Home » Gagasan » Islam Liberal » Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal

Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal

4.33/5 (12)

Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.

Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak.

Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan.

Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia.

Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ’ibad).

Otonom atau tidak?

Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”?

Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya?

Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama.

Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan.

Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang.

Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu.

Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas.

Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas.

Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.

Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas“. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya.

Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar.

Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat“, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi“, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan.

Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia.

Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu.

Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi.

Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl.

Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama?

Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai.

Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu“, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal.

Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah.

Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang.

Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom.

Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya.

Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.