Home » Gagasan » Islam Liberal » Hamid Basyaib: “Otonomi Individu Harus Terus Diperjuangkan”
Hamid Basyaib

Hamid Basyaib: “Otonomi Individu Harus Terus Diperjuangkan”

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

IslamLib – Selain bermasalah dari sudut teknis dalam definisi, batasan, dan ruang lingkup, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) juga menimbulkan pertanyaan tentang filosofi hubungan negara dan warga negara.

Apakah otonomi individu warga negara sudah begitu lemahnya sehingga mereka bersedia menyerahkan semua urusan pribadinya kepada negara? Berikut perbincangan Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIl) dengan Hamid Basyaib, peneliti Freedom Institute, Jakarta, Kamis, (9/3) lalu.

 

Mas Hamid, argumen pro-kontra RUU APP sudah marak dibeberkan media massa. Yang pro menganggap pornografi betul-betul telah mengancam moral bangsa. Sementara yang kontra kuatir akan dampak RUU APP jika isinya belum banyak berubah. Tanggapan Anda?

Saya harus akui tak terlalu mengikuti detail RUU ini. Tapi RUU ini sudah muncul sejak zaman Habibie, kira-kira 6 tahun lalu. Jadi sudah lama. Tapi yang patut disesalkan, para pencetusnya tak kunjung memperbaiki atau mengubah desain rancangannya.

Padahal mereka punya waktu begitu panjang. Kalau saja diubah, sebetulnya ia layak dibahas. Dalam keadaan masih seperti sekarang, dari sudut mekanisme perundang-undangan, RUU ini tak layak dibahas karena sangat buruk segi legal drafting-nya.

Di dalam ilmu hukum, spesialisasi legal drafting itu memang bagian yang sangat sulit. Karena itu, tiadanya kemampuan membuat legal drafting atau rancangan yang baik menjadi masalah besar negeri ini sejak dulu.

Itu sebabnya banyak orang mengkritik fakta bahwa hukum kita masih hukum peninggalan Belanda; dan itu benar. KUHP kita memang sudah ada sejak zaman Belanda, tepatnya pada pertengahan abad ke-19. Dan setelah 60 tahun merdeka, kita tak kunjung mampu membuat tandingannya atau versi asli bangsa sendiri. Mengapa?

Karena membuatnya secara baik memang sangat sulit. Itu sebabnya undang-undang kita yang lain banyak juga yang masih bermasalah dari sudut teknis. Masalah teknis itu misalnya mencakup soal definisi. Dalam suatu produk perundang-undangan, rumusan-rumusannya harus dibuat sejelas mungkin.

Kalau Anda menyebut “buah mangga”, buah mangganya harus jelas betul. Sehingga ketika di tiap pasal disebut kata “buah mangga”, ia akan mengacu pada buah mangga yang sama. Karena itu, dari awal saya katakan, RUU ini tidak memenuhi syarat untuk dibahas, karena begitu acak-acakan, begitu sembarangan. Itu yang pertama.

Kedua, istilah pornoaksi yang ada RUU ini juga hanya ada di Indonesia dan tak pernah ada di bumi manapun. Di kamus-kamus bahasa Indonesia pun tidak ada. Jadi, kita kadang-kadang suka membikin hal-hal yang aneh dan tak ada referensinya di manapun di dunia ini.

Tapi bagi yang pro, bagaimanapun UU ini tetap harus diadakan. Persoalan moral bangsa bagi mereka sudah demikian gawatnya. RUU ini dianggap salah satu jawaban…

Saya kira, argumen itu sudah berlebih-lebihan. Marilah bersikap rendah hati dan moderat dalam semua hal. Bahwa pornografi menjadi persoalan, sudah sangat jelas. Masalah itu terus ada di mana-mana sejak dahulu kala. Tetapi kalau dibilang sudah menghancurkan moral bangsa dan sebagainya, saya agak ragu. Buat saya, itu adalah penyimpulan yang berlebih-lebihan.

