IslamLib – Tantangan yang cukup berat saat ini ialah memisahkan kaitan yang sudah begitu tertanam dalam di pikiran sebagian publik antara Islam dan kekerasan. Di tengah-tengah meluapnya tindakan kekerasan atas nama Islam sekarang ini, tentu amat susah membawa suara yang lain tanpa dituduh apologetik — bahwa Islam tidaklah identik dengan kekerasan. Terutama di Barat. Di sana, Islamofobia sedang marak akhir-akhir ini.
Chaiwat Satha-Anand, profesor ilmu politik di Universitas Thammasat, Bangkok, dan sekaligus kolega dekat Gus Dur dan Cak Nur, mencoba untuk bersuara lain dan melawan arus. Ia mencoba merumuskan suatu teologi nirkekerasan. Dia memberikan ceramah dalam seri Nurcholish Madjid Memorial Lecture ke-9 di Universitas Paramadina, Rabu lalu, 6/10.
Prof. Satha-Anand mungkin satu di antara sedikit sarjana Islam modern yang mendedikasikan waktunya untuk riset di bidang “non-violent politics”, politik nirkekerasan. Riset di bidang ini memang tak akan mendatangkan popularitas yang cepat seperti kajian di bidang-bidang yang cukup “seksi” seperti Islam dan politik, Islam dan demokrasi, Islam dan keadilan jender, Islam dan sekularisasi, etc.
Tetapi Satha-Anand, sejak kurang lebih dua puluh tahun terakhir, dengan konsisten mengembangkan riset di bidang yang kurang populer ini.
Satha-Anand memiliki sebuah tesis menarik yang ia sampaikan dalam ceramahnya malam itu: bahwa nirkekerasan jauh lebih efektif sebagai metode perjuangan untuk perubahan. Sekilas, tesis ini tampak “counter-intuitive”, melawan akal sehat. Bagaimana mungkin metode perjuangan nirkekerasan bisa lebih manjur ketimbang metode kekerasan?
Bagi sebagian kalangan, metode nirkekerasan bisa dianggap sebagai tindakan kepengecutan (cowardice). Dalam situasi di mana terjadi “perang” antara “kami” melawan “mereka”, metode ini bisa dianggap sebagai lelucon yang tak masuk akal. Insting “survival” kita mungkin juga mendiktekan corak berpikir tertentu yang sederhana: jika kami diserang, maka kami tentu akan melawan balik. Fa-mani ‘tada ‘alaikum fa’tadu ‘alaihi bi mitsli ma ‘atada ‘alaikum, demikian ditegaskan dalam Quran (QS 2:194). Jika kalian diserang, seranglah balik.
Hukum balas-membalas adalah hal yang alamiah dalam masyarakat manusia. Bagaimana Prof. Satha-Anand bisa datang dengan ide yang “eksentrik” dan “counter-intuitive” ini?
Tak bisa disangkal, ada pengaruh gagasan Gandhi dalam formasi pemikiran Prof Satha-Anand mengenai nirkekerasan ini. Gandhi, seperti kita tahu, datang dengan sebuah ide yang tak lazim: satyagraha, perlawanan nirkekerasan, civil resistance.
Metode nirkekerasan tidak sama dengan duduk pasif tanpa melakukan apapun. Jalan nirkekerasan bukanlah tindakan eskapisme, lari dari kenyataan dengan cara mundur ke dalam pasifisme total. Sama sekali tidak. Jalan ini adalah jalan aktif, melibatkan tindakan konkret untuk melawan situasi ketidak-adilan, menentang kondisi yang tak ideal. Jalan nirkekerasan, dengan kata lain, adalah perjuangan untuk perubahan. Ia juga sebentuk konfrontasi. Tetapi, ia adalah perlawanan dan konfrontasi yang tak memakai kekerasan sebagai opsi utama.
Diskursus mengenai nirkekerasan bukanlah hal baru dalam sejarah pemikiran Islam, meskipun tak ada istilah khusus untuk itu. Hanya dalam bahasa Arab modern, kita baru mengenal istilah la ‘unfiyya. Prof. Satha-Anand mencoba mencari basis teologis untuk ide nirkekerasan dalam teks fondasional Islam. Ia mengutip sebuah ayat dalam Surah Al-Maidah:32. Ayat ini memuat suatu deklarasi moral-etis yang sangat tegas, tanpa ambiguitas sedikitpun: membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh manusia.
Manusia sebagai individu, dalam terang ayat di atas itu, adalah keseluruhan manusia itu sendiri. Satu manusia sama dengan semua manusia. Setiap orang adalah cerminan dari keseluruhan manusia sebagai spesies, sebagaimana satu butir pasir di pantai adalah gaung dari seluruh planet dan benda-benda di seluruh alam semesta. Membunuh satu manusia, dengan demikian, sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia.
Prof. Satha-Anand menjadikan ayat ini sebagai basis untuk gagasannya tentang pentingnya menjaga seluruh nyawa manusia, tanpa kecuali. Hanya dalam kondisi khusus tindakan menghilangkan nyawa orang lain dimungkinkan menurut Quran: yaitu pembalasan/hukuman atas dua hal — pembunuhan (disebut dengan hukuman qisas; meski, kita tahu, hukum darah balas darah ini pun sekarang sudah sulit diterima) atau tindakan perampokan yang disertai dengan teror (disebut kejahatan hirabah dalam hukum Islam).
