Andai aku seorang Muslim Liberal, aku akan melakukan sekularisasi terhadap pemikiran keislaman. Aku akan berusaha memisahkan sebisanya unsur-unsur yang sakral dari yang profan, dan mengembalikan unsur-unsur profan ke pangkuan pemikiran yang netral agama.
Karena aku yakin bahwa menyerahkan masalah-masalah profan ke wilayah pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena justru akan mempersulit diri dan mendorong munculnya sikap-sikjap reaksioner dan obskurantis, setidaknya bisa menimbulkan suasana yang menyesakkan (suffocating) karena ia bukan hanya menyelusup – melainkan “mengangkangi” — kesemua detil aktivitas kita secara tidak perlu.
Dan karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan akal yang dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya membimbing kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa sekularisasi ada batas-batasnya.
Bahwa, betapa pun, agama sebagai agama meniscayakan penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat sakral. Bahwa batas antara sekularisasi dan sekularisme – yang tidak aku sepakati – tidak selalu jelas. Setidaknya, kalau pun aku yakin bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan moral dan etika, aku sadar bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek kehidupan manusia yang mana pun.
Apalagi, aku juga tidak begitu yakin bahwa peran agama “hanya” sebatas memberikan aturan-aturan moral dan etika. Meski aku percayai dalam banyak hal bersifat kontekstual dan historis, aku juga yakin bahwa banyak juga teks-teks (nash) keagamaan yang berbicara mengenai soal-soal teknis yang menyangkut hukum, politik, ekonomi.
Menyisikannya sebagai ayat-ayat Madaniyah yang tak lagi relevan untuk masa-masa seperti itu, sebagai dilakukan oleh Ahmad Mahmud Thaha, tak selalu mudah. Kalau pun teks-teks yang bersifat seperti ini kita anggap tak lagi sakral penerapannya, aku tak bisa menutup sama sekali pintu untuknya. Karena siapa tahu ia masih juga bisa menjadi suatu sumber pemikiran di tengah berbagai sumber pemikiran nonkeagamaan.
Setidaknya kesemuanya itu masih bisa kita anggap sebagai – aku tergoda untuk meminjam ungkapan Nirwan Arsuka, meski kutahu amat kontroversial — “suatu fiksi besar, kanon raksasa, yang terbuka untuk terus-menerus ditafsirkan, sebagaimana orang kini menafsirkan Shakespeare atau Homerus.” (Hanya saja, jika Shakespeare dan Homerus bersifat zhanniy/probable baik dari segi wurud/transmisi maupun dilalah/kandungannya, nash keislaman jenis ini tetap saja bersifat qath’iy/pasti, setidaknya dari segi transmisinya yang bersumber dari Tuhan).
Atau, kalau kita pinjam istilah ushul fiqh, kalau tak bisa menjadi sumber peraturan primer (awwaliyyah), nash-nash yang bersifat kontekstual dan historis seperti ini setidaknya bisa menjadi sumber peraturan sekunder (tsanawiyyah). Wa Allah a’lam.
Aku juga akan memelihara concern bahwa Islam harus selalu ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab tantangan zaman. Aku percaya bahwa Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan sifatnya yang progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal, Allah selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru setiap saat (kulla yaumin huwa fi sya’n).
Bahwa dunia ini bukan suatu block universe. Maka ijtihad pun menjadi niscaya – Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau soko guru gerakan dalam Islam – demi menyahuti undangan Allah untuk menjawab tantangan-tantangan (ciptaan-ciptaan) baru itu. Tapi aku juga tahu bahwa ada bahaya untuk menjadikan agama sebagai “pelengkap penderita” dalam kita mencari jawab terhadap tantangan-tantangan zaman itu.
Maksudku, bukannya ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku memanipulasinya agar sesuai dengan keyakinanku yang bersifat a priori. Dengan kata lain, ajaran Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia subjected to keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku merupakan suatu sikap yang mengkhianati integritas intelektualku.
