IslamLib – Saya sering heran dan sekaligus kagum pada pengikut Ahmadiyah. Bagaimana mereka masih tetap bisa mencintai Islam? Di Pakistan, orang-orang Ahmadiyah dipaksa menyatakan diri keluar dari Islam. Mereka dilarang pergi haji ke Mekah. Masjid-masjid mereka disatroni. Mereka didiskriminasi. Padahal dari merekalah lahir sarjana yang memenangkan Nobel di bidang fisika pada 1979: Prof. Abdus Salam. Satu-satunya ilmuwan Muslim yang memenangkan Nobel.
Di negeri lain pun, seperti Indonesia, mereka menjadi sasaran kebencian dan kekerasan fisik yang berulang-ulang. Masjid mereka disegel, ditutup, bahkan dibakar. Aktivitas mereka dilarang. Mereka nyaris tak pernah melawan atau menyerang balik. Bagaimana mereka bisa tetap mencintai Islam – agama yang melahirkan umat yang begitu membenci dan menampik kehadiran mereka?
Hari-hari ini kita disodori tontonan kekerasan demi kekerasan atas nama Islam. Hari-hari ini kita menyaksikan kebencian yang disebarkan dan dikampanyekan ke mana-mana atas nama Islam. Haruskah kita mencintai atau membenci Islam?
Suatu hari, saya ngobrol dengan seorang cendekiawan Muslim yang cukup terkenal, dan penulis buku-buku Islam. Saya tak usah sebut namanya, khawatir akan menjadi sasaran kebencian. Dia bilang: Andai saya tak tak pernah diajar oleh orang tua saya mengenai Islam yang penuh cinta kasih, andai wajah Islam satu-satunya yang saya kenal adalah seperti yang dipertontonkan oleh para Muslim yang penuh kebencian itu, mungkin saya sudah keluar dari Islam.
Saat hari raya kurban kemaren, terjadi dua tragedi di hari yang sama. Yang pertama adalah bom bunuh diri di masjid Syiah di Yaman. Sekurang-kurangnya 25 orang mati. Serangan terhadap masjid milik orang Syiah bukanlah barang baru. Ini terjadi di banyak negeri Muslim: di Saudi Arabia baru-baru ini, di Irak, di Pakistan. Tetapi serangan terhadap orang-orang yang sedang menyelenggarakan salat Ied seperti di Yaman itu, jelas perbuatan yang amat menjijikkan.
Tragedi kedua terjadi di Mina, di hari yang sama, dan berselang tak lama usai salat Ied. Sekurang-kurangnya ada 700 lebih nyawa melayang karena insiden desak-mendesak di jalan yang menuju ke tempat melontar jumrah. Yang saya sebut tragedi bukan sekedar kematian ratusan nyawa tak berdosa itu. Tetapi kejadian setelahnya. Yaitu tuduhan yang beredar di media sosial bahwa pelaku kekacauan yang menimbulkan kematian ini adalah orang-orang Syiah.
Jadi, kita ini harus mencintai atau membenci Islam?
Terus terang, jika mau jujur, saya terombang-ambing di antara dua perasaan itu. Jika saya mengingat sejarah Islam yang manis, jika saya mengingat menara ilmu yang menjulang tinggi yang dibangun oleh para sarjana Muslim pada abad pertengahan seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail, Ibn Bajah, al-Razi, al-Ghazali, Ibn Rushd, dan masih banyak yang lain lagi, saya tak bisa lain kecuali mencintai Islam.
Jika saya mengingat kebesaran peradaban Islam di semenanjung Iberia (Spanyol sekarang ini), di mana umat umat Islam bisa hidup damai selama berabad-abad bersama orang-orang Yahudi dalam apa yang disebut sebagai la convivencia (“coexistence”), saya tak bisa lain kecuali mencintai Islam. Selama kurang lebih tujuh abad Islam bercokol di sana, membangun peradaban besar yang mengagumkan. Istana Al Hambra di Granada (Arab: Gharnatha), Spanyol, adalah sisa-sisa dari masa lalu Islam yang cemerlang itu.
Tetapi jika saya melihat kekerasan demi kekerasan yang dilakukan atas nama Islam sekarang ini, seperti yang dipertontonkan oleh ISIS, saya kerap berhenti sejenak dan berpikir ulang: Inikah Islam yang saya kenal selama ini? Inikah Islam yang dibawa Nabi Muhammad? Inikah Islam yang konon katanya “rahmatan li ‘l-‘alamin”, agama yang membawa rahmat kepada semua orang? Saya nyaris tak menemukan Islam yang membawa rahmat dalam praktik-praktik kekerasan seperti itu.
Jika saya berhadapan dengan kebencian yang diperlihatkan oleh kelompok-kelompok yang anti Syiah, baik melalui khotbah, diskusi-diskusi di media sosial, maupun dalam pengajian-pengajian yang memang sengaja diadakan untuk mengobarkan kebencian, saya nyaris tak menemukan Islam yang dikatakan sebagai agama rahmat itu. Saya hanya melihat kebencian akut yang nyaris seperti patologi yang diberi bungkus agama.
