Home » Gagasan » Islam Liberal » Memenangkan Argumen Nir-Kekerasan:
Aksi preman berjubah (Foto: IslamLib).

Memenangkan Argumen Nir-Kekerasan: Menakar Gagasan Chaiwat Satha-Anand

4.42/5 (19)

Menakar gagasan Satha-Anand. Apa yang dilakukan oleh Satha-Anand sejauh ini adalah menunjukkan dua hal. Pertama: bahwa opsi nir-kekerasan, berdasarkan pengalaman historis manusia sendiri, adalah opsi yang mungkin, masuk akal, bahkan jauh lebih efektif ketimbang opsi kekerasan. Kedua: bahwa sumber-sumber tekstual maupun teladan tokoh-tokoh agama bisa dimobilisasikan untuk mendukung gerakan nir-kekerasan.

Pada Satha-Anand tampak kentara sekali usahanya untuk melakukan “dekonstruksi” atas pengertian yang sudah terlanjur diterima luas selama ini mengenai kaitan antara Islam/agama dan kekerasan. Pertanyaan berikutnya adalah: seberapa meyakinkankah usaha Satha-Anand ini? Apakah tesis-tesis yang ia kemukakan bisa ditemukan sokongan empirikanya dalam pengalaman Muslim di Indonesia, misalnya?

Upaya untuk memisahkan antara Islam dan kekerasan bukan hal yang baru. Banyak ulama, sarjana, cendekiawan dan aktivis Muslim dari  pelbagai kawasan dunia Islam yang dengan tegas menolak kekerasan atas nama agama. Seorang ulama kontemporer yang kontroversial di sebagian kalangan, Yusuf Qardawi, merasa perlu untuk menulis karya khusus yang cukup massif tentang makna jihad dalam Islam. Ia menulis Fiqh al-Jihad dalam dua jilid besar.

Nada buku Qardawi itu memang “polemis” dan sekaligus “apologetis”: polemis terhadap pandangan kelompok-kelompok jihadis dalam Islam yang dengan sembrono memakai doktrin jihad untuk membenarkan terorisme, dan apologetis terhadap tuduhan-tuduhan dunia sekarang terhadap Islam sebagai agama kekerasan.

Dengan kata lain, Satha-Anand tidaklah sendirian dalam usahanya untuk melakukan disosiasi antara Islam dan kekerasan itu. Tetapi tetap ada yang khas pada gagasan dia, sebab dia mencoba melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa opsi nir-kekerasan bukan saja sesuai dengan ajaran Islam, tetapi juga bahwa jalan itu jauh lebih efektif untuk melawan ketidak-adilan dan kezaliman. Satha-Anand tidak sekedar menampik kaitan Islam dan kekerasan, melainkan lebih jauh lagi mencari dalam Islam sumber-sumber inspirasi untuk upaya cipta-damai (peace-making) dan nir-kekerasan.

Upaya Satha-Anand ini memang cukup “berani”, apalagi jika dihubungkan dengan konteks modern sekarang di mana aksi-aksi kekerasan atas nama Islam, atau sekurang-kurangnya pandangan-pandangan keislaman yang absolutistik dan eksklusif cenderunga berkembang luas. Bagian yang paling “problematis” dalam gagasan Satha-Anand adalah persis pada saat dia mencoba “membaca” sumber-sumber tekstual dan historis Islam untuk menjustifikasi gerakan nir-kekerasan.

Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, teks dan praktik sejarah Islam memang bisa ditafsirkan dengan berbagai cara. Di tangan kaum jihadis, kedua hal itu bisa menjadi sumber ilham bagi tindakan terorisme dan kekerasan. Tetapi di tangan aktivis perdamaian dan nir-kekerasan seperti Satha-Anand, baik Quran dan sejarah Nabi bisa ditafsirkan sebagai justifikasi bagi gerakan nir-kekerasan.

Gagasan nir-kekerasan, harus diakui, adalah hal baru yang muncul belakangan. Dalam tradisi Islam sendiri, gagasan ini kurang dikenal, dan karena itu istilah “nir-kekerasan” jarang atau malah tak kita temui dalam literatur Islam, baik klasik atau modern. Baru belakangan, ketika sejumlah sarjana dan aktivis Muslim mulai terlibat dalam riset dan gerakan “peace making” dan nir-kekerasan, mulai diciptakan istilah baru: la ‘unfiyya.

