Home » Gagasan » Islam Liberal » Islam dan Kebebasan: Dua Hal yang Saling Bertentangan?
SONY DSC

Islam dan Kebebasan: Dua Hal yang Saling Bertentangan? Bagian Pertama

4.74/5 (19)

IslamLib – Kenapa isu kebebasan mesti dibahas di sini? Bukankah kebebasan, baik sebagai konsep maupun praktek, telah dianggap “self-evident” saat ini, sesuatu yang sudah benar dengan sendirinya, tanpa perlu pembuktian lagi?

Melalui tulisan ini, saya justru ingin menyanggah bahwa ia telah self-evident. Dalam praktek, konsep kebebasan, terutama dalam wilayah moral, kerap disanggah dan ditolak. Dan karena itu, soal kebebasan ini perlu ditelaah kembali, terutama dari sudut pandang Islam. Adakah justifikasi bagi konsep ini dari tradisi Islam sendiri?

Masalah inilah yang mau saya renungkan di sini.

Sebelum bergerak lebih jauh, perkenankan saya menyampaikan catatan kecil terlebih dahulu. Kata “Islam” dalam tulisan ini sengaja saya taruh di antara dua tanda kutip, sebab saya sadar apa yang disebut sebagai “Islam” bukanlah sesuatu yang monolitik, tunggal.

Jika dikatakan di sini “argumen Islam” tentu maksudnya bukanlah Islam sebagaimana adanya dalam pikiran Tuhan. Tak ada seorang pun yang memiliki akses terhadap pikiran-Nya. Yang dimaksud tentu argumen Islam sebagaimana saya pahami atau tafsirkan.

Tuhan memang telah mengirimkan pesan melalui Kitab Suci. Tetapi kita semua tahu, Kitab Suci menubuh dalam bentuk teks. Semua teks, seperti kita maklumi, kerap mengandung banyak penafsiran. Pemahaman seorang penafsir A terhadap ayat B dalam Kitab Suci, belum tentu sama dengan penafsir C. Begitulah seterusnya.

Begitu juga, pemahaman penafsir A yang hidup di zaman B belum tentu sama dengan penafsir C yang hidup di zaman D. Perbedaan pelaku tafsir serta di zaman kapan penafsir itu hidup, bisa mencetuskan lahirnya tafsir yang beda.

Kitab Suci memang berasal dari Tuhan. Tetapi pemahaman kita atasnya jelas merupakan hasil dari kegiatan manusiawi melalui otak dan penalaran. Karena itu, siapapun tidak bisa mendaku kemutlakan atas sebuah tafsir yang ia lakukan atas Kitab Suci.

Sebab manusia pada dasarnya adalah agen atau pelaku yang dikelilingi dengan sejumlah kelemahan dan keterbatasan-keterbatasan yang lahir karena wataknya sebagai makhluk yang meruang dan mewaktu.

Islam sebagai agama ketundukan. Secara harafiah, Islam berarti “ketundukan” (istislam) atau berserah-diri. Inti pokok Islam ialah sikap tunduk seorang manusia yang biasa disebut dengan hamba (‘abd) kepada Tuhan yang Maha Kuasa, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam Islam, dikenal dua istilah antinomik, yaitu taat dan maksiat. Taat ialah ketundukan seorang beriman kepada seluruh perintah dan larangan Tuhan; sementara maksiat ialah pembangkangan (disobedience) terhadapnya.

Ketaatan dipuji sebagai tindakan yang bajik dan memperoleh pahala, sementara kemaksiatan dikecam sebagai tindakan yang mendatangkan dosa dan hukuman, baik dalam kehidupan sekarang maupun nanti (alakhirah).

Dalam banyak ayat Quran, ditegaskan pentingnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat dengan formula seperti ini: athi’u ‘l-Laha wa rasulahu, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, banyak kita jumpai di Quran.

