Home » Highlight » Perspektif Kristen tentang Islam Nusantara

Perspektif Kristen tentang Islam Nusantara

3.75/5 (8)

IslamLib – Tulisan ini jauh dari maksud memasuki arena perdebatan internal mengenai konsep dan praksis Islam Nusantara, sebagaimana bergema beberapa waktu belakangan ini. Substansinya pertama-tama lebih mengarah pada refleksi terhadap wacana Islam Nusantara dalam konteks keindonesiaan dengan karakteristik masyarakat yang plural.

Hal itu turut mempengaruhi cara pandang mengenai kehadiran dan keberadaan agama-agama lain dalam mengekspresikan religiositas masing-masing seiring dinamika perjumpaan sosial dan budaya yang kontekstual.

Kedua, perspektif yang digunakan didasarkan pada asumsi bahwa identitas sosial, budaya dan agama terbentuk secara dinamis dalam ruang-ruang sosiologis dan kultural yang menarik agama-agama menuju simpul-simpul konvergensi dan negosiasi yang berdampak ganda: internal dan eksternal.

Pilihan perspektif Kristen-Indonesia di sini berbasis pada kesadaran bahwa konstruk teologis dan sosiologis Kekristenan memulai fase pemahaman baru mengenai identitasnya sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam tatanan masyarakat baru dari entitas politik bernama Republik Indonesia.

“Kristen” pada masa-masa pra-kemerdekaan adalah konstruk keberagamaan yang sangat kental diwarnai relasi-relasi tak-setara antara penjajah dan terjajah. Itu adalah konteks historis yang mempengaruhi cara mengada Kekristenan selanjutnya di Indonesia.

Namun, dengan merekatkannya menjadi Kristen-Indonesia, matra-matra historis dan sosiologis diterima sebagai proses memaknai kehadirannya secara kontekstual dalam realitas “menjadi Indonesia” per 17 Agustus 1945 hingga kini.

Refleksi Keberagamaan

Tema Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama, 1-5 Agustus 2015, di Jombang, yaitu “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, yang diulas oleh Rumadi Ahmad (Kompas, 31 Juli 2015), membuka tantangan reflektif bagi eksistensi agama-agama lain di Indonesia untuk memahami dirinya secara relasional dengan liyan.

Rujukan pada istilah “Nusantara” tampaknya dipilih dengan kesadaran historis bahwa eksistensi Islam pada hakikatnya terbuka dan lentur dalam proses melampaui identitas asalinya di Timur Tengah. “Terbuka” untuk menyerap segenap kearifan lokal yang begitu jamak di Nusantara; “lentur” dalam mengawal tradisi dan membumikan pesan secara kontekstual.

Dengan demikian, Islam yang berproses dalam ranah sosio-budaya masyarakat kepulauan ini mengejawantah secara variatif melalui berbagai tampilan budaya, termasuk dalam metode membumikan pesan-pesan universalnya melalui beraneka ragam bingkai konteks partikular.

Komitmen untuk meneguhkan Islam Nusantara seperti yang terpantul melalui tema Muktamar ke-33 NU tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi agama-agama lain, terutama Kekristenan, yang hidup dan bergulat dengan realitas keindonesiaan.

Sudah sejak para pedagang Eropa menjejakkan kaki di kepulauan Maluku pada abad ke-15, Kekristenan Eropa diterima sebagai sesuatu yang asing oleh masyarakat setempat. Karakteristik Kekristenan Eropa sebagai institutionalized religion ditransmisikan bersamaan dengan kegairahan ekonomi dan politik yang membawa serta memori-memori sosial-politik dan kebudayaan Eropa melalui konversi formal masyarakat setempat ke dalam Kekristenan ala Eropa.

Bentuk dan pola Kekristenan semacam itu menimbulkan benturan identitas karena agama semata-mata menjadi atribut politik kolonial yang turut dimuati oleh perseteruan-perseteruan primordial. Salah satu memori sejarah yang membebani eksistensi Kekristenan Nusantara adalah konflik agama-politik yang terjadi di Eropa – Perang Salib – abad ke-11 hingga abad ke-13 yang mempengaruhi cara pandang dan sikap relasi antaragama, terutama Islam dan Kristen.

Dengannya pula konflik-konflik politik dan ekonomi antara masyarakat setempat dan pihak kolonial dengan mudah ditumpangi oleh prapaham-prapaham “perang suci” antara “kaum saleh” dan “kaum kafir”, yang tidak segan-segan pula memposisikan Islam versus Kristen.

Hubungan kedua agama ini pun di Indonesia mengalami pasang-surut dalam meneguhkan eksistensinya sebagai keberagamaan yang mengakar pada ranah kemajemukan sosio-budaya Nusantara, serta kerap tergelincir pada dikotomi vulgar “agama pribumi” kontra “agama kolonial” yang ternyata dilanggengkan hingga kini. Itu yang menjadikan keduanya rentan terkooptasi konflik kepentingan politik sesaat.

Proses Mengindonesia

Kenyataan bahwa Kekristenan sebagai institusi agama yang ditransmisikan dari Eropa melalui politik kolonial dan lembaga-lembaga zending (misi) merupakan fakta sejarah yang tak tersangkali. Namun, itu tidak berarti bahwa Kekristenan hanyalah bentuk statis cangkokan dari Barat.

