IslamLib – Saya tak ingat lagi kapan pertama kali saya mengenal nama John Shelby Spong, uskup gereja Anglikan dari Newark, New Jersey, itu. Jika tak salah ingat, nama itu saya kenal lewat Prof. John Titaley, rektor Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Saya beberapa kali bertemu dengan Pak Titaley dalam acara dialog antariman. Dalam suatu ceramah, dia menyebut nama ini dan langsung memikat saya.
Perkenalan saya dengan Spong kian mendalam setelah saya kuliah di Boston. Saya membeli sejumlah buku karangan dia. Ada tiga buku Spong yang menarik perhatian saya, dan saya baca dengan penuh antusiasme: Liberating the Gospels (1997), Here I Stand (2001), dan The Sins of Scripture (2005). Buku yang terakhir ini (saya beli tak berselang lama setelah terbit pada 2005), benar-benar “mengganggu” saya, meneror pikiran saya.
Walau Spong menulis sebagai seorang Kristen, tapi protes-protesnya terhadap apa yang ia sebut sebagai “dosa Kitab Suci”, langsung menohok iman saya sebagai seorang Muslim. Sebab, baik Yahudi, Kristen maupun Islam, pada dasarnya, berpijak pada landasan paradigmatik yang kurang lebih sama. Ketiganya berada di bawah payung besar warisan Abrahamik. Baik Kristen maupun Islam memandang dirinya sebagai kelanjutan dari tradisi profetik atau kenabian yang ada dalam agama Yahudi.
Oleh karena itu, kritik pada salah satu tradisi agama dalam lingkungan semitik, sama saja dengan kritik terhadap yang lain juga. Renungan-renungan Spong yang krtitis terhadap Bible, bagi saya, langsung atau tidak, juga relevan dalam konteks Quran. Dalam The Sins of Scripture, Spong menunjukkan bahwa ada masalah dengan Kitab Suci, yakni bagian-bagian di sana yang sudah tak bisa lagi diterima dalam standar keadilan dan moralitas masyarakat modern.
Apa yang oleh Spong disebut sebagai “the sins of Scripture” adalah: those terrible texts that have been quoted throughout Christian history to justify behavior that is today universally recognized as evil. Yaitu teks-teks suci yang kerap dikutip untuk membenarkan tindakan yang sekarang dipandang jahat. Pada masa lampau yang jauh, tindakan itu mungkin dianggap normal.
Saya akan mengambil satu contoh saja yang dikutip oleh Spong. Kemudian saya akan membandingkannya dengan ayat dalam Quran yang juga saya anggap “musykil” atau problematis. Lalu kita lihat bagaimana cara untuk mengatasinya.
Spong mengutip sebuah ayat dalam Kitab Ulangan 21:18-21. Ayat ini berkenaan dengan hukuman untuk anak degil/durhaka. Anak yang durhaka ialah anak pembangkang yang tak mengikuti nasihat orang tua, bahkan setelah dihajar sekalipun. Hukumannya, menurut agama Yahudi: ia harus diseret ke tengah kota. Seluruh penduduk kota harus melempari anak itu dengan batu hingga mati.
Saya tak yakin ada orang Yahudi, bahkan yang paling ultra-ortodoks sekalipun, yang masih mau melaksanakan hukuman semacam ini. Jika ada orang atau kelompok masyarakat yang atas nama “melaksanakan firman Tuhan” hendak menghajar seorang anak degil dengan hukuman seperti ini, tentu dia harus berhadapan dengan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Alih-alih melaksanakan perintah Tuhan, dia akan dianggap kriminal.
Inilah contoh ayat yang musykil, problematis, bagi Spong. Apakah hukum moral semacam ini harus tetap dilaksanakan di sekarang? Banyak sekali ayat-ayat semacam itu, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, yang menjadi telaah dan renungan kritis Spong. Ingat, Spong bukanlah seorang yang benci Kristen. Dia juga bukan seorang agnostik atau ateis. Dia adalah seorang uskup – jabatan keagamaan yang sangat tinggi dalam agama Kristen.
Pertanyaannya: Apakah ada ayat semacam ini dalam Quran? Jawaban saya: Ada. Mari kita telaah contoh ayat dalam Quran yang kurang lebih sejajar dengan ayat-ayat musykil dalam versi Spong. Saya akan ambil contoh sebuah ayat dalam Surah Al-Maidah (5), nomor 33.
Terjemahan ayat itu (saya ikuti versi Departemen Agama, dengan sedikit modifikasi dari saya): “Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi tak lain ialah mereka harus dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan selang-seling, atau dibuang dari negeri (tempat kediaman mereka).”