Tetapi, saat kejengkelan saya memuncak, ia bisa tiba-tiba mereda kembali karena hal-hal lain yang saya sakiskan dalam Islam. Ketika saya membaca karya-karya besar dalam sejarah Islam, kemarahan saya mereda. Ketika saya membaca kitab al-Hikam yang berisi kebijaksanaan sufi yang indah karya murshid (guru) thariqah shadhiliyyah dari Mesir, Ibn Ataillah al-Sakandari (w. 1309), kegusaran saya menurun, dan saya kembali mencintai Islam.
Saya diombang-ambingkan oleh perasaan yang ambigu ini: antara membenci dan mencintai Islam. Sebab di sana saya melihat dua wajah yang saling bertentangan. Di satu sisi, saya melihat wajah Islam yang menyebarkan kebencian atas nama Tuhan; di lain pihak saya melihat juga wajah Islam yang mengajarkan kasih sayang dan cinta kepada manusia. Dua wajah ini silih berganti, berseliweran di depan saya, memojokkan saya pada perasaan yang tak menentu.
Apa yang bisa anda lakukan ketika melihat ada jutaan orang Islam yang masih percaya bahwa hukuman-hukuman brutal dari zaman pertengahan masih tetap harus dipertahankan hingga sekarang? Hukuman seperti yang berlaku di Saudi Arabia sekarang itu: Seorang yang dihukum pancung, di lapangan terbuka, usai salat Jumat, di hadapan para penonton yang entah mau menyoraki kekerasan itu, atau penasaran ingin melihat relik dari zaman lampau diputar kembali.
Apakah yang bisa kita lakukan jika kita mendengar fatwa-fatwa yang membuat citra Islam justru makin buruk? Dan fatwa-fatwa itu, tentu saja, dikeluarkan atas nama Islam. Seperti fatwa yang dikeluarkan oleh Mufti Besar Saudi Arabia, Syekh Abdul Aziz Alu al-Syeikh pada 2012: Bahwa seluruh gereja di jazirah Arab harus dirobohkan. Alasannya, ada hadis yang menegaskan: Tak boleh ada dua agama bersatu di jazirah Arab (la yajtami’ dinan fi jazirat al-‘Arab).
Atau sebuah fatwa yang kemudian dikuatkan sebagai keputusan pengadilan dari negeri jiran (Malaysia) yang menetapkan bahwa orang-orang Kristen tak boleh menggunakan kata Allah, sebab itu adalah nama Tuhan yang hanya dimiliki oleh umat Islam saja. Bagaimana kita harus berhadapan dengan “kebodohan” seperti ini? Dan dilakukan atas nama melindungi kemurnian Islam pula?
Kita saat ini hidup dalam masa yang mungkin merupakan salah satu era terburuk dalam sejarah Islam. Kita menyaksikan tindakan-tindakan “bodoh” atas nama Islam bertebaran di hampir semua negeri Muslim. Saya tak tahu lagi, di hadapan hal-hal semacam ini, apakah saya harus mencintai atau membenci Islam.
Saya sengaja menggunakan kata “Islam”, bukan “Muslim”. Sebab orang-orang yang, misalnya, menyebarkan kebencian terhadap golongan lain (sebutlah golongan Syiah), mereka melakukannya bukan atas nama pribadi atau golongannya. Mereka yakin betul bahwa apa yang mereka kerjakan itu adalah bagian dari ajaran Islam. Mereka melakukan itu karena mereka yakin bahwa apa yang mereka kerjakan adalah Islam itu sendiri.
Ini berbeda dengan kasus berikut ini: Seorang Muslim yang melakukan korupsi. Dalam hal ini, kita bisa mengatakan bahwa seorang Muslim sedang melakukan korupsi, tetapi bukan Islam. Sebab, saat melakukan korupsi, Si Muslim itu tidak berkeyakinan bahwa korupsi diperintahkan oleh Islam. Dalam kasus ini, kita memang harus membedakan antara Islam dan tindakan seorang Muslim.
Tetapi, seperti teman saya di atas, rasanya saya tak bisa kecuali mencintai Islam. Bagi saya terlalu banyak hal indah dalam Islam yang tak bisa saya abaikan. Meskipun, saya tahu, cinta saya ini kerap diganggu oleh pemandangan tak sedap dan menjengkelkan yang dilakukan atas nama Islam.
Sementara itu, ada orang-orang lain yang mungkin memilih sikap berbeda. Di dunia Arab saat ini, dikabarkan sedang terjadi gejala maraknya ateisme — orang-orang yang keluar dari Islam karena tak betah lagi melihat tindakan-tindakan brutal atas nama agama. Mereka patah arang, dan tak bisa lagi bertahan dalam Islam.
Fenomena ini menjadi diskusi yang hangat di dunia Arab selama dua tahun terakhir ini. Salah satu kasus yang terkenal ialah Ahmad Kharqan, sorang pemuda salafi yang menjadi murid dari tokoh salafi Mesir, Yasir Birhami, dan kemudian keluar dari Islam.
Ini memang masa yang teramat sulit untuk menjadi seorang Muslim, kecuali jika anda seorang dogmatis yang tak mau melihat kenyataan riil di luar sana. Untung saja di Indonesia, kita masih memiliki dua ormas Islam yang bisa menjaga moderasi dan kewarasan akal sehat: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Meskipun saya tahu, ada juga unsur-unsur dalam dua ormas itu yang mau menarik-narik agar keduanya ikut-ikutan dalam arus yang mau menebar-nebarkan kebencian.[]