IslamLib – Beberapa waktu lalu, muncul kontroversi tentang hermeneutika. Ada anggapan bahwa “ilmu” imporan ini akan merusak Islam dari dalam, memorakporandakan pendekatan yang sudah dikembangkan oleh sarjana Islam sendiri untuk memahami Qur’an. Orang-orang yang memakai hermeneutika untuk memahami Qur’an dianggap sebagai musuh Islam.
Saat ini, di kalangan beberapa kelompok Islam, kata hermeneutika sudah masuk dalam daftar “kata kotor”, menyusul sejumlah kata-kata yang lain: sekularisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, HAM, jender, dsb. Istilah hermeneutika terdengar “najis” seperti kata “PKI” pada zaman Orde Baru dulu.
Apa sebetulnya pengertian paling elementer dari hermeneutika? Betulkah ia mengancam Islam? Apakah hermeneutika benar-benar tak dikenal dalam Islam? Benarkah hermeneutika hanya cocok untuk memahami Injil, dan tak bisa diterapkan untuk Qur’an? Apa perbedaan dan kesamaan antara hermeneutika dan ta’wil?
Inilah sejumlah pertanyaan yang layak diajukan. Tujuan artikel ini adalah untuk meluruskan “syubuhat” atau salah paham mengenai istilah hermeneutika. Sejumlah artikel dan kolom yang ditulis di majalah, jurnal, atau situs-situs tertentu yang kemudian beredar di beberapa milis, forum, dan medsos mengandung banyak informasi yang simpang-siur dan salah-paham yang harus diluruskan.
Amat disayangkan bahwa sejumlah salah paham ini datang dari sejumlah kalangan yang sebetulnya memiliki pendidikan yang baik serta mendapat akses yang lumayan bagus pada bacaan yang luas. Beberapa dari mereka bahkan mendapat pendidikan di Barat.
Hermeneutika, Tafsir, Ta’wil
Sebagai sebuah istilah, hermeneutika kedengaran serius dan mungkin “angker”. Istilah ini sebetulnya memiliki makna yang sederhana saja, yaitu menafsirkan, penafsiran, tafsir. Dalam The Brill Dictionary of Religion, disebutkan bahwa istilah ini “denotes the methods of interpretation of a text“, menunjuk kepada cara-cara untuk menafsirkan sebuah teks. Istilah ini berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yakni “to translate” (menerjemahkan) atau “to interpret” (menafsirkan).
Hermeneutika memang biasanya dikaitkan dengan konteks yang spesifik, yaitu menafsirkan teks-teks agama. Jadi, hermeneutika memang bukan sekedar menafsirkan teks secara umum. Meskipun demikian, hermeneutika kemudian berkembang sebagai salah satu cabang filsafat penafsiran yang berdiri sendiri yang tak berkaitan lagi secara spesifik dengan penafsiran teks agama.
Dengan demikian, istilah hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer ini sama dengan istilah tafsir atau ta’wil. Secara kebahasaan, istilah tafsir berasal dari kata “al-fasr” yang berarti menerangkan atau mengungkap (al-bayan wa al-kashf) sebagaimana disebutkan oleh Imam Suyuti dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.
Al-Suyuti mengutip sebuah pendapat yang menarik dari al-Raghib al-Asbahani, bahwa pengertian tafsir lebih bersifat umum ketimbang ta’wil. Sebab, yang pertama biasanya dipakai dalam konteks memahami “mufradat” atau kosa-kata, sementara ta’wil lebih sering dipakai dalam konteks memahami kalimat.
Menurut al-Asbahani, ta’wil bisanya dipakai dalam konteks memahami kitab-kitab yang bersifat keilahian (al-kutub al-ilahiyyah), sementara tafsir bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci ataupun yang lain; jadi lebih umum sifatnya.
Al-Suyuti mengutip pula pendapat dari Abu Talib al-Taghlabi: bahwa tafsir adalah menerangkan kedudukan dan pengertian sebuah kata, baik pengertiannya yang bersifat ‘hakikat’ yakni denotatif, atau metaforis/alegoris alias majaz; sementara ta’wil adalah menerangkan makna yang bersifat esoteris, atau makna batin. Dengan kata lain, tafsir berkaitan dengan makna lahiriah, dan ta’wil berkenaan dengan makna batiniah.
