Pada dasarnya, gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak awal abad ke-19 di hampir seluruh dunia Islam adalah gerakan liberal. “Liberal” di sini bisa bermakna ganda. Pada satu sisi, ia berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme dan penjajahan yang pada saat itu memang menguasai hampir seluruh dunia Islam. Pada sisi lain, ia berarti liberasi kaum muslim dari cara-cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang menghambat kemajuan.
Periode liberasi atau apa yang oleh Albert Hourani disebut dengan “liberal age”[1] sesungguhnya tak hanya terjadi di dunia Arab saja. Negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia, juga ikut meramaikan wacana liberal ini.
Kita mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang memiliki concern yang sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933), dan Hadji Agus Salim (1884-1954).[2]
Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak –paling tidak—lima abad terakhir.
Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.
Kendati berbeda dalam metodologi dan pendekatan, para intelektual muslim tersebut memiliki kesamaan dalam menyikapi kondisi kaum muslim. Yakni, bahwa hanya pembebasan dirilah (self-liberating) yang dapat mengeluarkan mereka dari kondisi itu.
Pada level praktis, pembebasan itu adalah perlawanan terhadap kolonialisme secara fisik, dan pada level teoritis, pembebasan itu harus dimulai dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, memberikan kebebasan penafsiran terhadap doktrin-doktrin agama, dan mengkaji ulang tradisi dan khazanah (turats) keagamaan kaum muslim.
Secara metodologis, dalam menerapkan gagasan-gagasan liberalnya, para intelektual muslim sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan, ekonomi, dan sosial mereka. Inilah yang kemudian memunculkan banyaknya kecenderungan dan aliran pemikiran Islam.
Sesungguhnya, sama seperti di masa silam ketika pemikiran Islam terpecah-pecah menjadi aliran-aliran pemikiran, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Qadariyah, Jabariyah, Sifatiyah, Syafi’iyyah, Hanafiyah, dan lain-lain, di masa modern, sesuai dengan konteks nomenklatur dan neologi yang beredar, aliran-aliran pemikiran Islam kemudian terpecah menjadi Tradisionalis, Modernis, Neomodernis, Postmodernis, Revivalis, Neorevivalis, dan nama-nama lain yang mewakili setiap kecenderungan pemikiran dalam Islam.
Saya menganggap bahwa istilah-istilah itu hanyalah sekedar untuk memudahkan kita memahami fenomena pemikiran Islam yang begitu beragam. Anda bisa menyebut Muhammad Abduh, intelektual Mesir, sebagai seorang “tradisionalis” karena dia masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional agama, tapi Anda juga bebas menyebutnya sebagai seorang “modernis,” karena dia memiliki pandangan keagamaan yang maju.
Begitu juga, Anda bisa menganggap Muhammad Iqbal, intelektual Pakistan, sebagai seorang “revivalis” karena dia yang menggagas konsep “negara Islam” yang kemudian diikuti dan dibela mati-matian oleh Abul A’la al-Maududi, teman dan juniornya yang kemudian menjadi notorious sebagai seorang “fundamentalis;” atau menganggapnya sebagai seorang “tradisionalis” karena “ketergantungan”-nya yang begitu besar terhadap tradisi tasawuf dan spiritualisme; atau juga memasukkannya dalam deretan intelektual “modernis” karena gagasan-gagasannya yang sangat cocok dengan semangat modernitas.
Charles Kurzman berusaha mentransendensikan taksonomi pemikiran Islam itu dengan membuat pendekatan berbeda. Jika selama ini pemikiran Islam dilihat secara katagoris,[3] dia mencoba melihatnya dari perspektif holistik dengan mengambil liberalisme –benang merah gagasan awal kebangkitan Islam—sebagai standar untuk memahami gagasan-gagasan pemikiran dan metode-metode yang digunakan para intelektual muslim, sejak era kebangkitan hingga sekarang.
Liberalisme yang menjadi raison d’etre kebangkitan Islam awal abad ke-19 dijadikan Kurzman sebagai “parameter” atau “timbangan” untuk mengukur sejauh mana seorang intelektual muslim memiliki komitmen terhadap raisontersebut dan selanjutnya terhadap kebangkitan Islam itu sendiri.
Karena parameter liberalisme berbeda dari sekadar katagorisasi ide seperti dilakukan dalam taksonomi-taksonomi lama, maka sosiolog dari University of North Crolina, AS, ini, memberikan ruang yang begitu besar bagi terjadinya amalgamasi, interaksi, dan interkoneksi antara satu pemikir dengan pemikir yang lain, atau antara satu gagasan pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Bagi para penganut paradigma taksonomi lama, pemberian ruang yang begitu besar itu menjadi lahan yang empuk bagi mereka untuk mengkritik Kurzman. Penulis buku Liberal Islam ini, menurut mereka, telah semena-mena menyandingkan tokoh-tokoh yang selama ini dianggap “tradisional” atau “konservatif” dengan tokoh-tokoh yang “progresif” dan “dinamis.”
Kurzman sendiri tampaknya tak terlalu peduli dengan kritik-kritik semacam ini. Seperti yang dia sampaikan kepada saya lewat beberapa e-mailnya, orang bisa saja tak setuju dengan “alat ukur” baru itu, karena concern utama dia bukannya apakah seseorang layak disebut liberal atau tidak, tapi apakah pemikiran-pemikirannya dapat mendukung gagasan liberalisme atau tidak.
Saya memahami ruang luas yang diberikan Kurzman sebagai sebuah tingkatan-tingkatan (gradasi) liberalisme dalam Islam. Adalah merupakan common sensebelaka bahwa setiap orang memiliki tekanan liberalitas yang berbeda dalam menyuarakan gagasan-gagasan pemikirannya.
Yang terpenting di sini adalah bahwa pemikiran-pemikiran mereka dapat memenuhi standar liberalisme Islam yang oleh Kurzman diukur berdasarkan enam state of mind, yakni sikap terhadap teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-muslim, kebebasan berpikir, dan progresifitas atau kemajuan.