Home » Gagasan » Islam Liberal » Jangan Menertawakan Agama!
(Photo credit: themediaproject.org).

Jangan Menertawakan Agama!

3.83/5 (6)

IslamLib – Menertawakan agama tentu bukanlah tindakan yang baik. Meski di negeri-negeri Barat yang menjamin kebebasan berekspresi, agama adalah salah satu obyek yang paling sering menjadi obyek olok-olok setelah raja atau pemimpin politik. Kalau Anda berada di pusat kekuasaan, entah agama atau negara, sudah pasti posisi Anda itu akan menggoda orang ramai untuk membuat olok-olok. Mereka yang kuat biasanya menjadi sasaran empuk.

Esei saya kemaren mengenai jenggot dan humor mendapatkan tanggapan yang sangat banyak  dari pembaca. Terima kasih.

Sebagian tanggapan itu mengatakan bahwa tulisan saya itu mengolok-olok agama. Juga mengolok-olok hadis Nabi. Sebab, ada hadis yang jelas-jelas memerintahkan umat Islam untuk memanjangkan jenggot. Kita, umat Islam, tak boleh mengolok-olok sabda Nabi. Melakukan hal itu sami mawon dengan mengolok-olok dan menghina agama.

Benarkah?

Saya, sebagai Muslim, tentu tak akan mengolok-olok Islam, agama yang saya cintai dan saya hayati dengan mendalam. Apa yang saya tulis kemaren bukanlah mengolok-olok Islam. Paling jauh, saya hanya mengolok atau mengkritik pemahaman segolongan umat Islam terhadap hadis mengenai jenggot itu. Kita harus membedakan antara mengkritik pandangan seseorang mengenai Islam dan mengkritik Islam.

Mengkritik pemahaman Si Polan tentang Islam tidak bisa disamakan dengan mengkritik Islam. Mengolok-olok pandangan Si Polan mengenai agama, tidak berarti mengolok-olok agama. Orang, tampaknya, cenderung menyamakan antara pendapat tentang Islam dengan Islam itu sendiri. Pendapat tentang agama adalah bersifat manusiawi, karena dilakukan oleh manusia. Bisa salah, bisa benar. Karena itu boleh dikritik, boleh diolok.

Bagi saya, mengolok sebuah pendapat adalah cara yang sah-sah saja. Biasanya seseorang mengolok pendapat tertentu karena bagi dia, pendapat itu tak layak mendapatkan respon yang serius. Tanggapan yang layak ya hanya olok-olok saja. Kita menjumpai pendapat-pendapat yang “olok-able” seperti ini bertebaran di media sosial.

Prof. Nasr Hamid Abu Zayd, sarjana Quran dari Mesir, menulis sebuah buku menarik, Naqd Al-Khithab al-Dini (Kritik Atas Wacana Agama, 1994). Di sana, Prof. Zayd membuat pembedaan yang penting antara agama (al-din) dengan wacana atau pemikiran mengenai agama (al-khithab al-dini). Agama sumbernya ilahiah. Sementara pemikiran mengenai agama adalah produk akal manusia yang relatif.

Saya ingin menyebut ini sebagai gejala “totalisasi”. Yang saya maksud dengan istilah yang sok mentereng ini adalah gejala mentotalkan pandangan sendiri, membuatnya menyeluruh (total), sehingga identik dengan agama. Akibat dari gejala ini adalah: orang-orang Islam menjadi mudah, istilah anak-anak Jakarta, “sensian”, mudah tersinggung.

Sedikit-sedikit, kita bilang; Ini menodai agama, ini menghina agama, ini melukai perasaan umat, dst. Gejala totalisasi dan “sumbu pendek” (mudah marah) ini membuat suasana dialog dan percakapan dalam umat Islam menjadi tidak “gayeng”, tidak asyik lagi. Suasananya menjadi tegang. Orang-orang yang terlibat dalam percakapan di sana juga, akhirnya, merasa tertekan dan tak bisa menyampaikan pendapat dengan leluasa. Khawatir dituduh menghina agama.

Karena itu, perlu ada pendidikan kritis tengah-tengah umat. Pendidikan kritis bukan artinya mendidik umat untuk rame-ramemengkritik agama, atau malah mencercanya. Tidak. Tak ada orang yang akan melakukan hal segila itu. Untuk apa? Yang perlu dilakukan adalah menanamkan sikap kritis.

Pendidikan kritis berarti umat belajar membedakan antara Islam dan pikiran/pemahaman orang Islam mengenai Islam. Keduanya tak boleh disamakan. Harus ada differensiasi, pembedaan. Kita bisa, dan boleh mengkritik pandangan seseorang tentang Islam. Dan itu tidak sama artinya dengan mengkritik Islam. Pandangan-pandangan saya mengenai Islam juga bisa, dan bahkan harus dikritik juga.

Imam Malik ibn Anas (w. 795 M), pendiri mazhab Maliki itu, berkata: Kullun yu’khadzu  min qaulihi wa yuraddu illa shahiba hadza al-qabr. Semua orang, kata Imam Malik, boleh kita dengar atau tolak pendapatnya, kecuali si empunya kuburan ini. Imam Malik mengatakan hal itu sambil menunjuk makam Nabi Muhammad.

Dengan sikap kritis semacam ini, umat Islam akan tidak gampang sensitif, tidak mudah tersinggung. Tidak mudah menyetarakan pendapatnya sendiri dengan Islam. Pendek kata: sikap ini mengajari umat untuk matang secara intelektual.

Jika saya menelaah sejarah Islam, tampak bahwa umat Islam di zaman lampau justru lebih matang dan dewasa ketimbang umat Islam sekarang. Umat Islam di zaman klasik dahulu lebih bisa menerima keragaman pendapat, dan lebih bisa membuat pembedaan yang tegas antara agama dan pendapat manusia tentang agama.

Saat ini, kemampun semacam itu, tampaknya, pelan-pelan merosot. Suatu perkembangan yang patut disayangkan. Boleh jadi, ini ada kaitannya dengan pola pendidikan agama dalam umat. Seperti pernah dikatakan Prof. Daoed Joesoef, umat Islam cenderung mempelajari agama sebagai “religion of fear”, agama ketakutan. Bukan “religion of reason”, agama penalaran.

Orang yang setiap hari dijejali dengan ancaman dan rasa was-was, tentu saja dia akan mengembangkan suatu mentalitas atau cara berpikir yang khas: yaitu mentalitas defensif; bertahan diri, takut pada hal-hal yang berbeda atau datang dari luar.

Bagaimana umat bisa “dientaskan” dari pola pendidikan yang semacam ini? Ini adalah tugas peradaban umat Islam saat ini. Tugas ini adalah tugas kolektif, tugas yang harus digotong oleh semua pihak di dalam umat Islam.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.