Home » Gagasan » Islam Liberal » Memenangkan Argumen Nir-Kekerasan:
Aksi preman berjubah (Foto: IslamLib).

Memenangkan Argumen Nir-Kekerasan: Menakar Gagasan Chaiwat Satha-Anand

4.42/5 (19)

Pengalaman nir-kekerasan di Indonesia. Ada dua momen nir-kekerasan yang mengharukan publik di seluruh dunia dan terjadi dalam waktu yang belum lama berselang. Yang pertama terjadi di Lapangan Tahrir di Kairo pada 2011 yang dikenal dengan Gerakan 25 Januari yang menumbangkan Presiden Husni Mubarak.

Yang kedua adalah Gerakan Payung di Hongkong yang digagas dan dipelopori oleh pelajar sekolah menengah bernama Joshua Wong. Di Indonesia, kita pernah mengalami momen serupa pada 1998, momen “civil disobedience” yang berpusat di gedung DPR yang kemudian berakhir dengan kejatuhan Suharto. Momen itu kemudian diikuti dengan sejumlah perubahan-perubahan yang radikal dalam struktur politik di Indonesia dan sekaligus menandai epok baru yang disebut Era Reformasi.

Tetapi pengalaman Indonesia ini sekaligus menyodorkan kepada kita suatu gambar yang menarik. Gerakan nir-kekerasan yang menumbangkan rezim Orde Baru itu bukanlah kejadian yang berlangsung secara mendadak. Gerakan perlawanan nir-kekerasan terhadap pemerintah otoriter Orde Baru dimulai jauh sebelum 1998. Gerakan ini mengalami pasang-surut, naik-turun, sesuai dengan kebijakan politik yang berlaku pada saat itu.

Gerakan ini mencakup pelbagai bentuk: protes mahasiswa, demonstrasi buruh, perlawanan petani, liputan-liputan kritis oleh media (ingat laporan Majalah Tempo tentang pembelian kapal bekas dari Jerman Timur yang akhirnya mengakibatkan pembredelan majalah itu pada 21 Juni 1994), dan pembentukan kelompok-kelompok masyarakat sipil independen yang mencoba melepaskan diri dari pengaruh korporatis negara. Tentu saja ada tindakan kekerasan oleh negara yang berlangsung berulang-ulang untuk memadamkan perlawanan sipil. Tetapi, respon kalangan sipil pada umunya adalah melawan dengan cara yang nir-kekerasan.

Yang menarik adalah gerakan perlawanan nir-kekerasan di Indonesia ini, meskipun sebagian besar partisipannya adalah kalangan aktivis dan cendekiawan Islam, mendasarkan diri pada bahasa non-agama. Bahasa yang mereka pakai adalah bahasa yang lebih inklusif dan terbuka: melawan ketidak-adilan rezim dan membela kaum yang tertindas.

Bahasa-bahasa yang terbuka dan “humanistis” semacam ini sangat kentara sekali mewarnai bentuk-bentuk protes oleh kalangan sipil di Indonesia pada tahun-tahun antara 1990-1998. Ini sekaligus menengarai ciri penting gerakan protes di Indonesia.

Berbeda dengan negara-negara Arab seperti Mesir, di Indonesia oposisi dengan memakai saluran non-keagamaan cukup terbuka lebar. Sementara di dunia Arab, oposisi “sekuler” nyaris ditutup rapat-rapat, sehingga yang tersisa adalah saluran oposisi yang bersifat keagamaan. Ini yang menjelaskan kenapa di Mesir terjadi penghadap-hadapan yang susah dikompromikan antara dua kekuatan besar: militer dan gerakan Ikhwanul Muslimin.

Sementara itu, perjuangan “sipil” yang memakai bahasa agama cenderung menggunakan jalan kekerasan atau narasi verbal yang berbau kekerasan. Sekurang-kurangnya inilah yang kita lihat di Indonesia setelah era reformasi. Kita menyaksikan banyak sekali tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam.

Jalan kekerasan ini tentu saja mereka tempuh bukan tanpa tujuan yang “jelas”. Mereka hendak mencapai sasaran tertentu: pelaksanaan syariat Islam, penutupan rumah ibadah yang dianggap tak berizin, pelarangan tempat-tempat maksiat, dsb. Untuk mencapai tujuan ini, kelompok-kelompok itu lebih rentan terhadap bahasa kekerasan ketimbang kelompok-kelompok sipil yang melawan rezim otoriter dulu dengan bahasa non-agama.

Saya tak mengatakan bahwa kelompok-kelompok Islam selalu menggunakan bahasa kekerasan. Dalam kasus-kasus tertentu mereka menggunakan cara-cara nir-kekerasan, seperti yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dengan demo-demo damainya untuk memperjuangkan tegaknya negara khilafah di Indonesia. Tetapi bahasa kekerasan tampaknya lebih menonjol pada kelompok-kelompok “sipil” Islam ketimbang pada yang lain. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan: Kenapa?

Pengalaman Indonesia juga memperlihatkan dua gambar lain yang kontras. Di satu pihak, kita melihat perjuangan umat Islam dengan jalan nir-kekerasan melalui saluran-saluran demokratis yang ada (pemilu, parlemen, lobi, protes, advokasi, dsb.). Saluran-saluran ini makin beragam setelah Indonesia memasuki fase yang lebih demokratis. Tetapi di pihak lain, saluran-saluran demokratis itu ternyata tidak menjamin hilangnya jalan kekerasan sebagai metode perjuangan yang ditempuh oleh sebagian kalangan Islam.