Ayat di atas, oleh para ahli hukum Islam (fuqaha) dipakai sebagai dasar untuk menetapkan hukuman bagi pelaku kejahatan hirabah. Hirabah ialah perampokan (baik berkelompok atau sendirian) yang melibatkan pengambilan secara paksa harta serta pembunuhan. Hirabah bukan perampokan biasa, melainkan perampokan yang dilakukan di jalan (semacam “bajing lompat” di daerah Sumatera). Kejahatan ini sering terjadi di padang pasir.
Hukuman untuk kejahatan ini, sebagaimana disebut dalam ayat di atas, ada empat opsi: dibunuh, atau dibunuh plus disalibkan, atau dimutilasi dengan cara dipotong tangan dan kakinya secara selang-seling, atau diusir dari daerah tempat tinggalnya.
Kita boleh bertanya: Apakah hukuman semacam ini masih relevan sekarang? Menghukum dengan cara dibunuh dan disalibkan di tempat umum? Bukankah ini hukuman yang sering dipraktekkan oleh ISIS?
Ayat ini, bagi saya, adalah ayat musykil, problematis, sama dengan ayat dalam Kitab Ulangan di Perjanjian Lama yang dikutip oleh John Shelby Spong di atas. Kenapa problematis? Sebab hukuman bunuh-cum-salib jelas tak bisa lagi diterima oleh rasa keadilan masyarakat modern. Hukuman semacam ini sudah dianggap sebagai praktek dari zaman lampau yang tak sesuai lagi dengan rasa keadilan manusia sekarang.
Tak boleh kita lupakan, hukuman badan berlawanan dengan Konvensi Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) 1966, artikel no. 7. Hukuman itu juga bertentangan dengan konvensi PBB 1984 yang melarang penyiksaan dan segala bentuk tindakan atau hukuman yang tak manusiawi, alias merendahkan derajat manusia.
Kecuali kalangan fundamentalis yang dengan keras kepala mau melaksanakan firman Tuhan secara harafiah, tak peduli apapun keadaannya, saya kira tak ada seorang Muslim pun yang berpandangan saat ini bahwa perampok harus dihukum bunuh dan disalibkan di ruang terbuka, menjadi tontonan khalayak ramai, persis seperti yang dilakukan oleh ISIS selama ini.
Berhadapan dengan ayat-ayat yang musykil ini, Spong mengajukan pertanyaan yang menarik: Do we honor God when we assume that the primitive consciousness found the pages of scripture, even when it is attributed to God, is somehow righteous?
Dengan kata lain: Apa benar kita telah memuliakan nama Tuhan dengan berasumsi bahwa ayat-ayat yang sudah tak sesuai dengan semangat zaman dalam kitab suci itu masih bisa kita berlakukan hingga sekarang? Bukankah dengan tindakan itu kita malah menistakan nama Tuhan, karena Dia akan menjadi olok-olok dunia?
Bagaimana solusi atas perkara ini dalam versi Islam? Saya ingin mengutip pendapat Prof. Fazlur Rahman, sarjana Muslim asal Pakistan yang pernah menjadi guru Cak Nur dan Buya Syafii Maarif di University of Chicago. Kata Rahman dalam Islam, bukunya yang sudah klasik itu: This clearly means that the actual legislation of the Quran cannot have been meant to be literally eternal by the Qur’an itself. (hal. 39).
Menurut Rahman, bahkan Quran sendiri tak pernah menghendaki bahwa ayat-ayat “musykil” itu berlaku abadi. Sebab, yang dikehendaki oleh Quran bukanlah bentuk formal hukuman itu sendiri, tetapi spirit dan “ratio legis” (alasan legal) di balik hukuman tersebut.
Jika kita pakai pendekatan Rahman, makna ayat dalam QS 5:33 itu adalah: kejahatan perampokan harus dihukum sekeras-kerasnya. Sebab melibatkan tiga hal sekaligus: teror, perampokan dan pembunuhan. Tetapi hukuman yang keras bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman, tak harus berupa pembunuhan dan penyaliban seperti disebutkan dalam Quran. Dia bisa berupa hukuman penjara dalam waktu yang lama.
Baik Spong dan Rahman telah menyelamatkan orang beriman dari kemusykilan berhadapan dengan ayat-ayat yang problematis. Kita patut bersyukur pada mereka. Sebab mereka adalah “the saviour of faith from deadly skepticism”, penyelamat iman dari keraguan yang melumpuhkan.[]