Home » Gagasan » Jihad, Kebebasan dan Pendidikan
Masjid Biru, Istanbul, Turki.

Jihad, Kebebasan dan Pendidikan

4.44/5 (9)

Jumat 11 Desember 2015, pertama kalinya kami merasakan shalat Jumat berjamaah di sebuah masjid raya di kota Samsun, Turki. Carsi Merkezi Cami namanya. Artinya Masjid Pasar Pusat. Memang masjid itu berada di tengah-tengah pasar utama kota Samsun. Kesempatan pertama sebab setelah3 bulan berada di Turkiuntuk menempuh pendidikan 4 tahun, kami selalu melaksanakan shalat Jumat berjamaah di masjid universitas tempat kami belajar dan tinggal. Kembali ke masjid raya, dari pengalaman ini, tidak ada perbedaan mencolok antara pelaksanaan shalat Jumat di sini dan Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk Muslim bermazhab Hanafi, lumrah jika detail tatacara ibadah di Turki berbeda dengan yang biasa dilaksanakan umat Islam Indonesia yang bermazhab Syafi’i.

Hal yang menarik ada pada khutbah dan doa. Ringkasnya, dalam dua kesempatan itu, khatib menyampaikan bahwa selain orang-orang kafir (infidel), musyrik (politheist), dan munafik (hypocrit), golongan teroris juga (khatib mengartikannya sebagai orang-orang yang – dengan alasan apa pun – membunuh orang lain tanpa hak, dengan jalan seperti meledakkan bom, baik bom bunuh diri ataupun bukan) adalah mereka yang mendustakan kebenaran, berada dalam jalan yang salah, dan akan berakhir kisahnya di neraka jahanam. Kemudian khatib berdoa – bersama seluruh jamaah – supaya negeri ini, Turki, diselamatkan dari musuh-musuh agama dan kebenaran; salah satunya adalah teroris. Lazim diketahui, beberapa bulan terakhir warga dunia dikejutkan dengan aksi terorisme di Ankara, Turki, dan Paris, Prancis.

Bagi kami ini menarik. Sebab kami jarang menemui hal yang sama di Indonesia. Ketika merasakan pengalaman ini; menyimak khutbah Jumat dan doa yang seperti itu, yang datang pertama kali ke ingatan justru memori tentang seorang khatib Jumat di Indonesia yang bersemangat membela para teroris. Juga muncul dalam ingatan tentang ustadz yang berceramah di sebuah majelis – dan kami hadir ketika itu –yang menyampaikan kepada para jamaah bahwa para teroris adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh, dan jika mati, dengan bom bunuh diri ataupun dihukum mati, maka mereka syahidfi sabilillah. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia, dan negara lain tentu saja, masih ada saja umat Muslim yang mendukung aksi terorisme.

Berlatar itu semua, kami bertanya mengapa para teroris dan gerakan ekstremisme bisa menemukan inspirasi dari Al-Quran? Mengapa mereka bisa mengklaim sedang menjalankan apa yang Nabi Muhammad Saw jalankan dahulu? Benarkah jika umat Muslim berkomitmen pada agamanya, maka akan menjadi seorang ekstremis? Apakah sebenarnya maksud dari jihadnya Nabi? Benarkah Jihad artinya berperang untuk mendirikan negara Islam? Benarkah negara Islam adalah tujuan utama dalam Islam? Esai ini coba menjawab itu semua.

Ketika seseorang membaca Al-Quran secara keseluruhan, maka ia akan paham, bahwa mayoritas isi pesan yang disampaikannya adalah seputar pendidikan atas jiwa manusia. Seputar peringatan kepada manusia bahwa ia telah melalaikan banyak hal penting. Dan seputar kabar gembira bagi manusia jika ia memenuhi panggilan Tuhan. Kemudian, seorang Muslim yang mengenal Nabi Muhammad Saw; yang hidup kenabiannya dimulai dengan Al-Quran, dan Al-Quran berakhir dengan selesainya hidup Muhammad, akan paham bahwa Nabi dan Al-Quran, sepanjang hidupnya tidak bisa dipisahkan sama sekali. Dengan jalan itulah umat Muslim, sambil membaca Al-Quran dengan penuh hormat, mengambil teladan dari kehidupan Nabi.

Di lain tempatAl-Quran disebut sebagai ajakan atau undangan bagi manusia; serta petunjuk dan pembimbing bagi pembangunan karakter mulia pada diri manusia. Begitu pun Nabi Muhammad Saw. Yakni perjuangannya dalam hidup adalah untuk mendidik manusia; supaya manusia beriman (dengan mengenali Tuhannya), lalu berserah diri kepada-Nya dengan jalan mengingat-Nya dan beribadah; juga supaya manusia menyadari posisinya dalam lintasan kosmos sebagai keberadaan yang kecil, yang merupakan hamba Tuhan, yang kembali kepada-Nya setelah mati;dan supaya manusia berperilaku berdasarkan titah suci-Nya, baik yang dilihat mata lahir dalam kitab-kitab suci, maupun yang dilihat mata batin di dalam akal.

Dalam konteks tujuan dan bentuk tugas seperti itulah Nabi Muhammad berjihad. Dengan demikian, tatkala kita umat Islam hendak meneladaninya, maka dalam bentuk yang sama pula seharusnya jihad kita. Sehingga langsung dipahami bahwa jihadnya Nabi adalah usaha dan perjuangan menyadarkan manusia dan menghidupkan manusia dari kelalaiannya. Kemudian, dalam konsep yang mudah kita pahami saat ini, semua usaha jihad itu adalah demi mendidik manusia. Bukan dalam usaha membunuh manusia.

