Home » Gagasan » Islam Liberal » Islam dan Kebebasan: Dua Hal yang Saling Bertentangan?

Islam dan Kebebasan: Dua Hal yang Saling Bertentangan? Bagian Terakhir

4.17/5 (18)

IslamLib – Amar ma’ruf/nahi munkar dan polisi moral. Salah satu soal yang mengganjal dalam perkara kebebasan dan ketataan ini adalah isu amar-makruf nahi-munkar – memerintahkan yang baik, dan mencegah hal yang munkar, jahat, dibenci oleh agama. Tak ada sedikit pun masalah dengan ajaran yang sangat penting dalam Islam ini. Setiap orang beriman diperintahkan oleh agama untuk menganjurkan kebaikan kepada orang lain, serta mencegah kejahatan.

Adakah masalah dengan prinsip seperti ini? Tak ada! Ajaran ini sama sekali tak bertentangan dengan ide kebebasan.

Namun, benturan bisa saja terjadi jika ajaran ini dipahami secara “kurang tepat”. Berdasarkan prinsip amar makruf dan nahi munkar ini, muncul fenomena (atau sekurang-kurangnya kehendak untuk menegakkan) “polisi moral” atau, dalam istilah yang dikenal dalam hukum Islam, hisbah di beberapa negeri Muslim.

Polisi moral diadakan untuk melakukan pengawasan dan penegakan kode moral tertentu dalam masyarakat. Situasi ini bisa menyebabkan hilangnya kebebasan, sebab polisi moral biasanya tidak saja mengawasi moralitas masyarakat, melainkan juga memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar kode moral tersebut.

Contoh yang paling baik adalah fenomena polisi moral yang kita jumpai di negeri-negeri seperti Saudi Arabia. Saat waktu salat tiba, misalnya, polisi moral (biasa disebut di Saudi Arabia sebagai muttawwi’in) akan berkeliling untuk mengawasi siapa yang tak pergi ke masjid untuk melaksanakan salat.

Jika amar-makruf/nahi-munkar diterjemahkan dalam bentuk polisi moral seperti ini, kemungkinan adanya kontradiksi dengan ide kebebasan jelas besar.

Apakah fenomena polisi moral dibenarkan dalam Islam? Masing-masing orang bisa punya jawaban yang berbeda.

Tetapi jika kita telaah praktek dalam sejarah Islam, baik klasik atau modern, keberadaan lembaga ini sebetulnya sangat jarang kita jumpai. Dalam sejarah Islam klasik, praktek “hisbah” yang belakangan menjadi polisi moral sebetulnya dilaksanakan dalam wilayah terbatas yang menyangkut maslahat atau kepentingan publik.

Mula-mula, hisbah dipraktekkan untuk mengawasi praktek-praktek kotor dalam perdagangan di pasar umum – semacam lembaga perlindungan konsumen yang kita kenal saat ini.

Oleh para juris Islam, dalam perkembangan belakangan, pengertian hisbah ini diperluas maknanya sehingga mencakup wilayah moral yang sifatnya personal, tak langsung berkaitan dengan kemaslahatan pubik. Dari sanalah praktek polisi moral muncul, dan tentu saja menimbulkan masalah.

Dalam era modern ini, fenomena polisi moral jarang kita jumpai di negeri-negeri Muslim, kecuali di negeri-negeri tertentu yang mempertahankan praktek Islam yang ketat dan konservatif seperti Saudi Arabia atau Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban dahulu.

Ada perbedaan yang mendasar antara aparat penegakan hukum (law enforcement bodies) dan polisi moral dalam pengertian hisbah, dan sebaiknya keduanya jangan dicampur-adukkan.

Keberadaan aparat hukum bisa diterima dalam masyarakat modern karena sama sekali tak bertentangan dengan ide kebebasan. Tugas aparat penegakan hukum dalam negara modern ialah melindungi kebebasan seseorang dari gangguan orang lain.

Kita ambil contoh yang sederhana: pencurian. Dalam situasi ini, kebebasan dan hak dasar seseorang atas kepemilikan sedang diganggu atau diancam oleh tindakan si pencuri. Aparat hukum masuk dan turut campur dengan cara menghukum si pencuri untuk mencegah pelanggaran atas kebebasan dan hak seseorang.

Sementara dalam kasus polisi moral, yang kita jumpai justru hal sebaliknya: pihak aparat masuk untuk mencampuri dan mengganggu kebebasan seseorang. Polisi moral yang masuk ke ruang privat seseorang dan memaksanya untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggap bermoral menurut agama, misalnya salat atau puasa, jelas berlawanan dengan kebebasan orang bersangkutan.

Dalam kasus pencurian, jelas ada hak seseorang yang dilanggar, yakni hak milik. Dalam kasus seseorang meninggalkan salat atau puasa, tak ada satupun hak orang lain yang dilanggar.

Dalam kaca-mata agama, seseorang yang tak melaksanakan salat atau puasa jelas berdosa, tetapi dia tak melanggar hak publik siapapun. Oleh karena itu, aparat keamanan tak bisa ikut campur dengan cara memaksa orang bersangkutan melakukan dua tindakan tersebut.