Ini semua adalah pengertian dasar dari istilah tafsir dan ta’wil. Di sini kita bisa melihat bahwa tafsir, ta’wil dan hermeneutika memiliki pengertian yang hampir paralel, yaitu interpretasi, terutama yang berkaitan dengan teks-teks agama, atau “al-kutub al-ilahiyyah”, jika memakai istilah al-Asbahani.
Sebagaimana kita lihat di sini pula, kata yang dipakai adalah bersifat umum, yaitu kitab-kitab keilahian, bukan semata-mata Qur’an. Jadi, kalau kita memakai pendapat al-Asbahani ini, istilah ta’wil bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci secara lebih umum. Kita, secara teoretis, bisa mengatakan ta’wil untuk Bible, Veda atau Upanishad.
Pendapat al-Asbahani ini didukung oleh fakta berikut ini. Kalangan Yahudi yang tumbuh dalam tradisi dan peradaban Islam memakai istilah tafsir untuk menyebut komentar atas Torah. Encyclopaedia of Judaica, misalnya, memuat lema yang ditulis oleh Meira Polliack di mana disebutkan bahwa terjemahan Saadiah Gaon atas “pentateuch”, yakni lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, sebagai tafsir. Saadiah Gaon adalah seorang rabi Yahudi yang sangat terkenal dari Mesir yang wafat pada 942 M.
Istilah tafsir dalam perkembangannya memang secara spesifik dikaitkan dengan penafsiran dan pemahaman Qur’an. Al-Suyuti mengutip pendapat al-Zarkashi, pengarang “Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an“, sebagai berikut: tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk menerangkan maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan kebijaksanaan dari dalamnya.
Menurut al-Zarkashi, sumber-sumber tafsir bisa berasal dari leksikografi (‘ilm al-lughah), nahw (tata bahasa Arab), morfologi (tashrif), semantik (‘ilm al-bayan), ushul fiqh (teori hukum Islam), ilmu bacaan (qira’at).
Dengan kata lain, inti tafsir adalah menerangkan Kitab Suci. Sekali lagi, di sini ada kesejajaran antara hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer dengan istilah-istilah yang sudah dikenal dalam Islam, yaitu tafsir dan ta’wil.
Adalah sama sekali keliru jika kita mengira bahwa antara tafsir, ta’wil dan hermeneutika tak ada kaitan apapun dari segi pengertian dasarnya. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa ta’wil atau tafsir adalah istilah Arab untuk hermeneutika, sebagaimana al-daulah, misalnya, adalah istilah Arab untuk kata “state” (negara) dalam bahasa Inggris.
Sudah tentu, ketiga kata itu memiliki sejarahnya masing-masing. Kata “al-daulah” tentu memiliki sejarahnya sendiri dalam bahasa Arab, begitu pula kata “state”. Namun, itu bukan berarti bahwa kita tak bisa menerjemahkan kata “state” dalam bahasa Inggris dengan “al-daulah” dalam bahasa Arab hanya gara-gara kedua istilah itu memiliki sejarah masing-masing yang panjang. Ini berlaku pula untuk kata ta’wil dan hermeneutika.
Perkembangan Hermeneutika
Saya akan mecoba mengulas secara ringkas perkembangan pengertian hermeneutika dalam tradisi kesarjanaan Barat. Saya memakai sebuah buku pengantar berjudul The Hermeneutics Reader yang disunting oleh Kurt Mueller-Vollmer, terbit 2006. Mueller-Vollmer menulis pengantar yang sangat panjang dan cukup baik mengenai perkembangan hermeneutika dalam tradisi Barat.
Sebagaimana saya tunjukkan di atas, kata ini memiliki pengertian dasar “menafsirkan”, to interpret. Istilah ini terkait dengan nama Hermes, seseorang yang dipercayai sebagai “utusan” tuhan dalam masyarakat Yunani. Nama Hermes dalam tradisi Islam juga dikaitkan dengan figur Nabi Idris. Tugas Hermes adalah membawa pesan dari tuhan kepada manusia.