Kalau aku percaya pada kebenaran Islam, maka sikap yang ilmiah adalah menempatkannya sebagai sejajar dengan sumber-sumber kebenaran intelektual yang lainnya. Bahkan, dalam hal terjadi konflik yang tidak bisa aku selesaikan di antara keduanya, aku harus siap untuk memenangkan sumber-sumber keagamaan, meski hanya untuk sementara.
Karena, pada dasarnya, seperti aku ungkapkan sebelumnya, aku percaya bahwa hasil pemikiran intelektual yang sahih (atau qath’iy, menurut istilah keagamaannya) ultimately tak akan bertentangan dengan dengan teks-teks atau nash-nash yang dipahami secara sahih (qath’iy) pula.
Yang pasti, aku tak akan menjadikan keislamanku hanya sebagai sarana sosialisasi dan menghindarkan dari social punishment yang mungkin diberikan oleh lingkunganku yang kebetulan mayoritas menjadikan Islam sebagai bagian identitasnya. Karena, sekali lagi, kuanggap ini adalah suatu sikap yang mengkhianati integritas-intelektualku.
Dengan semua keyakinanku sebagai seorang Muslim liberal, pendekatanku terhadap teks-teks al-Qur’an, Sunnah, dan tradisi Islam selebihnya akan bersifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan melakukan distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan segala latar-belakang sosiologis, psikologis, dan kulturalku agar aku bisa meminimumkan subyektivitasku, kemudian melihatnya secara historis dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi (maqashid)-nya, untuk akhirnya mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan zamanku.
Ini sama sekali bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku tak punya pilihan lain jika hendak obyektif. Meskipun demikian, aku sadar bahwa hermeneutika memiliki jebakan-jebakannya sendiri, di setiap tahap dalam prosedurnya.
Mengenali diri adalah suatu pekerjaan yang, sejak zaman Yunani, diakui sama dengan mengenali Tuhan – the ultimate being. Karena itu, tak kurang dari suatu pertempuran besar (jihad akbar) – lagi-lagi, jihad melawan hawa nafsu – sajalah yang dapat membantu kita melakukannya. Kemudian, melihat secara historis dan kontekstual mengharuskanku untuk dapat memilih dari berbagai versi historis, latar belakang sosio-kultural dan psikologis yang berjalin berkelindan secara amat kompleks, kalau tak malah sering saling bertentangan. Dan seterusnya.
Karena itu, aku tak akan segan-segan belajar dari pemikir Muslim masa lampau, seperti kaum rasionalis Mu’tazilah, atau kaum Sufi, yang telah berupaya keras untuk memraktekan pendekatan ini lewat apa yang mereka sebut sebagai ta’wil.
Tapi, pada saat yang sama, aku juga akan mengambil manfaat dari orang-orang yang memujikan pendekatan literal, karena pendekatan seperti ini sedikit-banyak akan membantuku untuk mengendalikan keliaran spekulasiku pada saat aku hendak mencari makna hermeneutik teks-teks tersebut.
Ini, pikirku, barangkali sebab yang membuat bahkan Sufi se-“liar” Ibn ‘Arabi pun ngotot dengan makna asal kata-kata karena bagi orang-orang seperti ini ta’wil – sebagaimana hermeneutika – bukanlah mencari makna yang bukan orisinal, melainkan justru mengembalikannya kepada yang asal itu.
Akhirnya, sebagai muslim, meski liberal, aku akan selalu meminta pertolongan (‘inayah) dan petunjuk (hidayah) dari Allah SWT. Sang Kebenaran (al-Haqq) dan Sang Pemberi Petunjuk (al-Hadi), karena aku amat sadar kepada keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan bahwa Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran. Wallah a’lam bi al-shawab.
Artikel ini adalah makalah untuk Peluncuran Buku Wajah Liberal Islam di Indonesia, di Aula Universitas Paramadina, 18 Juli 2002.