Yang kedua, kalau itu memang masalah, sebetulnya undang-undang yang sudah ada sudah cukup memadai untuk menanggulanginya. Di KUHP kita juga sudah ada pasal-pasal susila, dan ruang lingkupnya jelas sekali. Masalahnya kembali seperti hal-hal lain di berbagai bidang di negeri ini, yaitu soal law enforcementatau penerapan hukum yang tidak sungguh-sungguh. Jadi bukan soal ketiadaan undang-undang atau payung hukum.

Ini sama dengan soal korupsi. Isu korupsi sudah dimuat KUHP, lalu disempurnakan dalam Undang-Undang Anti-Korupsi tahun 1971. Kalau betul-betul dilaksanakan, berbekal semua itu, aparat sudah cukup punya landasan kuat untuk berbuat.

Tapi kita tahu, untuk memberantas korupsi pun kita masih membentuk komisi khusus. Macam-macam komisi yang dibentuk pemerintah itu sesungguhnya menunjukkan ketidaksungguhan aparat dalam menyelesaikan soal masing-masing. Kalau memang sungguh-sungguh mau kerja, sebetulnya kita tak perlu komisi-komisi; langsung saja diterapkan oleh aparat yang reguler.

Yang kontra RUU APP berpendapat, RUU ini terlampau bernafsu mengatur banyak hal, termasuk cara berpakaian orang, seni yang boleh ditampilkan, dan lain sebagainya. Apa implikasi paling buruk andai RUU ini disahkan dan konsisten diterapkan?

Itu sebetulnya masih mengandai-andai. Menurut saya, RUU ini tak akan lolos dalam pembahasan di DPR. Itu artinya, saya masih percaya pada kemampuan dasar para legislator kita. Sebab, barangsiapa yang punya kemampuan yang standar saja mengenai teknik pembuatan undang-undang, tentu mereka akan mempersoalkan rancangan ini dengan sangat serius. Karena dengan melihat sepintas saja, kita tahu bahwa pasal-pasalnya kabur dan tidak memenuhi syarat sebagai aturan yang mengikat masyarakat secara bersama.

Sebab yang namanya undang-undang itu bermaksud mengatur kehidupan bersama dengan cakupan seluas mungkin warga negara. Justru karena itu, harus diambilkan prinsip-prinsip yang paling umum, sembari tidak terlalu umum sehingga bisa disalahgunakan semau-mau orang. Di situlah seni sekaligus tantangan membuat undang-undang.

Karena itu pula, yang namanya RUU, di mana-mana susah membikinnya, apalagi mencakup ratusan pasal. Anda bisa bayangkan rumitnya merumuskan sebuah RUU yang misalnya berisi 200 pasal dan antara pasal-pasalnya tak boleh saling bertentangan. Nah, di dalam undang-undang kita, sebetulnya ada ratusan bahkan ribuan pasal yang kalau diperiksa satu persatu akan berbenturan dengan produk-produk yang sebetulnya nyaris sama.

Para pendukung RUU ini menyebutkan beberapa perkecualian, misalnya dalam aspek medis, budaya, dan lain-lain. Bagaimana soal perkecualian itu?

Itu sah saja dan secara hukum memang dimungkinkan. Misalnya, tanpa kita sadari, kita sudah lama menerapkan perkecualian-perkecualian di dalam hukum keluaga dan perkawinan. Secara umum, KUHP kita memang ikut hukum Belanda, tetapi umat Islam boleh membikin perkecualian-perkecualian, misalnya dalam soal hak waris.

Dalam sistem waris perdata Belanda, porsi waris laki-laki dan perempuan adalah satu berbanding satu. Sementara secara tekstual, Quran bilang laki-laki dapat dua kelipatan dari perempuan. Umat Islam umumnya ikut aturan itu. Tapi jangan lupa, ada juga yang ikut KUHP Belanda.