Di sana, ketataan diidentikkan dengan terciptanya situasi damai dan kasih-sayang dalam kehidupan sosial sebagaimana ditunjukkan dalam QS 3:132. Sementara ketidak-taatan, alias pembangkangan, terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, akan mendatangkan kekacauan dan instabilitas sosial sebagaimana terbaca dalam QS 8:46.

Bertentangankah ketaatan dengan kebebasan? Jika kontruksi Islam adalah sebagaimana saya utarakan tadi, apakah dengan demikian Islam bertentangan dengan kebebasan? Jika Islam adalah agama ketundukan, apakah ini berarti ketundukan yang mengesampingkan atau mengabaikan kebebasan?

Sebelum saya bergerak lebih jauh, perlu sedikit klarifikasi tentang makna kebebasan di sini. Apa yang saya sebut kebebasan di sini ialah tiadanya paksaan terhadap seseorang, entah untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Kebebasan yang saya mengerti adalah “the absence of coercion”, tiadanya paksaan yang datang dari otoritas atau kekuasaan yang ada di luar seorang individu – bisa berupa otoritas negara, agama, tradisi, komunitas, atau yang lain.

Istilah kebebasan di sini tidak saya maknai sebagaimana dalam perdebatan kalam atau teologi Islam klasik, yaitu berkaitan dengan free-will, kehendak bebas, dan kemampuan manusia untuk melaksanakan tindakan tertentu.

Meskipun, pengertian kebebasan dalam pengertian yang pertama tak bisa dipisahkan dari pengertian kebebasan kedua sebagaimana dipahami dalam ilmu kalam. Keduanya saling terkait.

Dengan pengertian seperti itu, apakah kebebasan kontradiktif terhadap ide ketaatan? Jawabannya: Tidak! Tak ada kontradiksi antara kebebasan dan ketaatan.

Berikut ini adalah penjelasan lebih jauh.

Kebebasan dan ketaatan adalah dua hal yang berbeda. Kebebasan adalah kondisi-asal, sementara ketaatan adalah sesuatu yang lahir setelah kondisi asal itu ada. Karena itu mempertentangkan antara kebebasan dan ketaatan sama sekali tidak masuk akal. Alih-alih bertentangan, keduanya saling mempersyaratkan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti.

Hubungan antara kebebasan dan ketaatan bisa kita setarakan dengan situasi berikut ini. Bayangkanlah dua situasi berikut: Situasi pertama, tersedianya sumber daya finansial, sebut saja uang; situasi kedua, keputusan anda untuk memakai atau tak memakai uang itu. Atau, jika memutuskan untuk memakainya, anda memiliki sejumlah pilihan: bisa menonton bioskop, membeli sabun, sepeda motor, atau sekedar gorengan.

Situasi kedua tak dimungkinkan jika tak ada situasi pertama. Anda tak memiliki kebebasan untuk membelanjakan uang jika tak memiliki situasi-asal terlebih dahulu, yakni ketersediaan uang.

Jika analogi sederhana ini bisa kita terima, marilah kita kembali ke isu semula. Kebebasan, seperti saya katakan tadi, adalah situasi-asal yang menjadi syarat lahirnya situasi kedua, yaitu ketaatan.

Seseorang tak bisa disebut individu yang taat jika ia tak memiliki kebebasan untuk taat dan tak-taat sekaligus. Kita tak bisa menggunakan kata taat dalam kasus lampu bohlam yang hidup atau mati karena anda memencet tombol sakelar, misalnya.

Kita tak bisa mengatakan, dalam situasi seperti ini, bahwa bohlam taat kepada perintah anda untuk hidup atau mati, kecuali secara metaforik (majazi). Sebab lampu bohlam tidak memiliki pilihan untuk hidup atau mati. Dia hanya bertindak sesuai dengan hukum alam yang berlaku bagi dirinya.

Kalau kita telaah Quran secara mendalam, tampak sekali bahwa seraya menekankan pentingnya ketaatan, Quran juga menaruh perhatian besar pada ide kebebasan sebagai kondisi awal yang memungkinkan adanya ketaatan (atau ketidak-taatan/kemaksiatan).

