IslamLib – Jihad berasal dari kata juhd atau jahd. Juhd berarti kemampuan (al-thaqah), sementara jahd berarti letih (al-masyaqqah). Ada yang berpendapat bahwa jahd dan juhd bermakna tunggal, yaitu kemampuan.
Dari kata ini, Said al-Asymawi menyatakan, jihad adalah berupaya secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan (badzl al-juhd) untuk mencapai tujuan tertentu. Atau, bersabar dalam keletihan (tahammul al-jahd) ketika menjalankan satu perbuatan atau merealisasikan sebuah misi. Ketika jihad fi sabilillah disebutkan, maka itu berarti upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuan untuk selalu berada di jalan Allah.
Mengacu pada pengertian etimologis ini sebenarnya jihad tidak mengandung makna kekerasan apapun. Namun, secara terminologis banyak ulama yang mengidentikkan jihad dengan tindakan memerangi orang kafir. Pertanyaannya, apakah ini sebuah deviasi atau derivasi?
Pada mulanya jihad memang tak bersangkut paut dengan peperangan fisik-militeristik (qital). Jihad lebih merupakan upaya seseorang untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Orang Islam yang berjuang agar dirinya terus menaati Allah dan Rasul-Nya disebut sebagai mujahid.
Pandangan ini benar kalau memperhatikan ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an. Sesungguhnya wahyu yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad sudah turun ketika Nabi berada di Mekah. Karena turun di Mekah, perintah berjihad tak memiliki kaitan dengan perkara peperangan fisik.
Di Mekah tak pernah terjadi peperangan yang melibatkan orang Islam dan orang kafir-musyrik Mekah.
Ayat-ayat jihad yang turun di Mekah tersebut, di antaranya, adalah: Pertama, “maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar” (QS, al-Furqân [25]: 52) Menurut Ibn Abbas, kata jihad dalam ayat ini berarti al-Qur’an, sehingga ayat itu berbunyi, “berjihadlah dengan menggunakan al-Qur’an”.
Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli tampaknya mengikuti pendapat Ibn Abbas ini bahwa jihad dalam ayat tersebut berarti al-Qur’an. Menurut Ibn Zaid, jihad di situ berarti Islam. Fakhr al-Din al-Razi mengutip satu pendapat yang menyatakan, pengertian jihad dalam ayat ini adalah berusaha secara sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah dan berdoa kepada Allah.
Jihad pada ayat ini, menurut al-Thabari, Al-Qurthubi, Fakhr al-Din al-Razi, tak berarti peperangan fisik karena ayat ini turun di Mekah. Jihad dengan al-Qur’an, demikian Thabathaba’i, adalah dengan membacakan dan menjelaskan esensi dasar ayat-ayat al-Qur’an.
Kedua, adalah firman Allah, “orang-orang yang sungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya Kami tunjukkan jalan-jalan menuju Kami” (QS, al-Ankabut [29]: 69). Ayat ini, menurut al-Suddi, turun sebelum adanya perintah untuk berperang. Ibn Athiyah menyatakan, jihad dalam ayat ini berarti berusaha secara sungguh-sungguh untuk menjalankan ajaran agama dan mencari kerelaan-Nya.
Ibn Abbas dan Ibrahim ibn Adham berpendapat, jihad dalam ayat ini berarti mengamalkan ilmu. Abu Sulaiman al-Darani berkata, jihad di ayat ini bukan memerangi orang-orang kafir, melainkan menjalankan ajaran agama yang salah satunya adalah berusaha secara sungguh-sungguh untuk taat kepada Allah.
Menurut Al-Dhahhak, ayat ini berarti bahwa orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam berhijrah niscaya akan ditunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju keimanan yang kukuh. Fakhr al-Din al-Razi menafsirkan ayat ini, “barang siapa bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju surga”.
Said al-Asymawi menafsirkan bahwa orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya untuk selalu berada dalam keimanan yang benar dan bersabar menghadapi penyiksaan orang-orang kafir, Allah akan menunjukkan kepada yang bersangkutan jalan-jalan menuju kerelaan-Nya.