Perihal hukuman apa yang akan diperoleh oleh orang yang berdosa karena tak menjalankan puasa atau salat, itu sepenuhnya wewenang Tuhan di kehidupan kelak, bukan yurisdiksi aparat keamanan duniawi dalam kehidupan sekarang ini.

Ada hal yang menarik jika kita telaah secara cermat jenis-jenis hukuman duniawi (hudud) yang dikenal dalam Islam. Dalam Quran, hanya sedikit tindakan kejahatan (crime) yang dikenai hukuman duniawi – pencurian, pembunuhan, zina, menuduh zina tanpa bukti, dan tindakan makar/terorisme.

Dalam Quran, tak ada hukuman duniawi bagi tindakan-tindakan seperti meninggalkan salat, puasa, minum arak, berpakaian tidak sesuai dengan aturan aurat (Islamic dress code) atau tindakan-tindakan lain yang dianggap berdosa dalam pandangan Islam.

Dalam kaca-mata Islam, dosa terbesar adalah syirik (shirk) atau menyekutukan Tuhan. Sebagaimana kita ketahui, tak ada hukuman duniawi apapun, baik di Quran atau hadis, bagi tindakan syirik. Hukuman bagi syirik sepenuhnya ada di tangan Tuhan dan akan diberikan kepada pelakunya nanti dalam kehidupan kelak.

Ini konsisten dengan prinsip kebebasan dalam keyakinan yang dicanangkan dalam QS 2:256: tak ada paksaan dalam agama. Ini juga sesuai dengan QS 18:29: Barangsiapa berkehendak untuk percaya, silahkan; barangsiapa tak berkehendak, dia boleh memilih untuk menjadi kafir atau tak percaya.

Kebebasan dan masalah privasi. Sebagaimana sudah kita lihat dalam paparan di atas, kebebasan adalah nilai pokok dalam ajaran Islam. Implikasi dari kebebasan adalah hak seseorang atas suatu privasi atau kehidupan pribadi yang tak boleh diintervensi oleh siapapun. Dalam masyarakat modern, hak atas privasi ini dianggap sebagai hal suci yang “haram” untuk dilanggar.

Ancaman atas privasi selalu ada, baik dalam masyarakat tradisional atau modern. Di zaman digital sekarang ini, isu privasi menjadi perdebatan yang sangat sengit antara mereka yang memperjuangkan hak-hak sipil dan pihak lain yang menonjolkan isu keamanan (national security), misalnya.

Dalam masyarakat yang menegakkan orde moral yang ketat, ancaman atas privasi biasanya datang dari polisi moral. Seperti dalam contoh-contoh yang saya kemukakan di atas, polisi moral punya kecenderungan untuk masuk dalam wilayah kebebasan pribadi seseorang. Kehidupan privat rawan dicampur-tangani oleh polisi moral.

Dalam hal ini, relevan dikemukakan sebuah pendapat dari al-Ghazali, seorang sarjana Muslim terkenal yang hidup di Baghdad pada abad ke-12 M. Ia menulis pembahasan yang panjang sekali dalam jilid kedua dari karyanya yang masyhur, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) mengenai perkara amar-makruf/nahi-munkar ini.

Al-Ghazali membuat sejumlah syarat atau “code of conduct” untuk pelaksanaan ajaran nahi-munkar. Salah satunya ialah bahwa apa yang disebut sebagai “munkar” yang layak dicegah itu haruslah sesuatu yang dilaksanakan secara terang-terangan di muka publik, bukan sesuatu yang dilakukan secara tersembunyi di ruang privat.

Al-Ghazali mengutip sebuah kisah mengenai Umar, khalifah kedua pasca-wafatnya Nabi. Di sana dikisahkan, suatu hari, Umar memanjat dinding rumah seseorang, dan kemudian melihat penghuni rumah itu melakukan tindakan yang tak senonoh (halah makruhah). Umar mendamprat orang tersebut. Lalu terjadilah percakapan berikut ini:

Orang itu: Wahai Sang Khalifah, kalaulah aku maksiat, paling jauh aku melakukan satu kemaksiatan (pelanggaran) saja. Tetapi engkau melakukan tiga maksiat sekaligus.

Tanya Umar: Kok bisa? Apa saja?

Jawab orang itu: Tuhan berfirman, “Janganlah kalian memata-matai,” (QS 49:12), dan engkau melanggarnya dengan mamata-mataiku. Tuhan berfirman, “Dan masuklah ke rumah orang melalui pintunya,” (QS 2:189), dan engkau masuk rumahku dengan memanjat atapnya. Tuhan berfirman, “Janganlah kalian masuk ke rumah selain rumah kalian kecuali rumah yang sudah kalian kenal (penghuninya), dan kalian mengucapkan salam terlebih dahulu,” (QS 24:27), dan engkau sama sekali tak mengucapkan salam.

Lalu Umar membiarkan orang itu dan meminta dia bertaubat agar tak mengulang tindakan tak senonoh itu kembali.