Sebuah ayat yang menarik kita jumpai di Quran: Wa qul al-haqqu min rabbikum, fa man sya’a fal yu’min wa man sya’a fal yakfur (QS 18:29). Terjemahan bebasnya: Tegaskan kepada mereka, bahwa kebenaran itu datang dari Tuhan kalian; terhadap kebenaran itu, mereka punya dua pilihan: menerima atau menolaknya, iman atau kafir.

Dalam banyak ayat di Quran juga kita jumpai penegasan tentang Tuhan yang tidak menghendaki keseragaman dalam prilaku manusia. Sebuah ayat terbaca sebagai berikut: “Dan manakala Tuhan menghendaki, bisa saja Ia menjadikan kalian sebagai bangsa yang sama dan seragam (ummah wahidah), tetapi Ia menghendaki adanya dua golongan: golongan yang mendapat petunjuk dan yang tersesat” (QS 16:93).

Kata ta’at sendiri, secara etimologis, memiliki pengertian “mampu”, selain makna ketaatan yang kita kenal selama ini. Dari akar kata yang sama, muncul kata “istitha’ah” yang artinya adalah mampu atau kemampuan. Baik kata istitha’ah dan tha’ah memiliki akar kata yang sama.

Dengan demikian, seseorang bisa disebut taat manakala ia memiliki kemampuan untuk taat. Pada orang itu haruslah ada kebebasan untuk memilih antara taat dan tidak taat. Hanya dalam situasi seperti itulah ia memiliki pilihan antara menaati perintah atau melanggarnya.

Kebebasan adalah kondisi-awal yang menjadi syarat seseorang melakukan tindakan ketataan atau ketidak-taatan.

Karena itulah, konsep taklif memiliki kedudukan penting dalam Islam. Taklif ialah kondisi seseorang yang memiliki tingkat kedewasaan rata-rata (dalam hukum Islam biasa disebut ‘al-rusyd’) yang membuat orang bersangkutan mendapatkan beban moral (taklif) untuk melaksanakan perintah Tuhan.

Dalam Islam, setiap individu yang telah dewasa disebut “mukallaf”, orang yang menyandang beban atau tugas moral. Sementara itu, seseorang bisa disebut mukallaf jika ia bernalar. Dengan penalaran itulah ia mampu memahami makna perintah atau larangan agama.

Seorang anak kecil yang belum bernalar, tak mendapatkan beban moral untuk melaksanakan perintah agama, sebab ia belum memiliki kemampuan untuk memahami.

Ibn Qudama (1147-1223 M), seorang juris Islam dari mazhab Hanbali, memberikan rasionalisasi yang menarik. Seseorang disebut taat (atau tak taat) jika ia, saat memutuskan untuk memilih taat, dengan sengaja melakukannya. Ia harus menyengaja ketaatan itu.

Sementara, seseorang bisa disebut menyengaja ketataan jika ia paham perihal arti dan makna dari perintah yang dibebankan kepadanya. Seorang anak kecil tidak memenuhi kondisi semacam ini, dan karena itu ia tak menjadi obyek moral bagi perintah atau larangan agama.

Demikian pula, seseorang yang kehilangan daya nalar, atau sedang tidur, atau sedang dalam keadaan dipaksa oleh orang lain (under duress), ia telah kehilangan kebebasan, dan karena itu, secara moral, ia tak lagi dibebani oleh perintah agama.

Kebebasan yang lahir dari kondisi kedewasaan dan kemampuan menalar menjadi fondasi penting dalam ketundukan dan ketaatan. Ketiadaan paksaan jelas menjadi syarat pokok seseorang menanggung beban moral. Karena itu, sangat logis jika Quran datang dengan penegasan yang maha penting ini: la ikraha fi al-din (tiada paksaan dalam agama, QS 2:256).[]

** Disampaikan sebagai bahan ceramah di Seminar Agama-Agama (SAA) yang diadakan PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) di Malang, 19-22 Oktober 2015.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.