Ketiga, adalah firman Allah “Barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya ia berjihad untuk dirinya sendiri” (QS, al-Ankabut [29]: 6). Ayat ini menurut al-Qurthubi berarti, barangsiapa berjihad dalam agama, bersabar dalam menghadapi serangan orang-orang kafir, dan selalu taat menjalankan ajaran agama, maka baginya adalah pahala dari Allah.
Penafsir lain menyatakan, jihad dalam ayat itu berarti; orang-orang yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menambahkannya dengan ilmu yang lain.
Keempat, adalah firman Allah, “Jika keduanya berjihad terhadapmu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya (ayah dan ibu) di dunia dengan cara yang baik” (QS, Luqmân [31]: 15)
Teks dengan redaksi yang mirip dengan ayat tersebut ada pada surat al-Ankabut: 8. Jihad dalam dua ayat ini tak berarti tindakan militer atau perang fisik. Ibn Katsir mengartikan jihad dalam ayat tersebut sebagai berusaha sekuat tenaga. Thabathaba’i menafsirkan jihad dalam ayat ini sebagai meminta dengan terus mendesak.
Muhammad Nawawi al-Jawi mengartikan jihad dalam ayat itu dengan memerintahkan. Terlepas dari itu, menurut Said al-Asymawi, ayat tersebut mengandung makna etis bahwa seorang anak harus sabar menghadapi orang tua yang hendak menjerumuskan dirinya ke dalam kemusyrikan sambil tetap memperlakukan kedua orang tua secara baik.
Melalui beberapa ayat itu bisa disimpulkan bahwa ayat jihad yang turun di Mekah tak berkaitan dengan tindakan militer. Said al-Asymawi berpendapat, jihad dalam periode Mekah berarti berusaha untuk selalu berada dalam jalan keimanan yang sah dan bersabar dalam menghadapi penyiksaan orang-orang kafir.
Jihad dalam periode ini mengandung makna etis-moral, yaitu taat kepada Allah, bersabar, ajakan persuasif (dakwah) untuk menyembah Allah, bukan yang lainnya. Dengan demikian, dalam fase Mekah ini perintah berjihad dengan orang-orang kafir tidak dijalankan dengan menghunus pedang, melainkan dengan jalan hikmah (al-hikmah), nasehat yang baik (al-maw’izhah al-hasanah), dan dialog konstruktif (mujadalah bi allati hiya ahsan).
Menghadapi berbagai tekanan dari orang-orang musyrik Mekah, Nabi selalu menyuruh umatnya untuk bersabar. Kata Nabi, saya diutus bukan untuk berperang. Allah berfirman di dalam al-Qur’an, “bersabarlah dengan sebaik-baik kesabaran”.
Jihad dalam pengertian berperang untuk mempertahankan diri atas penganiayaan atau serangan orang-orang kafir adalah ayat-ayat jihad dalam periode Madinah, seperti dalam beberapa ayat dalam surat al-Baqarah, al-Anfal, al-Ma’idah, al-Mumtahanah, al-Taubah atau surat Bara’ah, dan lain-lain.
Misalnya firman Allah, “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap tegaslah kepada mereka” (QS, al-Tawbah [9]: 73). Ayat ini memang tak menyebutkan sendiri pengertian jihad sebagai peperangan fisik. Namun, tampaknya kebanyakan ulama menafsirkannya sebagai pertempuran fisik.
Jalal al-Din al-Suyuthi & Jalal al-Din al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain mengartikan ayat tersebut sebagai berjihad dengan menggunakan pedang bagi orang-orang kafir, dan menggunakan jalan dialog dan diplomasi bagi orang-orang munafik.
Pendapat yang sama dikemukakan Al-Thabari, Ibn Katsîr, Al-Qurthubi, Al-Zamakhsyari dengan mengacu kepada tafsir Ibn Abbas dan al-Dlahhak. Sebagian yang lain menyatakan, jihad bisa dilakukan dengan menggunakan tangan, lisan, dan hati.
