Home » Gagasan » Islam Liberal » Politik “Mengutip Ayat” dan Kekacauan Epistemologis
(Photo credit: Al Hussainy Mohamed).

Politik “Mengutip Ayat” dan Kekacauan Epistemologis Jika Kita Mengutip Ayat, Apakah Soalnya Lalu Sudah Selesai?

4.68/5 (96)

IslamLib – Jika kita mengutip sebuah ayat, apakah diskusi langsung beres, dan perbedaan pendapat lalu bisa diakhiri? Apakah dengan mengutip ayat, seseorang merasa langsung berada di pihak yang benar, berada di “pihak” Tuhan? Apa sebetulnya yang dilakukan oleh seorang Muslim saat mengutip ayat atau hadis? Apakah dia merasa telah mewakili “pandangan” Tuhan, dan dengan demikian sudah pasti berada di pihak yang benar?

Ini pertanyaan-pertanyaan yang sering mengganggu saya saat membaca atau mendengarkan percakapan di kalangan umat Islam: salah satu pihak biasanya mengutip ayat untuk mendukung pendapatnya. Saya kerap memiliki kesan bahwa dengan mengutip ayat seperti itu, orang bersangkutan bisa langsung mengakhiri diskusi. Bagi dia, tampaknya ayat dalam Kitab Suci dianggap sebagai (meminjam istilah filosof Amerika Richard Rorty) “conversation stopper”, pemungkas diskusi.

Sebab, ayat adalah representasi dari “pendapat” Tuhan. Jika ayat dikutip dan ayat itu mendukung pendapat seseorang, maka dengan sendirinya pendapat itu sudah pasti benarnya, karena ia bersesuaian dengan “pendapat” Tuhan. Saya memang sengaja menaruh kata “pendapat Tuhan” di antara dua tanda kutip, karena tak ada orang yang memiliki akses kepada Tuhan, berbicara dengan-Nya (seperti Nabi pada peristiwa mi’raj dulu), dan menanyakan apa pendapat Tuhan dalam perkara tertentu yang sedang diperdebatkan oleh umat Islam.

Saya akan ambil satu contoh kecil. Seringkali terjadi perdebatan di antara umat Islam, baik dalam forum ilmiah atau sekedar diskusi ringan di media sosial, tentang status bunga bank: apakah halal atau haram. Ada pihak yang berpendapat bahwa bunga bank haram, dan mengutip ayat dalam Quran yang mengharamkan riba. Sekurang-kurangnya ada dua ayat dalam Quran yang dikutip sebagai “proof text” atau dalil bahwa riba haram: 2:275 dan 3:130.

Dengan mengutip dua ayat itu, pihak yang mengharamkan bunga bank itu langsung berpikiran bahwa dirinya berada di pihak yang “mutlak” benar, sebab di belakang dia ada Tuhan yang mendukung pendapatnya. Dia tidak pernah menyadari secara kritis, bahwa belum tentu apa yang disebut dengan bunga bank sama dengan riba. Riba memang haram. Baik. Tetapi apakah bunga bank masuk dalam ketegori riba? Di sini persis masalahnya.

Ketika dua ayat itu turun di zaman Nabi, lembaga perbankan sebagaimana kita kenal sekarang ini belum dikenal. Teori mengenai nilai uang juga belum lahir. Belum ada kesadaran tentang kaitan antara uang dan waktu serta perubahan valuasi uang karena perubahan waktu. Praktek peminjaman uang memang sudah ada. Tetapi meminjamkan uang secara personal, –praktek yang sudah dikenal selama berabad-abad, bahkan sebelum Islam lahir,– jelas beda dengan lembaga perbankan. Sebab fungsi bank modern bukan sekedar berkaitan dengan praktek pinjam-meminjam yang primitif dalam masyarakat dahulu.

Penerapan status riba kepada praktek perbankan modern belum memenuhi apa yang dalam teori hukum Islam disebut tahqiq al-manat – bagaimana mencantelkan suatu hukum kepada kasus tertentu karena adanya kesamaan dalam ‘illat (alasan hukum, ratio legis). Belum tentu riba bisa diterapkan dalam bunga bank sebab secara kategoris keduanya berbeda.

Contoh bunga bank ini hanyalah kasus kecil saja. Masih ada banyak contoh lain yang bisa kita kutip sebagai ilustrasi betapa kelirunya kita jika beranggapan bahwa pendapat kita pastilah benar dan mutlak sahih karena ada satu-dua ayat yang kita anggap mendukung pendapat kita.

Ini semua terjadi karena sebagian umat Islam mengalami semacam “kekacauan epistemologis”. Mereka mencampur-adukkan antara pendapat dirinya dengan firman Tuhan. Dia menganggap bahwa pemahamannya terhadap sebuah ayat sama dengan ayat itu sendiri; bahwa tafsiran dia atas Quran, sama kedudukannya dengan Quran; bahwa pendapat manusia tentang firman Tuhan, sama dengan firman Tuhan.

Dengan kata lain, pangkal masalah ini adalah karena garis pemisah antara “pendapat manusia” dan “firman Tuhan” sengaja dikaburkan, dengan tujuan agar pendapat manusia itu diangkat dari level yang relatif ke level lain yang lebih tinggi: level absolut. Dari sana lalu terjadi absolutisasi pendapat manusia, karena manusia yang relatif, –manusia sebagai subyek yang “contingent”, tergantung kepada ruang dan waktu,– diidentikkan dengan Tuhan yang “non-contingent”.