Ini bukan berarti bahwa tindakan-tindakan nir-kekerasan untuk melawan sistem yang otoriter tidak dikenal dalam sejarah Islam, baik klasik atau modern. Yang mau saya katakan ialah bahwa sebagai sebuah konsep dan gagasan, opsi nir-kekerasan memang harus diakui sebagai hal yang sama sekali baru.

Istilah yang lebih dikenal dalam Islam adalah “’adam al-darar”, the absence of harm, ketiadaan bahaya atau tindakan melukai, sebagaimana tergambar dalam hadis yang terkenal: la darara wa la dirara (jangan mencelakai diri sendiri atau orang lain). Tetapi kita mengenal dalam Islam suatu kondisi di mana kekerasan itu hilang, yaitu “silm” atau perdamaian dan “aman” atau keamanan.

Yang menarik ialah kutipan Satha-Anand atas kisah Kabil dan Habil sebagai sumber ilham keagamaan untuk gerakan nir-kekerasan. Sebagaimana sudah saya kemukakan, setiap teks selalu mengandung kemungkinan banyak pembacaan dan tafsir. Teks dalam Quran yang berkenaan dengan kisah Kabil dan Habil ini menimbulkan pertanyaan di kalangan penafsir klasik.

Jika Satha-Anand memakai kisah itu untuk mendukung gagasan nir-kekerasan, penafsir klasik al-Tabari (w. 923 M) justru berpendapat lain. Kisah ini, bagi al-Tabari, menimbulkan kemusykilan. Dalam kisah itu disebutkan niat Kabil untuk membunuh saudaranya, Habil. Mengetahui niat saudaranya itu, Habil bukan melakukan pembelaan diri, tetapi justru menanggapinya dengan etika “tampar pipi” ala Kristen (“Siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu,” Matius 5:39). Dia menanggpi niat saudaranya dengan ucapan ini: Aku tak akan membalas dengan membunuhmu.

Kisah ini di mata Tabari, menimbulkan kemusykilan sebab dalam ajaran Islam, tindakan membela diri (difa’ ‘an al-nafs) untuk melindungi nyawa yang terancam adalah keharusan. Bahkan, dalam Islam, dikenal keyakian ini: dia yang terbunuh karena membela diri, mati sebagai syahid. Bagaimana mungkin Habil membiarkan dirinya berada dalam ancaman pembunuhan tanpa melalukan tindakan imtina’ atau membela diri?

Untuk mengatasi problem etis ini, al-Tabari mengutip versi lain dari kisah Kabil-Habil itu. Dalam versi itu, Kabil tidak membunuh saudaranya dengan cara terang-terangan, melainkan dengan cara “pembokongan” (ghilatan). Dia membunuh Habil pada saat saudaranya itu dalam keadaan tidur, sehingga tak ada kesempatan bagi yang terakhir itu untuk membela diri. Dalam cara ini, al-Tabari menghilangkan kemusykilan dalam kisah anak Adam itu.

Kisah anak Adam itu, di mata al-Tabari, bukanlah narasi tentang nir-kekerasan tetapi tindakan pengecut seseorang yang menimpakan “darar” atau kecelakaan pada orang lain pada saat orang itu lengah sehingga tak bisa membela diri.

Dalam pandangan al-Tabari, dan saya kira ini diamini oleh banyak ulama Islam pada era klasik dan modern, Islam membuka peluang pembalasan atas kekerasan dengan cara kekerasan pula sebagaimana digambarkan dalam ayat yang terkenal: fa-man i’tada ‘alaikum fa’tadu ‘alaihi bi mitsli ma-‘tada ‘alaikum (QS 2:194). Jika kalian diserang, maka kalian boleh membalas dengan menyerang balik.

Tetapi, benar seperti dikatakan oleh Satha-Anand, tindakan kekerasan dalam kerangka pembalasan ini tetap harus dilakukan dalam batas-batas yang diizinkan. Batas itu diungkapkan oleh ayat lain (2:190): wa la ta’tadu, jangan kalian melewati batas.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.