Artinya, perkecualian-perkecualian memang dimungkinkan. Makanya tadi saya katakan, sebuah undang-undang mestinya berlaku bagi sebanyak mungkin warga negara, bukan 100%, kecuali hukum pidana.

Dalam hukum pidana, kalau Anda terbukti membunuh, baik Anda orang Bali, orang Batak, atau orang manapun, aturannya tetap sama. Jadi, perkecualian-perkecualian dalam hukum perdata ada, dan perkecualian-perkecualian itu dengan mudah bisa ditanggulangi. Tapi masalah pokoknya bukan di situ.

Bagi mereka yang keberatan, baik orang Bali atau orang manapun, dengan mudah para promotor RUU ini bisa menjawab. Sebab ada banyak klausul yang mengecualikan. Mereka yang secara adat memang masih pakai koteka yang dari sudut prinsip-prinsip umum pornografis RUU ini sudah memenuhi kualifikasi porno, tetap saja bisa dikecualikan. Orang Jawa yang masih pakai kemben kalau mandi di kali sehingga pundak, dada, atau paha kelihatan, pasti dengan mudah bisa dikecualikan.

Makanya, poin pentingnya ada pada prinsip umum yang mengkualifikasi makna pornogarafi dan pornoaksi secara membabi buta dan serampangan. Karena itu, saya perlu merujuk tulisan Prof. Franz Magnis-Suseno yang 3 minggu lalu terbit di Suara Pembaruan.

Menurut saya, tulisan itu menjelaskan dengan sangat baik definisi beberapa kategori yang kita ributkan. Itulah contoh bagaimana suatu perkara dipikirkan dengan pengetahuan yang kuat dan matang. Ketika disajikan dalam bentuk yang pendek pun, semua menjadi jelas.

Nah, di tulisan itu, Prof. Magnis mengkritik RUU APP yang mencampuradukkan paling sedikit tiga kategori yang mestinya dibedakan, yaitu pornografi, erotika, indisensi atau ketidaksopanan. Menurut Prof. Magnis, itu tiga hal berbeda yang dicampuradukkan oleh para perumus RUU APP. Saya kira, kritik itu benar, tepat, dan sulit dibantah. Coba bayangkan, jika ada gadis muda yang katakanlah—maaf—pusarnya kelihatan; apakah itu masuk pornografi atau pornoaksi?

Pemandangan seperti itu paling jauh masuk kategori indesensi. Masak hanya gara-gara begituan orang harus dihukum? Itu tidak masuk akal! Soal tarian lain lagi. Tarian panggung dengan kostum tertentu bukanlah pornografi, tapi erotika.

Kecuali sang penari benar-benar menunjukkan tindak-tanduk atau gerakan yang mengarah pornografis. Karena itu, yang jadi soal adalah batasan pornografi yang mestinya dirumuskan secara cermat. Soal batasan bisa kita bicarakan panjang lebar, misalnya mencakup batasan usia, wilayah, kostum, adegan, dan lain-lain.

Karena semua itu tak ada dalam RUU ini, saya dapat mengatakan bahwa RUU ini dibuat dalam suasana kalap dan membabi buta. Hanya karena pornografi seolah-olah sudah begitu rupa, kita tidak lagi bisa berpikir jernih. Pornografi tentu saja masalah. Di seluruh dunia, tidak terkecuali di negara-negara liberal di Eropa Barat, ia tetap jadi masalah.

Karena itu, ia diatur sedemikian cermat agar tak lagi jadi masalah. Tidak ada negara modern, maju, dan beradab di dunia ini yang tak mengatur soal pornogarafi meski tak menggunakan undang-undang khusus. Hanya saja, mereka tak sedang berfantasi dapat menghilangkannya sama sekali.

Jadi soal teknik mengaturnya saja, ya?