Sebaliknya, dalam proses sejarah kolonial dan terutama fase revolusi kemerdekaan dan selanjutnya, Kekristenan berproses dalam dinamika sejarah dan realitas sosio-budaya masyarakat Indonesia yang majemuk.

Pergulatan kontekstualisasi Kekristenan, bukan hanya bentuk tetapi juga pesan teologisnya, berlangsung alot justru pertama-tama dari dalam Kekristenan itu sendiri yang dapat disederhanakan sebagai perdebatan kaum skripturalis dan kaum kontekstualis.

Kaum skripturalis kukuh pada prinsip ineransi kitab suci (Alkitab) sebagai wahyu Tuhan yang tak terbantahkan. Teks-teks kitab suci diperlakukan sebagai mantera-mantera sakral yang dipercaya mampu menyelesaikan setiap persoalan individual dan sosial.

Pihak yang tidak menerima “kebenaran” tersebut jelas-jelas dikategorikan sebagai orang-orang yang “menolak keselamatan”. Di pihak lain, kaum kontekstualis lebih condong menerima bahwa Wahyu Tuhan itu berproses dalam sejarah dan kebudayaan manusia. Dengan demikian, Wahyu itu mesti dihayati melalui proses interpretasi kritis yang melibatkan kesadaran sejarah dan kebudayaan sebagai konteksnya.

Penghayatan terhadap teks-teks kitab suci sebagai pesan-pesan luhur harus dikomunikasikan melalui media kebudayaan setempat sehingga “teks-teks” itu hidup dalam dan menghidupi “konteks” manusia yang bersedia menerimanya bukan sebagai kebenaran per se melainkan sebagai hikmat yang memandu pada kebenaran hakiki, yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Dalam proses kontekstualisasi tersebut terjadi dialektika kreatif antara “teks” dan “konteks” sehingga iman dan keberagamaan menjadi sesuatu yang menggairahkan kehidupan.

Konteks Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 menghadapkan Kekristenan pada kenyataan sosial-politik baru yang sama sekali berbeda dari masa kolonial. Asumsi-asumsi teologis Kekristenan yang dibangun sejak masa kolonial mengalami dekonstruksi berhadapan dengan realitas baru keindonesiaan yang tidak pernah ada presedennya.

Dalam proses “menjadi Indonesia” itu menarik untuk mencermati perdebatan mengenai ideologi negara baru ini tahun 1945 seperti yang tercatat pada Risalah Sidang BPUPKI/PPKI tahun 1945. Perdebatan cerdas para pemikir awal bangsa ini pada gilirannya melahirkan suatu konsensus budaya dan kontrak politik dengan memilih nama “Indonesia”.

Di tengah-tengah kecenderungan primordialistik (agama dan etnisitas) dari kelompok-kelompok etnis/agama yang tersebar jamak di untaian kepulauan peninggalan Hindia-Belanda ini, mereka cerdas karena membangun negara-bangsa ini dengan visi yang realistis akan kemajemukan unsur-unsur sosiologis dan kultural masyarakat pendukungnya.

Dengan demikian, “Indonesia” adalah jalan tengah, atau saya menyebutnya konsensus budaya dan kontrak politik dari/bagi siapapun yang bersedia terlibat di dalamnya. Namanya bukan “Republik Jawa”, kendati kelompok etnis Jawa saat itu (bahkan hingga kini) lebih besar secara kuantitatif dari yang lain.

Bukan pula “Republik Islam”, meski kuantitas para penganut agama ini lebih tinggi dibanding yang lain (saat itu bahkan hingga kini). Itu sebabnya, pilihan republik dan sistem demokrasi di negara ini tidak berlandaskan prinsip “mayoritas-minoritas” atau survival of the fittest.

Kecerdasan para pemikir/pendiri bangsa ini adalah bentuk kematangan spiritualitas dan rasionalitas dengan kesadaran penuh bahwa masyarakat-bangsa-negara ini berdiri di atas kemajemukan sebagai modal sosialnya.

Identitas primordial tetap hidup namun dimaknai eksistensinya secara relasional dengan identitas-identitas primordial yang begitu kaya, sehingga bukan dominasi tetapi negosiasi identitas untuk satu visi keindonesiaan yang sama sekali baru.

Negosiasi hanya terjadi dalam relasi kesetaraan. Bukankah dengan begitu idealnya “Indonesia” adalah sebentuk imajinari sosial yang modern? Oleh karena preferensinya bukan “Arab” dan bukan “Barat”; bukan “Majapahit” dan bukan pula “Sriwijaya”, tetapi kesepakatan sosial-politik yang melahirkan hibriditas nasionalisme.

Dalam konteks dan konstruk Indonesia semacam itu, harus pula diakui peran penting perwakilan Islam Indonesia saat itu yang menerima secara kritis pandangan I Gusti Ktut Pudja (perwakilan Hindu) dan Johannes Latuharhary (perwakilan Kristen) untuk menentukan sistem bernegara yang memperlakukan setiap warga negara dengan matra identitasnya yang plural secara setara.

Pancasila dan Indonesia itulah yang kemudian menjadi titik temu konsensus budaya dan politik Indonesia. Di situlah, menurut saya, momen krusial Muktamar ke-33 NU yang mengusung visi Islam Nusantara bagi peradaban Indonesia dan dunia sebagai bentuk kesadaran historis proses mengindonesia dan dekonstruksi kontekstual keberagamaan yang beradab dan egaliter tanpa terperangkap pada jargon mayoritas-minoritas.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.