Aku pun akan berusaha untuk tidak melupakan bahwa pada kenyataannya hasil pemikiran para pemikir pendahuluku seringkali tidak kalah canggih dan rigorous dibanding pemikiran kiwari. Karena, aku pun menyadari bahwa – seperti ditulis, antara lain, oleh Franz Rosenthal – para ilmuwan dan ulama Muslim masa lampau juga memiliki persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat.
Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup telaten untuk membaca hasil pemikiran mereka, amat banyak masalah-masalah dan opini-opini yang terungkap dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah digarap juga oleh para pendahuluku itu.
Kenyataan bahwa perdebatan itu seringkali memakan waktu beberapa generasi, dan melibatkan begitu banyak pemikir yang memiliki berbagai latar belakang, tak urung akan membuatku berpikir :”Jangan-jangan apa yang mereka pikirkan malah lebih canggih dari apa yang sedang aku pikirkan sekarang.”
Tidak dengan demikian kemudian aku berhenti berpikir dan merasa cukup dengan hasil pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya makin mendorongku untuk mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan baru di atasnya, agar dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata rantai yang melanjutkan akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan itu.
Alhasil, sikapku terhadap otoritas keulamaan, termasuk otoritas keulamaan masa lampau, sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka dari prinsip-prinsip keliberalan sikapku dalam berislam, yakni prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.
Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu, aku akan selalu menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau kelompok lain, betapa pun pendapat itu segera tampak tak aku sepakati, asing, atau bahkan terdengar ofensif bagiku.
Aku akan berusaha sebisanya untuk memberi mereka the benefits of the doubt, sambil berupaya menerapkan kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini sebagai) benar tapi memiliki peluang untuk salah, dan pendapat orang lain (aku yakini) sebagai salah, tapi memiliki peluang untuk benar; juga bahwa, meski aku berbeda pendapat, hak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya akan aku junjung tinggi dan aku bela.
Karena aku percaya bahwa hikmah (kebijaksanaan) “tercecer” di mana-mana, di berbagai opini, dan bahwa aku berkewajiban memungutnya di mana saja aku menemukannya. Karena aku pun percaya bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah suatu rahmat, yang – jika kita sikapi dengan benar – akan memperkaya ilmu pengetahuan dan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran.
Dengan kata lain, makin melengkapkan pengetahuanku tentang kebenaran, mengingat kebenaran yang kita kuasai selalu bersifat parsial. Aku akan sepenuhnya sepakat dengan Abdul Karim Soroush bahwa kebenaran-kebenaran itu berasal dari sumber yang sama, dan bahwa satu kebenaran tak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya.
Untuk keperluan itu, sedapat mungkin aku akan bersikap seperti Imam Ghazali ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak mengkritik, kita harus berupaya untuk bisa memahami pendapat yang akan kita kritik itu seperti pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam Ghazali yang berjudul Maqashid al-Falasifah – yang sebenarnya merupakan ringkasan karya Ibn Sina – sempat dikelirukan sebagai karya Ibn Sina karena sifat empatik yang dominan terhadap pemikiran filosof yang sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras itu).
Seperti Luthfi Assyaukanie, aku percaya bahwa, bahkan dalam opini yang sepintas tampak bertentangan dengan pendapat kita, selalu ada peluang kebenaran yang bisa kita pungut. Pendapat Luthfi Assyaukanie bahwa Wahabisme – salah satu faham yang biasa dianggap sebagai sumber aliran “fundamentalisme” – sesungguhnya juga menyumbang kepada proses sekularisasi ketika ia mengritik mitos dan takhayul adalah contoh yang baik tentang sikap ini.
Demikian juga dengan contoh, yang juga dikabarkan Luthfi, tentang sikap Imam Ja’far Al-Shadiq, Imam Keenam Syi’ah – suatu mazhab yang lagi-lagi sempat melahirkan apa yang oleh banyak orang dinamai “fundamentalisme” – yang oleh Karen Amstrong dianggap sebagai menyimpan benih-benih sekularisasi (betapa pun aku masih perlu berfikir beberapa kali sebelum bisa menerima anggapan Amstrong itu).
Luthfi dan Syamsu Rijal Panggabean sudah amat bijaksana ketika meyakini bahwa keliberalan dalam pemikiran Islam memiliki gradasi, memiliki spektrum, dan sama sekali tidak monolit. Dalam kerangka ini, sebagai seorang Muslim liberal, aku akan menghindarkan sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita kritik, apalagi sinikal.
Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami pandangan kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural, menyesatkan (misleading) dan, dengan demikian, merusak obyektivitas kita. Sebaliknya, saya akan berhati-hati, dan bukannya malah kenes, dalam menanggapi opini yang tidak saya setujui itu agar suatu dialog yang produktif, konstruktif, dan saling memperkaya akan tercipta.
Meski, misalnya, para penganut pendapat yang tidak aku setujui bersikap negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu sadar bahwa mereka bukan guruku. Bukankah aku mengambil pilihan sikap liberal karena aku merasa bahwa kancah pemikiran harus selalu dibiarkan terbuka, pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku mengkritik mereka justru karena sifat tertutup, totalitarian, dan otoritariannya?
Juga, karena aku yakin, bahwa pada dasarnya makhluk yang bernama manusia ini bisa diajak berinteraksi secara persuasif, asalkan kita telaten dalam mengajukan hujjah-hujjah kita yang meyakinkan kepada mereka. Dan juga karena aku sadar bahwa jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu besar antara aku dan mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog yang produktif dan silaturrahmi yang tulus di antara kami.
Aku yakin bahwa ketidaksabaran untuk mendengar pendapat orang lain merupakan produk sikap sombong, merasa benar sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.