Ya. Tapi soal ngaturnya itu yang jadi persoalan besar. Pengaturannya harus tepat, benar, hati-hati, cermat, dan diusahakan tidak menyengsarakan banyak orang, justru hanya karena semua tindakannya bisa dikualifikasi porno.

Di negara-negara maju sekalipun, barang-barang cetakan dan persebaran media porno selalu dibatasi. Di Amerika, majalah Playboy yang dianggap porno itu juga diatur. Kalau Anda berlangganan, pengirimannya akan ditutup plastik rapat. Jadi tak sembarangan juga.

Karena itu, jangan gampang-gampang menuduh negara-negara maju dan modern itu tidak bermoral sama sekali. Justru di negara-negara Barat yang modern itu soal ini diatur sebaik-baik dan secermat-cermatnya.

Anda mencium kesan RUU ini ingin memaksakan nilai-nilai moral tertentu pada level negara?

Itu lagi masalah yang sangat serius. Itu artinya, suatu versi pemahaman tentang agama, misalnya Islam, mau dipaksakan lewat instrumen negara. Banyak orang Islam yang juga tak setuju dengan pandangan yang mendefinisikan aurat perempuan secara berlebihan dan karena itu harus dicekal lewat undang-undang. Misalnya kasus jilbab.

Dari dulu, masyarakat di Riau, Sumbar, Makasar, Lampung, atau Palembang, telah mengenakan kerudung sejak muda dan itu tak pernah jadi agenda negara. Ada juga yang memakai kebaya yang agak berbelahan dan brokat. Saya ingat sekali, dulu ibu saya memakai brokat yang agak transparan dan itu tak ada urusan dengan undang-undang. Tapi lama-lama, kok mengarah pada persoalan hukum negara?!

Karena itu, kalau soal pakaian saja mau diatur negara sedetil-detilnya, itu sekali lagi bentuk pemaksaan atas salah satu versi pemahaman keagamaan di level negara. Karena itu, adalah tidak fair, betul-betul perlu ditentang dan diuji apakah pemahaman semacam itu sah untuk diselundupkan lewat instrumen negara sehingga punya kekuatan mengikat bagi semua orang secara nasional. Jadi, ada banyak komplikasi dalam undang-undang yang mengatur persoalan pribadi macam itu. Saya khawatir, kita sedang mengalami Talibanisasi.

Apakah kekhawatiran itu yang Anda tangkap ketika budayawan Goenawan Mohamad menulis kolom sembari memberi pilihan antara mempertahankan Indonesia dengan keragamannya atau negeri baru hasil RUU ini yang mirip gurun pasir yang kering kreativitas dan monoton?

Ya, pilihan itu beralasan sekali. Andai Mas pilihan itu diajukan pada saya, pilihan saya adalah jawaban (A): Indonesia yang kita cintai ini. Saya berani memastikan, Indonesia yang beragam ini jauh lebih baik daripada Arab Saudi atau umumnya negeri-negeri Arab.

Kita memang punya masalah di sana-sini seperti persoalan ekonomi dan korupsi. Tapi di sisi lain, arah negara kita saat ini jauh lebih sejalan dengan kehidupan yang normal, wajar, manusiawi, dan beradab, seperti yang dijalankan negara-negara maju. Itu yang harus kita ingat terus.

Meniru Arab Saudi menurut saya betul-betul pilihan yang memalukan. Bahkan ditinjau dari kacamata Islam yang saya pahami, sikap Saudi yang menindas perempuan saja sudah betul-betul memalukan. Sampai sekarang, Pemerintah Saudi tak juga mengizinkan perempuan menyetir mobil sendiri, dan mereka tak memberi KTP pada perempuan.

Saya betul-betul marah melihat fakta itu terjadi sampai saat ini. Jadi, kaum perempuan sebetulnya tak dihitung sebagai manusia. Karena itu, saya heran betul kalau ada orang-orang yang ingin menjadikan negeri itu model atau tertarik pada porsi-porsi kenegaraan dan kemasyarakatannya. Apanya yang mau ditiru?!