Kisah ini menandakan betapa berharganya kehidupan privat dalam Islam. Tindakan Umar yang melanggar privasi seseorang, dengan eksplisit justru dikritik orang tersebut dengan merujuk kepada sebuah ayat dalam Quran.

Freedom to sin. Istilah “freedom to sin” (kebebasan untuk berdosa) diperkenalkan oleh Mustofa Akyol, seorang penulis dan intelektual Muslim Turki. Istilah ini mungkin terdengar agak janggal, bahkan di telinga seorang konservatif, bisa membuat yang bersangkutan kebakaran jenggot.

Konsep “kebebasan berdosa” bukan berarti anjuran bagi seorang beriman untuk berdosa. Konsep ini hanya untuk memperlihatkan konsekwensi lebih jauh dari prinsip-prinsip Qurani tentang kebebasan seperti yang sudah saya ulas di atas.

Jika di hadapan seorang mukallaf terbuka kebebasan yang lebar – kebebasan yang menjadi landasan moral untuk pembebanan perintah dan larangan agama, itu berarti kebebasan untuk dua hal sekaligus: menaati aturan agama atau tak menaatinya. Baik tindakan taat atau tak-taat, tentu, memiliki konsekwensi masing-masing.

Jika pelanggaran (maksiat) itu menimbulkan kerugian dan gangguan atas hak orang lain (apa yang dalam hukum Islam disebut huquq al-adamiyyin, hak-hak anak-cucu Adam), maka terhadap orang itu dikenakan hukuman duniawi. Contoh yang paling gamblang: mencuri.

Sebaliknya, jika tindakan maksiat itu tak menimbulkan gangguan atas hak dan kebebasan orang lain, melainkan hanya melanggar hak Tuhan saja (huquq al-Lah), maka terhadap orang itu sama sekali tak dikenakan hukuman duniawi. Ia hanya mendapatkan hukuman di kehidupan kelak. Contoh: tak salat atau puasa. Atau contoh yang lebih “ekstrim” lagi ialah tindakan menyekutukan Tuhan, sebuah dosa yang dianggap paling besar menurut Islam. Terhadap dosa-maha-besar ini, Islam tak menerapkan hukuman apapun kepada pelakunya.

Dengan kata lain, selain kebebasan untuk taat, dalam Islam juga dikenal kebebasan untuk tidak taat, alias maksiat, berdosa, hingga batas yang paling jauh, yakni berdosa-maha-besar bernama syirik.

Sekali lagi, kebebasan berdosa bukan berarti anjuran untuk melakukannya. Konsep ini hanya untuk menunjukkan bahwa lingkup kebebasan sebagaimana dikenal dalam Islam sangatlah luas.

Tidak seperti yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat dan sarjana Islam saat ini, kebebasan bukan saja kebebasan untuk bertindak baik, melainkan juga kebebasan untuk tak berbuat baik.Tentu saja, jika perbuatan tak baik itu melanggar kebebasan orang lain, ia harus menanggung suatu konsekwensi publik, yakni hukuman.

Kebebasan dan konsep ikhlas. Roger Williams, seorang teolog Protestan Amerika yang hidup pada abad ke-19, dikenal dengan ucapannya yang masyhur, “Forced worship stinks in God’s nostril,” ibadah yang dipaksakan, baunya busuk di hidung Tuhan. Kutipan Williams ini menandai suatu tonggak penting dalam sejarah penegakan kebebasan agama di Amerika Serikat. Pernyataan Williams ini, dengan tegas sekali, menolak pemaksaan dalam ibadah; atau keyakinan secara lebih luas.

Adakah kita jumpai hal yang kira-kira serupa dengan ucapan Williams ini dalam tradisi Islam? Kutipan yang persis, tentu tak ada. Tapi marilah kita pertimbangkan dua konsep penting dalam Islam: ikhlas dan riya’.

Ikhlas adalah melaksanakan agama dan keyakinan secara murni untuk Tuhan, sementara riya’ adalah memamerkan ketaatan dan kesalehan untuk memenuhi “social pressure” atau menyenangkan publik. Riya’ biasa dimaknai sebagai pamer ibadah (showing off of piety).

Tindakan riya’ dikecam begitu keras dalam sebuah ayat yang turun di Mekah. Mereka yang memamerkan ketaatan untuk menyenangkan publik atau tunduk kepada tekanan sosial dikecam oleh Quran sebagai orang-orang yang menipu atau mendustakan agama. Dengan kata lain, tindakan hipokrisi atau kemunafikan. Ini bisa kita baca dalam QS 107:6.

Landasan keagamaan yang otentik, tiada lain, ialah kebebasan dan keikhlasan. Sementara keberagamaan yang palsu dan jauh dari semangat kebebasan ialah keberagamaan yang dipaksakan, entah melalui tekanan sosial, polisi moral, atau tekanan-tekanan yang lain.[]

** Disampaikan sebagai bahan ceramah di Seminar Agama-Agama (SAA) yang diadakan oleh PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) di Malang pada 19-22 Oktober 2015.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.