Home » Gagasan » Islam Liberal » Yahudi dan Kristen dalam Quran: Tafsir atas Ayat 2:120

Yahudi dan Kristen dalam Quran: Tafsir atas Ayat 2:120

4.31/5 (70)

IslamLib – Sebuah ayat dalam Surah Al-Baqarah:120 kerap dijadikan sebagai dasar pembenaran untuk “membenci” orang-orang Yahudi dan Kristen. Bunyi ayat itu ialah: wa lan tardla ‘anka al-Yahudu wa la al-Nashara hatta tattabi’a millatahum. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu (Muhammad) hingga engkau mengikuti agama mereka.

Ini adalah salah satu ayat “favorit” para penceramah dan khatib yang gemar menguarkan sikap permusuhan terhadap orang-orang di luar Islam, terutama Yahudi dan Kristen. Bagaimana memahami ayat ini secara tepat? Apakah benar ayat ini menganjurkan sikap semacam itu? Bagaimana seharusnya sikap Muslim terhadap non-Muslim? Apakah prasangka-prasangka buruk yang ada pada sebagian kalangan Islam atas kelompok non-Muslim ada kaitannya dengan ajaran Islam?

Anggapan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kebencian kepada umat agama lain jelas kesalahan besar. Lebih salah lagi menganggap bahwa ayat di atas itu adalah “licence” atau izin untuk membenci orang-orang Kristen dan Yahudi. Islam adalah agama yang jelas sejak awal menghendaki koeksistensi atau hidup bersama secara damai dengan umat manapun. Corak masyarakat yang hendak dibangun oleh Islam ialah masyarakat damai (dar al-salam) di mana semua golongan yang ada di sana saling menghormati satu terhadap yang lain.

La yanhakum al-Lahu ‘an alladzina lam yuqatilukum fi al-din wa lam yukhrijukum min diyarikum an tabarruhum wa tuqsithu ilaihim (QS 60:8), demikian ditegaskan dalam Quran. Tuhan tak melarang seorang Muslim untuk membangun interaksi sosial yang baik dan damai dengan golongan di luar Islam, asal yang terakhir ini tak melakukan permusuhan terhadap umat Islam.

Sejak awal pun Tuhan menegskan bahwa keragaman sosial adalah fakta yang tak bisa dihindarkan: manusia diciptakan berbagai-bagai suku dan klan agar saling mengenal satu dengan lain (QS 49:13). Etika sosial yang diajarkan oleh Quran ialah anjuran untuk saling mengenal antar kelompok sosial yang berbeda-beda, dan dengan demikian juga saling menghargai – li ta’arafu.

Sebuah ayat lain menegaskan pentingnya “mutual respect”, saling menghargai antar golongan. Ya ayyahulladzina amanu la yaskhar qawmun min qawmin: wahai orang-orang beriman, janganlah kalian saling mengolok satu terhadap yang lain (QS 49:11) . Istilah “sakhara” yang dipakai dalam ayat ini bisa diterjemahkan dalam istilah yang populer saat ini, yaitu “hate speech” – ujaran yang berisi kebencian. Hate speech dilarang dalam Islam, sebab akan menimbulkan permusuhan antar-kelompok. Situasi sosial yang penuh permusuhan bukanlah situasi ideal yang dikehendaki oleh Islam.

Mungkin ada yang bertanya: Bukankah ayat 49:11 itu hanya ditujukan untuk orang Islam saja, sebab di sana larangan itu diungkapkan dengan frasa “ya ayyuha-l-ladzina amanu”, wahai orang-orang beriman? Artinya, larangan untuk tak boleh mengolok-olok itu hanya ditujukan terhadap sesama Muslim. Seorang Muslim tak boleh mengolok orang Muslim lainnya. Bukankah demikian pengertian ayat itu?

Pertanyaan saya: Jika benar demikian, apakah artinya Islam membolehkan mengolok orang-orang non-Muslim berdasarkan pemahaman “mafhum mukhalafah” (pemahaman/penyimpulan terbalik, reverse inference)? Jika jawabannya ya, tentu ini berlawanan dengan ajaran Islam sendiri. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa Quran mengandung pengertian yang “self-contradictory”, melawan dirinya sendiri.

Jika ada yang berpandangan bahwa larangan mengolok-olok ini hanya berlaku untuk orang Islam saja, sementara orang-orang non-Muslim boleh diolok dan dicerca, tentu orang semacam ini sama sekali tak mengerti esensi ajaran Islam. Ini sama saja dengan sebagian kalangan Islam yang berpandangan bahwa mereka tak dibolehkan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim sebab, konon, ada hadis yang menunjukkan larangan semacam ini.

Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang membawa rahmat melarang umat Islam mengucapkan salam (doa keselamatan) bagi orang-orang non-Muslim? Masuk akalkah?

Dengan penjelasan semacam ini, saya ingin menuju kepada sebuah kesimpulan pokok: Islam adalah agama yang menghendaki perdamaian, hubungan sosial yang harmonis antara semua golongan, dan saling menghormati. Dalam terang pemahaman seperti ini, saya mau kembali ke ayat tentang Yahudi dan Kristen dalam Al-Baqarah:120 di atas. Benarkah ayat ini menganjurkan permusuhan terhadap kedua umat agama itu?

Dengan tegas saya ingin mengatakan: Sama sekali tak benar! Ayat di atas itu, jika kita telaah literatur tafsir klasik seperti tafsir Al-Tabari, Al-Zamakhasyari, Al-Razi, Al-Baidhawi, dll., sama sekali tak dipahami sebagai anjuran untuk membenci umat Kristen dan Yahudi. Makna ayat itu terkait dengan situasi yang sangat spesifik di Madinah pada masa kehidupan Nabi Muhammad.

