IslamLib – Jika Anda mengikuti pendekatan liberal dalam memahami Islam, apakah ini artinya anda tidak lagi melaksanakan ritual Islam? Ini pertanyaan yang kerap saya terima. Pertanyaan ini mengandung asumsi bahwa seorang Muslim liberal tidak lagi salat, puasa, atau melaksanakan ritual Islam yang lain.
Ketika kuliah di Boston dulu, dan mendatangi pengajian yang dikelola sebuah komunitas Muslim Indonesia, saya ikut salat berjamaah. Di belakang, saya mendengar bisik-bisik: Oh, ternyata seorang Muslim liberal salat juga. Saya geli.
Saya sendiri agak malas membahas masalah yang mestinya merupakan soal personal ini. Tetapi karena kerap mendapatkan pertanyaan serupa, mungkin ada baiknya saya menulis jawaban khusus untuk mengklarifikasi sejumlah sangkaan yang keliru.
Pertama-tama, anda tidak perlu menjadi Muslim liberal untuk tidak salat. Banyak Muslim di luar sana, bahkan yang tak mendengar sedikitpun istilah “Islam liberal”, tidak salat. Kita, tentu saja, kerap mendengar istilah “Muslim nominal”: seorang Muslim yang hanya dalam nama saja. Dia Muslim. Tapi tak melaksanakan ritual Islam. Dia bahkan akan naik pitam jika disebut bukan Muslim.
Sangkaan bahwa seorang Muslim liberal tidak melaksanakan ritual Islam, sama sekali keliru. Saya tetap menjalankan semua ritual Islam, sebagaimana umat Islam yang lain. Bukan hanya itu. Karena saya tumbuh dalam keluarga NU, saya masih melaksanakan “ritual kultural” khas NU: tahlil, ziarah kubur, barzanji, dsb. Saya menikmatinya sebagai bagian dari identitas kultural saya.
Bagi saya, salah satu esensi agama adalah berdoa. Salat, secara harafiah, adalah berdoa. Dalam ritual inilah, hubungan personal antara Tuhan dan manusia berlangsung secara intim dan hangat. Ibadah doa ada dalam semua agama, meskipun disebut dengan istilah yang berbeda-beda. Tak ada agama yang tak mengenal ritual doa. Inilah tindakan yang paling sederhana, tapi sekaligus paling mendasar dalam beragama.
Sebuah hadis riwayat Anas ibn Malik menegaskan: al-du’a muhh al-‘ibadah. Berdoa adalah sumsumnya tindak beribadah kepada Tuhan. Hadis ini, oleh banyak ulama, dianggap lemah. Tetapi maknanya benar dan tepat. Pusat dari seluruh tindakan beragama pada tingkat persoal adalah komunikasi dengan Tuhan. Ini dilambangkan secara baik dalam berdoa, salat, sembahyang, misa – you name it.
Fenomena orang-orang melaksanakan ritual sembahyang ini selalu mengagumkan. Bagi saya, tindakan sembahyang dalam agama apapun adalah “an act of beauty”, suatu tindakan keindahan. Asal dilaksanakan dengan cara yang tak mengganggu kenyamanan orang lain.
Saya teringat dosen saya di Boston University, Adam B. Seligman, pengarang buku terkenal The Idea of Civil Society (1995). Ia, setiap Sabtu pagi, berjalan berkilo-kilo untuk melaksanakan sembahyang di sebuah sinagog dekat apartemen saya di kawasan Newton Center. Saya tanya, “Prof, kenapa tak naik mobil?” Dia menjawab: Saya ingin menghormati hari Sabat. Buat saya, ini tindakan yang mengharukan.
Bagi orang yang skeptik, ini dianggap tindakan lucu dan bodoh. Saya tidak beranggapan demikian. Ibadah, dalam agama apapun, adalah indah.
Beberapa kali saya menghadiri misa di gereja, baik waktu di Amerika dulu, atau di Jakarta. Tentu saja saya tidak ikut beribadah di sana. Tapi saya berada di tengah-tengah jemaat gereja, dan saya menikmati misa, nyanyian, dan doa yang diucapkan di sana. Juga khotbah Sang Pastur, jika kebetulan khutbahnya menarik. Tak semua khotbah, anda tahu, menarik. Banyak yang membosankan.
