tak diterangkan secara eksplisit dalam wahyu.

Menurut al-Ghazali: tidak. Keharaman minuman keras non-khamr tidak melulu melalui akal, melainkan ada unsur tauqif atau wahyu di sana. Sebab, dengan menggunakan istilah “khamr”, sebetulnya wahyu hendak menunjukkan bahwa yang diharamkan bukanlah hanya khamr belaka, tetapi setiap minuman yang mengandung kualitas “intoksikasi” atau memabukkan. Istilah intoksikasi adalah terjemahan dari “mukhamarah” yang merupakan turunan dari kata khamr. Jadi, kata al-Ghazali, ketika wahyu menyebut kata khamr sebetulnya yang dimaksudkan bukanlah khmar secara spesifik, melainkan setiap minuman yang mengandung kualitas “mukhamarah” atau intoksikasi.

Dengan kata lain, dalam wahyu sudah tersirat pengertian bahwa setiap minuman yang memabukkan adalah haram, walau yang disebut secara eksplisit hanyalah khamr saja. Dengan alasan seperti ini, al-Ghazali menolak teori kubu kedua bahwa “al-syar’u imma tauqifun aw qiyasun”  (hukum agama ada dua: kalau tak bersumber pada wahyu ya akal manusia atau qiyas) seperti disebut di muka.

Bagi al-Ghazali, semua hukum agama bersumber pada tawqif atau wahyu dari Tuhan. Tetapi al-Ghazali juga tidak sependapat dengan kubu pertama yang juga mengatakan bahwa sumber hukum hanyalah wahyu saja, tak ada yang lain. Perbedaan antara al-Ghazali dan kubu pertama itu adalah posisi keduanya terhadap qiyas. Sementara al-Ghazali menerima qiyas, kubu yang pertama itu menolaknya.

Tetapi, al-Ghazali menerima qiyas bukan sebagai sumber yang independen, seperti yang dikatakan oleh kubu kedua. Dia berpendapat bahwa qiyas tetap harus bersandar pada wahyu, tidak bisa berdiri sendiri sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Dalam qiyas, munasabah atau kemiripan dua kasus harus didasarkan pada ‘illat atau wasf (kualitas) yang disebutkan, baik secara eksplisit atau implisit, dalam teks wahyu. Jika tidak, maka ‘illat semacam itu disebut sebagai ‘illat yang mulghah, tak berdasar.

Komentar saya terhadap pendapat al-Ghazali adalah sebagai berikut. Posisi al-Ghazali semacam ini memperlihatkan dengan sangat baik posisinya sebagai intelektual sunni ortodoks. Pendapat al-Ghazali ini mewakili suatu arus pemikiran di kalangan mazhab sunni yang lebih condong pada wahyu ketimbang penalaran rasional.

Posisi intelektual Imam Ghazali ini bukanlah satu-satunya corak pemikiran dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Sebagaimana sudah saya perlihatkan di muka, dalam sejarah Islam kita kenal dua kubu besar: kubu tradisionalis yang lebih condong pada teks wahyu, dan kubu rasionalis yang menerima sumber-sumber ekstra wahyu untuk penetapan sebuah hukum.

Al-Ghazali mencoba berdiri di tengah-tengah, meskipun sikapnya lebih dekat pada kubu yang pertama. Sementara lawan polemiknya, yaitu Ibn Rushd, berdiri pada kubu kedua yang mengafirmasi adanya sumber-sumber ekstra wahyu dalam penetapan hukum agama.

Kekayaan pemikiran Islam klasik semacam ini memperlihatkan bahwa sejarah Islam bukanlah sejarah pemikiran yang monolitik, melainkan sejarah yang kaya dengan perbedaan pendapat, sejarah yang kreatif. Aspek ini yang hilang dalam perdebatan pemikiran Islam modern sekarang yang terperosok dalam kecenderungan takfir atau pengkafiran pihak yang berbeda pandangan.[]

 

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.