Anda melihat upaya mencicil proyek Talibanisasi Indonesia lewat RUU ini?

Saya kira indikasinya jelas. Bukan hanya pada RUU ini, tapi juga lewat fatwa-fatwa MUI pada Juli tahun lalu. Terkait fatwa-fatwa itu, kalau MUI diberi beberapa tetes kekuasaan, ia akan berubah menjadi rezim teokratis. Sebab fatwa-fatwa semacam itu sudah memenuhi syarat-syarat formal sebuah rezim teokrasi.

Dan dengan sendirinya, kekuasaan seperti itu akan otoriter dan bertentangan dengan demokrasi. Yang namanya teokrasi otomatis otoriter, sebab ia bersinonim dengan totalitarianisme. Hanya bentuknya yang beda-beda. Di Jerman, penguasanya bernama Adolf Hitler, tapi di tempat lain bernama sultan, shah atau raja. Tapi esensinya sama: totalitarianisme.

Inti totalitarianisme itu, negara ingin mengatur semua urusan individu warga negara, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Cara berpakaian, makanan, musik yang boleh dan tidak boleh, di mana harus bersekolah, dan apa isi kurikulumnya, diatur secara ketat agar sejalan dengan kemauan rezim. Dengan kata lain, semua cara dan prosedur hukum yang dibuat telah diabdikan untuk menjadikan warga negara sebagai robot, sebagai manusia-manusia yang tak berjiwa.

Karena itu, bagi saya sangat penting bagi semua warga negara republik ini untuk terus-menerus memperjuangkan otonomi individu masing-masing. Bukan hanya otonomi daerah yang perlu dituntut, tapi juga otonomi individu.

Dan percayalah, dasarnya ada: manusia itu baik sejak pertama diciptakan Tuhan. Nah, sekarang mengapa kita selalu ragu untuk mengakui bahwa manusia itu diciptakan Tuhan sebagai manusia-manusia yang baik?

Anda keberatan jika negara mengurusi semua persoalan warga negara sampai ke hal yang sekecil-kecilnya?

Benar. Masalahnya, negara modern hadir bukan untuk membatasi warganya, tapi justru demi memberi kebebasan. Rumus negara yang baik adalah yang kuat, tapi cakupan tugasnya terbatas. Tapi, negara kita justru sebaliknya.

Negara amat lemah dalam banyak hal, sehingga tak punya kemampuan menerapkan hukum secara adil, konsisten, dan tak pandang bulu, tapi terus-menerus berpretensi mampu mengatur semua hal dan makin memperlebar kawasan yang mau dia otorisasi atau urus.

RUU APP ini adalah salah satu contoh negara yang cerewet sekali mau mengurus hal-hal yang personal dari warga negara, sampai sedetail-detailnya. Karena itu, kita sangat menyesalkan bila ada warga negara yang justru membuka diri untuk diatur begitu rupa tanpa sadar konsekuensinya terhadap kehidupan pribadinya.

Pemerintah mestinya konsen saja pada hal-hal yang bisa melayani orang banyak, terutama yang tak mampu ditanggulangi warga negara per individu. Memperbaiki sarana transportasi adalah urusan negara, kecuali ada pihak swasta besar yang mampu menanganinya.

Artinya, masak kita tak percaya pada kemampuan diri sendiri. Mau jadi apa kita kalau semua urusan mau dilimpahkan pada negara? Maksud saya, pornografi itu memang masalah. Tapi mbok ya diatasi saja dengan wajar.

Selama masyarakat ini beradab, dan sebagian besar masyarakat di dunia ini memang beradab dan semakin banyak yang makin beradab, soal itu bisa diatur dengan kepala dingin. Yang jadi soal bukanlah pro atau anti pengaturan, tapi bagaimana definisi dan ruang lingkup pornografi itu dirumuskan agar tidak melebar ke arah-arah yang tidak semestinya.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.