Tentu saja saya punya pandangan yang berbeda mengenai salat. Pandangan ini yang membedakan saya dengan sebagian kalangan Muslim lain. Saya akan sebutkan satu per satu.
Saya tidak berpandangan bahwa seorang yang tidak salat atau beribadah, dia menjadi kafir, dan boleh dibunuh. Kalau kita telaah kitab-kitab fikih (hukum Islam) yang standar, maka di sana disebutkan bahwa hukuman bagi orang yang tidak salat lebih dari tiga hari adalah bunuh.
Buat saya, ini hukuman yang sudah tak sesuai dengan zaman dan tak layak dipakai sekarang. Hukuman ini juga tidak sesuai dengan ajaran Islam yang saya pahami. Baik di Quran maupun di sunnah, tak ada pernyataan yang eksplisit bahwa orang yang tak salat harus dihukum mati.
Ulama fikih klasik Islam, tampaknya, memahami salat/sembahyang sebagai ritual yang komunalistik. Artinya, salat adalah ritual yang menandai keanggotaan anda dalam sebuah komunitas. Jika anda meninggalkan ritual itu, anda dianggap meninggalkan komunitas. Atau, lebih buruk lagi, dianggap telah berkhianat kepada komunitas. Karena itu, anda harus dibunuh.
Bagi saya, salat pertama-tama adalah tindakan personal, bukan komunal. Dia menandai komunikasi pribadi antara Tuhan dan manusia. A conversation with God, kalau mau meminjam judul buku “laris manis” karya Neale Donald Walsch.
Perbedaan lain: Saya berpendapat, salat tidak boleh dipaksakan melalui polisi moral. Di Saudi Arabia, dan sebagian (amat disayangkan!) juga ditiru di Aceh, seorang Muslim diwajibkan salat dan dikontrol oleh polisi moral. Begitu azan tiba, polisi moral, atau mutawwi’, akan berkeliling di seluruh sudut kota, mengawasi orang-orang yang tak salat.
Menurut saya, pemaksaan salat seperti ini hanya akan menciptakan hipokrisi atau kemunafikan massal. Salat adalah tindakan sukarela. Tak bisa dipaksakan. Forced worship stinks in God’s nostrils, kata Roger Williams (1629-1676), seorang teolog Amerika dari daerah New England. Ibadah yang dipaksakan (melalui aparatus negara), akan bacin di hidung Tuhan. Salat yang dilakukan karena takut polisi adalah salat yang munafik.
Dasar beribadah adalah voluntarism, kesukarelaan. Ikhlas, dalam bahasa Quran. Praktek “prayer policing” atau memata-matai orang yang tak salat melalui polisi moral, seperti berlaku di Saudi Arabia, adalah kebijakan yang buruk sekali. Tak layak ditiru di negeri Muslim manapun.
Menegaskan kembali hal yang sudah saya kemukakan di atas, saya juga tak berpendapat bahwa seorang yang tak salat akan membuatnya keluar dari Islam. Benar, salat adalah tindakan spiritual yang sangat penting dan bermakna dalam Islam. Tetapi ia bukanlah garis pemisah antara Muslim dan non-Muslim. Seorang yang tidak salat, tidak bisa disebut sebagai non-Muslim. Dia tetap berhak mencantumkan “Islam” dalam KTP-nya.
Sebagaimana pernah saya tulis, definisi Islam dalam pandangan saya harus dibuat minimalis. Yang membuat seseorang Muslim atau tidak adalah kesaksian atau syahadat. Bukan dia salat atau tidak. Bukan dia puasa atau tidak. Bukan dia zakat atau tidak. Jika anda berpendapat bahwa seseorang yang tak salat telah keluar dari Islam, konsekwensinya orang itu harus dibunuh, sebagaimana ditulis dalam buku-buku fikih.
Selain berlawanan dengan ajaran Islam sendiri, pandangan semacam ini juga akan membuat umat Islam menjadi olok-olok dunia: Seorang dibunuh karena tidak beribadah? Yang benar saja!
Inilah pandangan saya tentang salat. Wallahu a’lam. []