Secara umum, makna ayat itu adalah demikian; Nabi memiliki harapan besar agar orang-orang Yahudi dan Kristen di kawasan Arab memberikan “support” terhadap dakwahnya berhadapan dengan orang-orang Arab yang memusuhi misi Islam. Harapan ini bukan tanpa dasar, sebab sebagian besar isi ajaran Islam yang dibawa Muhammad pada dasarnya sama dengan ajaran-ajaran yang ada dalam Yahudi dan Kristen. Sebab, Nabi Muhammad menggambarkan misi kerasulannya sebagai kelanjutan saja dari nabi-nabi Israel yang datang pada masa lampau.

Harapan Nabi semacam ini ternyata tak tercapai. Masyarakat Yahudi dan Kristen di Arab saat itu tak bisa diyakinkan untuk memberikan sokongan terhadap dakwah Nabi; sebaliknya malah bersekutu dengan orang-orang Arab untuk memusuhi Islam.

Pada titik inilah wahyu turun kepada Nabi yang maknanya kira-kira begini: Kamu tak usah terlalu banyak berharap akan sokongan (tardla) umat Yahudi dan Kristen. Sebab engkau bisa saja berharap seperti itu, wahai Muhammad, tetapi petunjuk (al-huda) hanya datang dari Tuhan saja (qul inna huda-l-Lahi huwa al-huda).

Tak ada pengertian tentang anjuran kebencian dalam ayat ini. Yang tergambar di sana justru semacam penghiburan kepada Nabi Muhammad agar tak terlalu kecewa dan putus asa karena menghadapi resistensi dari kalangan umat Yahudi dan Kristen di kawasan Arab saat itu. Pada awalnya, mungkin Nabi bersikap agak sedikit “naif” bahwa kesamaan misinya dengan ajaran Yahudi dan Kristen (yaitu monoteisme) akan membuat kalangan Yahudi dan Kristen menunjukkan simpati kepada dakwahnya.

Ternyata harapan Nabi itu tak terwujud. Tentu saja dia kecewa. Ayat di atas memberikan pelipur lara, “consolation”, kepada Nabi agar tak terlalu jauh hanyut dalam perasaan kecewa. Inilah, menurut saya, makna yang tepat untuk ayat itu.

Ayat tersebut memang memuat sebuah partikel yang secara semantik bermakna “total negation”, penafian secara mutlak. Frasa “wa lan tardla” dalam ayat itu memang secara harafiah berarti: orang-orang Yahudi dan Kristen tak akan pernah senang dengan kalian, umat Islam. Partikel “lan” dalam semantik bahasa Arab bermakna: al-ta’bid, negasi untuk selama-lamanya. Dengan demikian, menurut sebagian kalangan dalam Islam, makna ayat itu: sampai kapanpun orang Yahudi dan Kristen tak akan bersahabat dengan umat Islam.

Jika benar pemahaman semacam ini, maka jelas dia bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Jika ayat itu dipahami sebagai semacam anjuran untuk mencurigai terus-menerus kalangan Yahudi dan Kristen, dengan alasan bahwa hingga kapanpun mereka tak akan mau mempercayai orang Islam, maka ini sama saja dengan mengatakan bahwa Islam mengajarkan sikap curiga yang abadi terhadap golongan lain. Kecurigaan antar golongan bukan landasan yang sehat untuk membangun masyarakat yang damai seperti dikehendaki oleh Islam.

Masyarakat yang sehat dan damai hanya bisa dibangun berdasarkan “mutual respect” (saling menghargai) dan “mutual trust” (saling percaya). Jika kita beranggapan bahwa Islam –berdasarkan pemahaman yang menurut saya keliru atas ayat tadi—menganjurkan umatnya untuk mencurigai orang-orang Yahudi dan Kristen, maka ini sama saja dengan mengatakan bahwa Islam menghendaki sebuah masyarakat yang penuh kecurigaan. Bagaimana mungkin membangun sebuah masyarakat yang harmonis dengan landasan kecurigaan semacam ini?

Dengan kata lain: saya menolak menjadikan ayat ini sebagai pembenaran untuk menaruh kecurigaan yang abadi atas umat dua agama semitik di luar Islam itu.

Secara faktual, prasangka-prasangka buruk di kalangan umat Islam terhadap orang Yahudi dan Kristen jelas ada. Hal yang sama juga ada di kalangan umat dua agama itu terhadap umat Islam. Prasangka buruk dan “stereotyping” ada di mana-mana. Ini bukan gejala yang khas pada umat agama tertentu.

Tetapi ini bukan tindakan yang didasarkan pada ajaran agama – agama manapun. Prasangka sosial tumbuh karena alasan-alasan sosial yang spesifik. Ayat dan firman Tuhan hanya dijadikan kedok dan pembenaran saja.

Meskipun makna ayat tersebut jelas tidaklah mendukung prasangka semacam itu. Ayat 2:120 hanya dijadikan “pretext”, pembenaran yang keliru atas kebencian terhadap Yahudi dan Kristen. Seperti sudah kita lihat, makna ayat itu sendiri jauh dari pengertian semacam itu. Ayat itu sendiri bukanlah anjuran untuk kebencian, melainkan “pelipur lara” untuk Nabi Muhammad agar tak mengalami kekecewaan karena harapannya untuk mendapat sokongan dan simpati dari umat Yahudi dan Kristen pada masa hidupnya tak tercapai.[]

 

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.