Dengan kata lain, pembunuhan dimungkinkan dalam situasi yang sangat spesifik, sebagai tindakan “last resort”, jalan terakhir. Sementara dalam situasi yang normal, diktum moral yang berlaku ialah keharusan merawat kehidupan, menjaga nyawa seluruh umat manusia. Hukum Islam sendiri memang mengenal apa yang disebut maqashid al-shari’a, tujuan-tujuan pokok syariat. Salah satunya ialah protection of life, perlindungan atas kehidupan.
Di ujung ceramahnya malam itu, Prof. Satha-Anand mengutip sebuah kisah yang mengharukan tentang seorang anak Thailand yang mengalami “bully” di sekolahnya. Saat ia menceritakan hal itu ke ayahnya, yang terakhir ini bertanya, “Kenapa engkau tak membalas?” Si Anak itu menjawab balik, “Ayah, jika aku di-bully lalu membalas balik, lalu di-bully balik, lalu membalas balik, lalu di-bully lagi, lalu membalas lagi, kapan ini berakhir?”
Kekerasan yang dibalas dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru yang tiada ujung pangkal. Tak ada cara lain kecuali siklus kekerasan ini mesti dipotong dengan sebuah komitmen moral untuk bertindak yang nirkekerasan.
Gagasan Prof. Satha-Anand ini memang tak mudah diterima tanpa sikap skeptisisme. Sebab kekerasan hadir bahkan dalam teks suci Islam sendiri, baik di Quran maupun di hadis. Biografi Nabi Muhammad yang paling awal, ditulis oleh Ibn Ishaq (w. 768 M), memuat judul yang dalam “sensitivitas” modern mungkin terasa agak janggal: “Al-Maghazi” yang artinya adalah peperangan. Peperangan merupakan warna utama dalam kehidupan Nabi. Jika dipahami secara keliru, ini bisa dimaknai sebagai “endorsement” terhadap kekerasan.
Teks agama memang kerap ambigu: di sana, narasi kekerasan dan nirkekerasan hadir secara bersamaan. Tanpa sikap yang hati-hati, seseorang bisa terpeleset memahami hal ini sebagai persetujuan agama terhadap tindakan kekerasan dalam situasi apapun; kekerasan yang disahkan oleh teks suci. Tetapi justru di sinilah pentingnya narasi yang dibangun oleh Prof. Satha-Anand.
Jika teks suci bisa dijadikan dasar legitimasi untuk kekerasan, seperti dilakukan oleh kelompok-kelompok jihadis selama ini, maka langkah sebaliknya menjadi niscaya. Kenapa tidak menjadikan Quran sebagai basis untuk membangun perjuangan nirkekerasan? Pada akhirnya, teks suci, sebagaimana pernah dikatakan oleh Ali ibn Abi Talib, khalifah keempat Islam pasca-wafatnya Nabi, adalah teks yang “bisu”. Ia tidak bisa berkata-kata sendiri. Manusialah yang bertugas untuk membunyikan teks yang bisu ini. Di sini, tindakan menafsir menjadi sangat penting.
Prof. Satha-Anand memilih untuk menjadikan Quran sebagai teks suci yang melegitimasikan tindakan nirkekerasan. Dan saya kira, ini lebih sesuai dengan Islam yang memandang dirinya sebagai agama rahmat. Episode-episode kekerasan yang direkam baik dalam teks suci maupun dalam buku sejarah Islam, semestinya kita pahami sebagai semacam “expediency” atau langkah sementara yang didiktekan oleh situasi yang khusus. Bukan hukum moral yang berlaku umum.
Hukum moral yang berlaku umum dalam situasi normal ialah: merawat nyawa, dan menghindarkan segala bentuk tindakan yang menimbulkan ketidak-nyamanan pada orang lain. La darara wa ala dirara, kata Nabi dalam sebuah hadis yang terkenal. Tak boleh mencelakai orang lain.
Ide nirkekerasan, la ‘unfiyya, jauh lebih masuk akal saat ini, terutama di negeri-negeri Muslim di mana demokrasi sudah menjadi “the only game in town” seperti di Indonesia. Di dalam sistem terbuka dan demokratis, jalan perubahan yang nirkekerasan jauh lebih bisa diterima. Segala saluran kritik dan koreksi atas praktik-praktik ketidak-adilan, entah oleh negara atau korporasi, terbuka luas. Media memainkan peran yang penting di sana.
Hanya dalam sistem otoriter yang tertutup, biasanya godaan untuk mengadopsi jalan kekerasan sangat besar, karena jalan-jalan lain yang damai telah buntu. Kritik ditutup, dan koreksi mustahil. Meskipun, bagi orang-orang seperti Satha-Anand, dalam situasi yang otoriter sekalipun, jalan nirkekerasan tetap relevan sebagai metode perubahan yang lebih masuk akal. Nelson Mandela adalah contoh yang baik: ia adalah ikon perlawanan atas sistem otoriter dengan jalan nirkekerasan. Dan ia sukses.
Pada Satha-Anand, kita melihat suara Gandhi dalam baju Islam. Kita berharap diskursus ini kian menguat di tengah-tengah umat Islam, untuk mengimbangi diskursus lain yang saat ini membanjiri ruang publik umat: diskurus kekerasan dan kebencian. Diskursus ini hanya akan membawa umat menuju jalan buntu, selain “self-destructive“.[]