“Nah, ketika saya pertama kali Salat dan mengucap takbir: “Allahu Akbar”, seluruh kawasan itu seolah menyahut dengan ucapan yang sama: Allahu Akbar, Allahu Akbar… Jadi, seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Luar biasa.. Pengalaman itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah.”
Demikianlah sekelumit pengalaman spiritual yang dituturkan sastrawan Danarto, penulis novel dan cerpen bercorak sufistik atau realisme-magis seperti Godlob dan Asmaraloka serta buku perjalanan hajinya itu Orang Jawa Naik Haji kepada Ulil Abshar-Abdalla dan Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dalam wawancara Kamis (13/5). Berikut petikannya:
Mas Danarto, saya pribadi mengikuti pengalaman spiritual Anda dalam buku-buku yang Anda tulis, sangat dalam dan menyentuh. Sebenarnya bagaimana persepsi Anda tentang Tuhan?
Sederhana saja, kita rupanya tidak mungkin melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan, karena Beliaulah yang mencipta alam semesta beserta isinya. Bahkan Tuhan sendiri berfirman, dibanding mencipta alam semesta, mencipta manusia itu amat sangat gampangnya. Nah, saya membayangkan Tuhan itu sebagai Yang-tak-terbayangkan. Jadi kita memberi nama beliau itu Zat.
Agak aneh juga menyebut Tuhan dengan sebutan “Beliau”. Biasanya kita menggunakan kata ganti “Dia” (dengan D Kapital) !
Ya, ini disebabkan kekurangan rasa bahasa Indonesia. Kalau menggunakan bahasa Jawa sebenarnya agak longgar. Bahasa Jawa memakai kata ganti Gusti atau Pangeran. Di bahasa Indonesia tidak ada (kata ganti) seperti itu, hanya ada kata Tuhan.
Tapi kenyataan bahwa manusia sudah berhasil memberi nama Tuhan, yaitu Zat yang Maha Suci, itu merupakan kreativitas manusia sebenarnya. Sebab dalam Al-Qur’an sendiri Tuhan belum pernah menyebut Aku atau Dia itu siapa.
Bagaimana proses yang Anda alami dalam mengenal agama?
Saya sebenarnya belajar tasawuf lebih dulu dari pada beragama. Selama proses itu, saya tunggang-langgang. Lalu saya sadar, “lho, ini kok belum-belum sudah meloncat ke angka sepuluh!” Mestinya kan dari angka satu dulu.
Apakah latar belakang Anda Jawa-Abangan?
Ya, saya orang Jawa-abangan. Sampai sekarang saya buta huruf Al-Qur’an. Jadi tidak bisa ngaji. Saya berdo’a dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dulunya waktu masih belajar, saya salat memakai bahasa Jawa. Pengalaman itu indah sekali. Dan sebenarnya saya agak terlambat salat. Setelah umur 27 tahun, saya baru menunaikan salat.
Masih pakai bahasa Jawa?
Pakai bahasa Jawa dulu. Misalnya: Duh, Gusti. Mugi nebihaken kawulo saking dosa kados anggen paduko nebihaken antawis plethek lan suruping suryo (Ya Allah, semoga Engkau menjauhkan saya dari dosa, sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara terbit dan tenggelamnya matahari). Ketika saya berdoa seperti itu, saya sempat tertawa; lho, ini wayang kulit, bukan salat (tertawa).
Mengapa Anda tidak memakai bahasa Arab; apakah ada perbedaan kedua bahasa itu dari segi penghayatan?
Saya kan buta huruf Arab dan tidak bisa mengaji sampai sekarang. Bahasa asing tidak ada yang nyanthol pada saya. Seperti bahasa Inggris, saya sudah keliling dunia, tapi bahasa Inggris yang saya bisa cuma “I love you, Don’t leave me, if you leave me I will die.”
Nah, waktu saya pakai bahasa Jawa, rasanya enak sekali. Luar biasa, karena saya menghayati rasa bahasa itu. Tapi lama-lama, kok salat saya kayak pertunjukan wayang orang atau wayang kulit. Akhirnya saya betul-betul belajar salat sebagaimana Rasulullah. Jadi sekarang sudah pakai bahasa Arab.
Memang ada perbedaaan rasa bahasa di sini. Misalnya sami’alLâhu limanhamidah itu kalau dalam bahasa Jawa artinya sama dengan gajah Hamidah.Sami’alLâh itu sama; liman itu gajah (bahasa jawa halus), midah itu nama cewek. Jadi terjemahannya kira-kira sama dengan gajah Hamidah (ketawa).
Apakah keluarga Anda mengajarkan pendidikan agama secara formal?
Sebenarnya langsung tasawuf, karena ayah suka membaca buku-buku tasawuf Al-Ghazali, Agus Salim, bahkan Leadbiter, seorang tokoh teosufi, dan Krisnamurti. Jadi ayah saya membaca banyak pelbagai literatur keagamaan, walau sehari-hari belepotan lumpur. Jadi kalau dia pulang kerja, dia membaca buku-buku tasawuf dalam yang ditulis dalam bahasa Jawa dan menggunakan huruf Jawa.
Apa Anda pernah belajar agama di madrasah atau surau?
Tidak, karena saya tinggal di kota yang boleh dikatakan tidak ada pesantren, atau saya tidak tahu pesantrennya. Jadi saya sekolah biasa, dan ternyata saya tidak maju. Saya berkenalan secara resmi dengan agama ketika berumur 27 tahun. Waktu itu saya di desa Leles Garut, saya memperhatikan bibit padi yang disiram air secara pelan-gemericik. Pemandangan itu menyadarkan saya. Bayangan saya, kalau bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemericik.
Dari situ pikiran saya terbuka; saya harus salat ini!, tekad saya. Lalu saya membeli buku “Tuntunan Salat” seharga Rp 15.000, dan mulai salat. Nah, ketika saya pertama kali mengucap takbir: “Allahu Akbar”, seluruh kawasan itu seolah-oleh menyahut dengan ucapan yang sama: Allahu Akbar, Allahu Akbar. Jadi seperti ada sambutan dan dalam jumlah ribuan orang. Itu berlangsung sampai satu minggu. Ketika itu saya salat sendiri di rumah. Dan itulah pengalaman spiritual saya yang pertama kali.