Home » Gagasan » Islam Nusantara » Kontroversi Islam Nusantara
Dari kanan : Azyumardi Azra, Lies Marcoes, Ulil Abshar-Abdalla dan Fahmi Salim (Photo: Erton)

Kontroversi Islam Nusantara Reportase Majelis Kamisan

3.33/5 (9)

IslamLib – Di media sosial akhir-akhir ini ramai sekali perbincangan mengenai Islam Nusantara. Ada banyak pihak yang pro terhadap gagasan ini, namun tak sedikit pula buzzer  yang mencemooh tema muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 itu.

Derasnya perdebatan di  dunia maya menyoal Islam Nusantara  menjadi perhatian Ulil Abshar-Abdalla. Dalam acara perdana Majelis Kemisan di rumah dinas menteri agama di jalan Chandra Wijaya III no. 9, Selasa (7/7), Ulil menelusuri munculnya kontroversi Islam Nusantara.

Kenapa Istilah ini ketika dipakai sebagai tema muktamar NU ke-33 menghalau reaksi luar biasa? Ini misterius… bahkan ada yang menyebut tema ini masukan dari JIL (Jaringan Islam Liberal)”, kata pendiri Jaringan Islam Liberal itu mengawali sesinya yang disambut gelak tawa hadirin.

Ulil merasa ada yang aneh dengan munculnya reaksi yang keras terhadap Islam Nusantara di sebagian kalangan. Padahal, kata Ulil, istilah ini telah dipakai dalam kurun waktu yang sudah lama. “Bahkan kan di Bandung sudah ada Universitas Islam Nusantara sejak lama?,”

Karena itu, menantu Gus Mus ini memberikan sejumlah hipotesa terkait munculnya sinisme terhadap Islam nusantara. Kemungkinan pertama, menurut Ulil, Islam Nusantara menjadi kontroversial karena ada pihak yang tersinggung. “Jadi ini istilah yang tepat mengenai sasaran. Siapa kelompok yang tersinggung? Anda sudah tahu semua,” ujar Ulil.

Kemungkinan kedua, menurut juru bicara partai Demokrat ini, alasan Islam Nusantara menjadi ramai diperbincangkan tidak lepas dari besarnya pengaruh NU. “Kalau istilah ini dipakai organisasi kecil tentu tidak akan menimbulkan reaksi besar. Tapi karena NU yang memakainya sudah pasti jadi luar biasa. Apalagi ini dijadikan tema muktamar. Sudah tentu amat politis,” tutur Ulil.

Namun, ada kemungkinan kuat, di mata Ulil, tokoh-tokoh NU memang bermaksud menyasar kelompok-kelompok tertentu. “Siapa mereka (yang dijadikan sasaran)? Biasanya yang jadi sasaran adalah teman-teman sesama Islam sendiri yang membawa konsep Khilafah,” ungkap lelaki berkopiah hitam itu.

Tidak sejalannya NU dengan para pengusung Khilafah memang tidak mengherankan. Sebagaimana diketahaui bersama, dalam muktamar NU ke 27 perkara sistem politik NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia ) telah dianggap sebagai suatu hal yang final sebagai bentuk.

“Karena itu kelompok pengusung khilafah bagi NU sudah pasti dianggap ancaman,” kata Ulil.

Selain para pengusung Khilafah, Ulil menduga sasaran tembak dalam muktamar  NU ke-33 ini tidak lain adalah gerakan Wahabi. Pasalnya, sambung Ulil, Wahabisme menganggap ziarah kubur sebagai suatu hal yang bid’ah sehingga harus dihapuskan. Sementara itu bagi NU, ziarah kubur adalah hal yang penting. “Berdirinya NU tidak lepas dari gerakan Wahabi yang ingin menghancurkan makam Nabi,” ujar Ulil.

Ulil yang juga menduduki posisi ketua umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini juga menduga ada alasan kuat tokoh-tokoh NU memakai Islam Nusantara sebagai tema muktamar tahun ini. “Pengaruh Wahabi di tanah air terasa kian menguat, antara lain dengan derasnya kampanye anti-Syiah,” kata intelektual muda NU ini.

Lalu dari mana dugaan Wahabisme menguat sebagaimana diklaim Ulil?

“Orang NU ketika melihat adanya peningkatan gelombang anti Syiah menilai ada penguatan Wahabisme,” sambung Ulil.

Ulil menilai semangat anti-Syiah yang digencarkan Wahabi dinilai berbahaya bagi persatuan dan kesatuan NKRI. “Karena itu NU angkat tema Islam Nusantara,” singkat Ulil.

Malam itu di hadapan hadirin, Ulil mengapresiasi tim penyelenggara muktamar NU ke-33. “Saya senang sekali tema ini diangkat,” ungkapnya.

Selain mendaulat Ulil, majelis kemisan perdana juga turut menghadirkan Azyumardi Azra dan Fahmi Salim selaku pembicara. Dalam acara diskusi “Islam Nusantara” ini pun turut hadir menteri agama Lukman Hakim Saifudin.

Sebelum diskusi berlangsung, menteri agama menegaskan bahwa Majelis Kamisan diharapkan bisa menjadi wadah untuk mengklarifikasi isu-isu yang tengah hangat di masyarakat, baik itu isu keumatan maupun kebangsaan. (Erton Arsy Vialy)

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.