Selama ini kita berasumsi bahwa dengan kian terbuka dan beragamnya saluran-saluran untuk mengartikulasikan kepentingan dan protes, kekerasan akan mengendur. Sebab protes bisa dikemukakan dengan jalan damai melalui saluran-saluran demokratis itu. Tetapi, ini tampaknya tidak terjadi, sekurang-kurangnya dalam satu kasus yang sangat mencolok: penutupan gereja dan tempat ibadah kelompok minoritas Islam (baca: Ahmadiyah).

Pertanyaan kita di sini: Kenapa sebagian kalangan Islam yang anti-pembangunan gereja itu selama ini menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya? Apakah saluran-saluran demokratis yang ada selama ini kurang menjamin?

Saya tak mau terlalu jauh mengulas faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan dan kontras ini terjadi. Cukup saya katakan bahwa, seperti didiskusikan dengan baik oleh Satha-Anand dalam bukunya ini, fenomena kekerasan dan nir-kekerasan adalah sesuatu yang kompleks, dan melibatkan faktor-faktor penjelas yang tidak bersifat tunggal. Bahasa dan argumen agama hanyalah satu faktor saja.

Sementara di luar bahasa agama ada banyak faktor lain yang mencakup: melemahnya otoritas pemerintahan pusat pasca-reformasi, keadaan transisi yang dicirikan dengan “fluidity” atau kemencairan dalam banyak segi, perasaan-perasaan ketidak-adilan yang berkembang di sebagian kalangan, persepsi tentang politik global, dan pencarian peran oleh aktor-aktor baru yang mencoba memanfaatkan situasi keterbukaan pasca-reformasi yang membuka banyak kemungkinan. Situasi ekonomi Indonesia pasca-krisis besar pada 1997 juga tak boleh diabaikan.

Kombinasi faktor-faktor ini memainkan peran dengan caranya masing-masing dalam menentukan opsi-opsi yang dipilih oleh sebuah kelompok Islam di Indonesia: apakah akan memakai jalan kekerasan atau nir-kekerasan.

Battle of arguments. Dengan tanpa mengabaikan pentingnya keseluruhan faktor yang sudah saya sebut itu, saya memandang bahwa faktor argumen menempati kedudukan yang penting dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Apa yang saya maksud dengan argumen di sini adalah suatu ungkapan yang dilandasi oleh pemahaman atas sumber-sumber suci dalam agama atau tradisi untuk mendukung atau menentang jalan nir-kekerasan.

Buku Satha-Anand ini sendiri secara tersurat menunjukkan bahwa faktor argumen sangat lah penting. Dengan sejumlah strategi penafsiran tertentu, ia mencoba membangun argumen untuk mendukung opsi nir-kekerasan sebagai jalan yang paling masuk akal untuk menentang status quo.

Saya makin menyadari pentingnya argumen ini setelah membaca buku karya Yuval Harari yang terbit tahun lalu, Sapiens: A Brief History of Humankind (2014). Di sana, Harari mencoba menunjukkan sebuah fakta yang menarik tentang manusia: tentang pentingnya “fantasi” dan imajinasi dalam perubahan-perubahan besar sepanjang sejarah spesies manusia yang disebut homo sapiens.

Manusia bertindak bukan saja digerakkan oleh hal-hal yang sifatnya material dan langsung (immediate). Tetapi juga oleh hal-hal yang sifatnya non-material, tak tampak. Di sini, peran kisah, narasi, kitab suci, paham, ideologi menjadi penting. Imajinasi manusia mengenai apa yang mungkin dilakukan untuk mengubah keadaan yang tak ideal, apakah melalui jalan kekerasan atau tidak, sangat menentukan tindakannya.

Baik yang memilih jalan kekerasan atau nir-kekerasan memiliki fantasi, imajinasinya sendiri-sendiri, dan mencoba mengesahkannya melalui sebuah argumen. Di sana, terjadi “perang” argumen antara dua kelompok tersebut. Dengan memperkuat dan menyebarkan terus-menerus argumen tentang kemasuk-akalan jalan nir-kekerasan, saya cukup percaya bahwa pelan-pelan jalan kekerasan akan berkurang dan mengender di dunia Islam.

Tentu ini tidak menyangkal pentingnya melakukan hal-hal lain yang sifatnya non-argumen. Tetapi peran argumen tetap saya aggap sangat, jika malah tidak paling penting. Kenyataan ini menjadi lebih relevan lagi dalam era demokrasi yang kita alami di Indonesia sekarang. Demokrasi, sebagaimana kita tahu, adalah arena di mana semua opsi diperdebatkan secara terbuka melalui adu argumen.

Memenangkan argumen untuk opsi nir-kekerasan, karena itu, sangat krusial, penting, dan niscaya. Dengan memenangkan argumen nir-kekerasan, sekurang-kurangnya argumen yang mendukung jalan  kekerasan didiskreditken di ruang publik dan kehilangan daya tariknya di mata umat.[]

** Disampaikan sebagai bahan diskusi untuk menanggapi pidato Prof. Chaiwat Satha-Anand dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture ke-9 yang diadakan oleh Ciputat School malam ini, Jumat 23 Oktober 2015.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.