Pandangan ini tampaknya disandarkan kepada hadits yang memerintahkan umat Islam memberantas kemungkaran dengan tangan, lisan, dan hati. Hadits itu berbunyi, “Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan. Kalau tidak mampu, maka dengan lisan. Kalau tidak mampu, maka dengan hati, dan itu adalah selemah-lemah iman”.
Ayat lain misalnya, ”Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa senang maupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu sekiranya kamu mengetahui” (QS, al-Tawbah [9]: 41). Secara eksplisit ayat ini menyuruh umat Islam segera bergegas untuk berperang melawan musuh yang sudah datang mengancam.
Fakhr al-Din al-Razi menegaskan, dalam kondisi bagaimanapun, baik dalam keadaan suka atau tidak suka, dalam keadaan punya bekal atau tidak, dalam keadaan punya senjata atau tidak, umat Islam harus berangkat melawan tantangan orang-orang kafir musyrik.
Melihat ayat jihad dalam makna perang fisik sebagian besarnya turun setelah hijrah, perlu ditegaskan–sebagaimana dikemukakan sebelumnya–bahwa peperangan yang dilakukan Nabi dan pengikutnya lebih merupakan reaksi atas agresi atau penyerangan yang dilakukan lawan-lawannya.
Dengan perkataan lain, jihad dalam makna perang ini tidak bersifat defensif (difa’i) melainkan ofensif. Pada zaman Nabi, perang dilancarkan untuk pertahanan diri.
Menurut Sa’id al-Asymawi, perang fisik ini terpaksa dilakukan akibat serangan bertubi-tubi orang Musyrik Mekah dan orang Yahudi Madinah. Jawdat Said berpendapat bahwa jihad dalam bentuk peperangan fisik ini dilakukan untuk melawan kezaliman, dan bukan untuk menyebarkan Islam.
Karena itu wajar kalau sepulang dari perang Badar, Nabi berpendapat bahwa perang fisik itu sebagai jihad kecil (al-jihad al-asghar). Nabi bersabda,”kami pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”. Jihad besar yang dimaksudkannya adalah jihad dengan memerangi hawa nafsu (jihad al-nafs).
Mungkin banyak orang yang mampu menjalankan jihad kecil, tapi belum tentu yang bersangkutan sukses melaksanakan jihad besar. Sebab, menurut Said al-Asymawi, jika jihad kecil bersifat temporal dan tentatif, maka jihad besar tak mengenal batas waktu sehingga membutuhkan stamina dan kekuatan kontrol diri secara terus-menerus.
Said berkata, “Sesungguhnya hukum jihad kecil atau perang adalah hukum yang temporal, spasial dan spesifik. Sementara yang permanen adalah jihad besar, yaitu berjuang mengendalikan hawa nafsu”.
Jamal al-Banna menambahkan, jihad dalam makna etis-moral merupakan makna pokoknya, sedangkan jihad dalam pengertian perang fisik merupakan makna cabangnya. Dengan penjelasan-penjelasan tersebut, tentu sebuah kekeliruan jika makna jihad direduksi sebagai perang suci (holy war).
Ini karena di samping bermakna perang untuk membela diri (al-difa’ ’an al-nafs), jihad dalam periode Madinah juga berarti memberikan bantuan harta terhadap orang yang membutuhkannya.
Allah berfirman dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (QS, al-Hujurat [49]: 15).
Jihad dengan harta ini sangat dibutuhkan untuk membantu orang-orang Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan ketika tiba di Madinah. Said al-Asymawi berpendapat, kaum Muhajirin sendiri sebenarnya sudah berjihad dengan harta.
Mereka meninggalkan semua harta benda yang dimilikinya di Mekah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Karena itu, bukan merupakan sebuah kebetulan, jika berjihad dengan harta selalu disebut al-Qur’an dengan lebih awal ketimbang berjihad dengan jiwa.