IslamLib – Di negeri ini, orang sangat mudah memekikkan kata “merdeka” tapi sangat mudah curiga dengan kata “liberal”. Bagi mereka, “merdeka” menerbitkan citra yang positif, misalnya merdeka sebagai “bebas dari penjajahan” dan “bebas dari dominasi asing”. Dengan kata lain, suatu kemandirian.
Sebaliknya, liberal dan liberalisme mengandung konotasi didominasi oleh asing. Ia merupakan barang impor yang bukan hanya tidak cocok dengan kita melainkan juga akan menjadi polusi bagi identitas kita.
Maka Jaringan Islam Liberal (JIL) begitu sering dicemooh dan dihujat gara-gara membawa label “liberal”. Seakan-akan dengan adanya ajektif “L”, jaringan ini justru akan melemahkan “I”-nya dan hanya memenuhi pesan sponsor dari Barat. Tapi adilkah prasangka semacam ini?
Sejatinya, prasangka terhadap liberalisme dan JIL sudah menjurus kepada su’uzon. Ini tidak perlu terjadi kalau kita menengok sejarah pemikiran politik Barat yang menjadi tempat kelahiran liberalisme.
Dalam khasanah pemikiran politik Barat klasik, istilah “liberal” bertaut erat dengan dikotomi antara “liber” dan “servus”. Yang pertama mengacu pada “warga negara” yang bebas, yang kedua berarti “budak” yang tidak bebas karena senantiasa berada dalam dominasi tuannya.
Dalam pengertian klasik, “liber”, sang warga negara bebas dalam arti tidak berada dalam dominasi siapapun. Inillah pengertian bebas dalam tradisi republik.
Apa itu kebebasan republikan? Philip Pettit, profesor teori politik dari Princeton University menegaskan, prinsip kebebasan yang terangkum dalam republikanisme adalah “non-dominasi”. Saya bebas sejauh saya tidak berada dalam cengkeraman dominasi pihak lain, baik itu dominasi dari dalam (misalnya kekuasaan yang tiranik) maupun dari luar (penjajahan).
Bebas di sini berarti bahwa menjadi warga negara berarti meneguhkan kemandirian. Ia bukan budak dari siapapun, entah itu negara, individu, atau masyarakat.
Perhatikan, bahwa apa yang sekarang ini kita pekikkan sebagai “merdeka” sesungguhnya mengandung arti kebebasan dalam artinya yang klasik yang tumbuh subur dalam sistem republik. Merdeka berarti realisasi dari “liber”, sang warga yang bebas. Harap dicatat, di sini merdeka dan liberal bisa saling bertukar tempat.
Selain itu, pengertian liberal dalam artinya yang modern juga tidak lepas dari perlawanan terhadap ketidakadilan. Liberalisme yang lahir di Eropa abad 17 bertaut erat dengan perlawanan terhadap ketidakadilan kekuasaan monarki.
Liberalisme lahir sebagai upaya untuk melindungi hak-hak sipil warga negara dari kekuasaan absolut sang raja. Ada semacam penegasan bahwa hak-hak sipil, terutama hak milik pribadi, tidak bisa begitu saja diklaim oleh sang raja, atau menjadi milik sewenang-wenang dari kaum aristokrat.
Makanya tidak heran kalau semangat liberalisme adalah pembatasan kekuasaan tiranik dan absolut yang datang dari manapun agar setiap warga punya kebebasan untuk menikmati hak-hak sipilnya dan mengembangkan dirinya sendiri. Kekuasaan mesti dikontrol dan diawasi agar tidak mencaplok kebebasan individu.
Meskipun liberalisme lahir dan berkembang di Barat, tapi esensinya, yakni “emoh terhadap kekuasaan tiranik demi melindungi hak-hak warga negara” merupakan kebajikan yang relevan dengan masyarakat non Barat, termasuk kita umat Islam.
Pada titik ini saya teringat pada Rifa’ah Tahtawi, pembaru Muslim dari Mesir abad 18 yang menjadi pendahulu Afghani dan Abduh. Tahtawi pernah tinggal di Paris selama lima tahun dan menyaksikan dari dekat sistem politik, tata budaya, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Perancis yang sedang bergairah mengamalkan Pencerahan.
Seperti terekam dalam bukunya Takhlis al-Ibriz ila talkhis al-Bariz (baru-baru ini diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi An Imam in Paris), Tahtawi tertarik dengan konsep kebebasan di Eropa yang memberi tempat pada hak-hak individu dan sangat antipati dengan absolutisme kekuasaan yang menurut sangkaan awal Tahtawi tidak dikenal dalam tradisi politik Islam.
Tapi semakin lama ia mendalami kebebasan Eropa, Tahtawi akhirnya berkesimpulan bahwa apa yang disebut oleh manusia Eropa sebagai kebebasan sesungguhnya sedikit banyak paralel dengan konsep keadilan dalam Islam. Bukankah Islam menyerukan agar penguasa bersikap adil? Bukankah keadilan dalam Islam adalah pernyataan antipati terhadap kekuasaan yang zalim?
Jadi, kalau kita memang serius merayakan kemerdekaan dan melawan ketidakadilan, tidak ada alasan untuk menolak semangat liberalisme. Merdeka? Yes! Liberal? Siapa takut!