Kekacauan ini terjadi karena garis pembeda antara apa yang disebut dengan “al-din” (agama) dan “al-khithab al-dini” (pendapat manusia tentang sebuah ajaran dalam agama) sengaja dihapus, atau tak disadari sama sekali. Akibatnya, pendapat manusia tentang teks dalam agama disamakan dengan agama itu sendiri. Jika pendapat itu kita kritik, kita disesatkan, dikafirkan, dimurtadkan, diusir dari komunitas agama, karena dianggap sama dengan mengkritik agama.

Saya tak mengatakan bahwa sikap semacam ini ada pada semua kelompok Islam. Saya hanya mengendus gejala-gejala “kekacauan epistemologis” semacam ini di sebagian kalangan Islam. Menurut saya, gejala ini buruk sekali, dan bisa memiliki implikasi berbahaya. Sebab, jika seseorang merasa pendapatnya mutlak benar karena disokong oleh ayat atau hadis, dia bisa melakukan pemberangusan atas pendapat-pendapat lain yang dianggap tak disokong oleh ayat.

Jika demikian yang terjadi, maka sesungguhnya mengutip ayat atau hadis bukan semata-mata “act of piety,” tindakan kesalehan sebagai manifestasi ketundukan hamba kepada firman Tuhan. Mengutip ayat justru mejadi “tindakan politik” untuk menegakkan semacam “thughyan” atau otoritarianisme sebuah kelompok. Mengutip ayat adalah semacam tindakan menegakkan dominasi kelompok tertentu atas kelompok lain. Dalam bahasa pos-modernis, mengutip ayat adalah semacam “praktek diskursif” untuk melakukan penguasaan atas kelompok-kelompok lain yang dianggap “menyimpang”.

Pemandangan yang agak sedikit menggelikan kerap saya lihat akhir-akhir ini. Dalam sebuah diskusi, terutama di media sosial, tiba-tiba seseorang langsung menyeruak dengan mengutip sebuah nomor ayat. Dia, misalnya, mengatakan: Ini bertentangan dengan ayat 3:19! Orang ini berpikiran bahwa sebuah diskusi bisa dihentikan hanya dengan nomor ayat saja. Saya ingin menyebut bahwa pengutipan ayat di sini lebih merupakan tindakan politis, ketimbang tindakan kesalehan atas nama agama.

Dengan mengatakan ini semua, saya tak lalu mencegah siapapun untuk mengutip ayat. Tentu saja, seorang Muslim sudah seharusnya menjadikan Quran dan hadis sebagai landasan moral-etis bagi kehidupannya. Tetapi, mengutip sebuah ayat atau hadis sekedar untuk membungkam lawan bicara, dan melupakan bahwa sebuah ayat bisa ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda, adalah sejenis otoritarianisme.

Sebagian golongan dalam Islam tampaknya abai, lupa bahwa Quran bukanlah kitab yang tertutup, kitab yang “univocal”, yang hanya memiliki satu kemungkinan tafsir saja. Mereka ini lupa bahwa kesatuan firman dalam bentuk Quran tak menjamin kesatuan umat Islam. Walau Kitab Suci umat Islam hanyalah satu sahaja, toh mereka tetap terpecah-pecah menjadi banyak golongan. Quran yang satu tak menjamin umat Islam menjadi bersatu.

Ini bukanlah hal yang aneh. Sebab, karakter sebuah teks, teks apapun, apakah itu teks suci atau “teks kotor”, selalu mengandung banyak kemungkinan tafsir. Memang benar dalam tradisi tafsir Quran dikenal dua kategeori ayat: ayat yang muhkamat (ayat-ayat yang “univocal”, maknanya jelas dan hanya tunggal saja) dan ayat yang mutasyabihat (ayat yang “multi-vocal”, multi-tafsir). Tetapi kategori itu tidak menyelesaikan masalah juga, sebab orang bisa berbeda pendapat tentang mana ayat yang masuk kategori ini atau itu.

Oleh karena itu, tak mungkin seseorang mengatakan bahwa menurut Tuhan begini atau begitu. Sebab, apa yang ia sebut sebagai “menurut Tuhan” itu hanyalah pemahaman dia atas firman Tuhan, dan karena itu tak identik dengan firman Tuhan. Meskipun pendapat seseorang dibubuhi oleh seribu ayat atau hadis, tak serta-merta hal itu membuat pendapat tersebut melesat derajatnya dari pendapat manusia yang relatif menjadi pendapat Tuhan yang absolut.

Yang agak menggelikan ialah komentar seseorang yang mengatakan demikian: Kenapa Anda selalu berkata “Menurut saya adalah begini”? Kalau menurut Tuhan bagaimana?

Komentar semacam ini tak bisa lain kecuali muncul dari seseorang yang mengalami kekacauan epistemologis itu. Dia tampaknya beranggapan bahwa manusia bisa memiliki akses kepada Tuhan dan menanyakan pendapat-Nya. Dia tak sadar bahwa mengutip ayat bukanlah menandakan bahwa pendapat tertentu adalah sama dengan pendapat Tuhan. Dia tak sadar bahwa saat seseorang mengutip sebuah ayat, apa yang dia lakukan sejatinya hanya mengemukakakan pendapat dirinya mengenai sebuah ayat. Pendapat seseorang tentang ayat tak sama dengan ayat itu sendiri.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.