Kembali pada kehidupan Nabi, untuk membuka kesempatan menjalankan misi edukatif itulah, Nabi melakukan bermacam cara; mulai dari meminta secara baik-baik persetujuan penduduk Makkah, Tanah Airnya, lalu secara rahasia mendidik kalangan keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekatnya, kemudian hijrah atau migrasi ke negeri lain, Yatsrib, hingga menggunakan cara berperang.

Momen hijrah adalah yang paling penting di antara semuanya. Sebab dalam usaha menjalankan amanah langit untuk membebaskan manusia dari kebodohan, migrasi ini bukan sekadar aksi melarikan diri dari kejaran musuh, atau sekadar upaya pencarian pengikut baru. Melainkan, dalam perpindahan ke tanah baru ini, Nabi dan komunitasnya menemukan sebuah tempat, Tanah Air, bahkan negara.

Di sana ada wilayah yang aman digunakan untuk menjalankan misi edukatif dari langit, dan ada penduduk atau rakyat yang memiliki kesadaran sama. Mereka juga sepakat dalam kepedulian akan pentingnya beralih dari hidup jahiliyah (kebodohan), menuju hidup yang lebih baik. Dan atas semua itu, mereka sama-sama berkomitmen menjaga apa yang sudah mereka mulai. Dengan demikian amanah langit supaya Nabi mendidik umat manusia, lebih terjamin pelaksanaannya.

Maka kini kita beralih ke peperangan Nabi. Jika jihad itu adalah pendidikan, mengapa dalam perjuangannya Nabi juga pernah berperang? Mengapa harus perang? Jawabannya sederhana. Yakni, perangnya Nabi kala itu, adalah untuk melawan halangan yang datang dari orang-orang yang mengingkari kebenaran, yang merintangi upaya edukatif menyelamatkan manusia dari kebodohan. Begitu pula dengan episode-episode perang setelah era Nabi yang disebut oleh kutub al-tawarikh (kitab-kitab sejarah) sebagai futuh (pembebasan atau conquer). Secara garis besar perang-perang yang seperti itu bisa dianggap dilakukan dalam rangka melenyapkan rintangan yang menghalangi kebebasan mendidik umat manusia.

Dengan demikian, sesungguhnya perang-perang itu dilakukan bukan untuk dirinya sendiri (binafsihi). Atau, meminjam terminologi ilmu gramatika Arab klasik, Nahwu, perang itu la yadullu ‘ala ma’nan mustaqillin; ia tidak memiliki makna pada dirinya sendiri, bal alatu li ghairihi; melainkan hanya sebuah alat untuk terlaksananya hal lain; yakni untuk terbukanya jalan bagi kebebasan dan keleluasaan mendidik umat manusia. Pada situasi saat itu, hanya perang dan segala teknologi sederhanyalah yang bisa digunakan untuk melawan upaya orang-orang yang menginginkan status quo, alias mereka yang menjaga warisan kebodohan. Jika demikian, perang pada hakikatnya bukanlah perwujudan jihad an sich.

Berkaitan pula dengan jihad dan perang ini, orang seringkali salah memahami, bahwa perangnya Nabi dan orang-orang setelahnya, yang merupakan jihad, adalah untuk mendirikan sebuah negara Islam. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa tujuan sekaligus tugas dari risalah yang Nabi Muhammad wariskan hingga kini kepada kita, adalah untuk mendidik manusia. Adalah untuk melepaskan manusia dari kebodohannya. Bodoh dalam arti sesungguh-sungguhnya. Bodoh dalam cakupan aspek yang amat luas; baik intelektualitas, spiritualitas, maupun emosionalitas. Perjuangan alias jihad seorang Muslim bukan dalam bentuk perang, pembunuhan, atau terorisme. Melainkan dalam bentuk upaya pendidikan. Perjuangan dan jihad ini juga bukan untuk mendirikan negara Islam, melainkan untuk melepaskan manusia dari kebodohan.

Di sini harus dipahami bahwa adanya negara adalah sebagai sarana dan wadah bagi suatu “living Quran”, atau sebagai wadah bagi hidupnya nilai-nilai kitab suci itu di tengah-tengah manusia. Oleh karena itu, jika sudah ada kebebasan dan keleluasaan untuk menyampaikan pesan-pesan wahyu, dan untuk mengajarkan itu semua, maka perang sudah tidak lagi diperlukan. Tidak pula harus mendirikan sebuah negara Islam, di atas sebuah negara – seperti Indonesia misalnya – yang di dalamnya terjamin keamanan, kebebasan, dan keterbukaan untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat. Adalah mungkin bagi seorang Muslim untuk berpetualang ke negara mana pun di era modern ini, dan di mana pun ia singgah, ia dapat dengan leluasa melaksanakan pesan agamanya untuk mendidik umat manusia.

Dan pada akhirnya, yang harus dipahami dari hasrat orang-orang yang hendak mendirikan negara Islam dengan menghancurkan negara lain adalah anggapan kurang matang mereka bahwa dengan berdirinya sebuah negara Islam, maka hal-hal yang mereka anggap sebagai hukum-hukum Islam dapat dengan mudah dipaksakan pelaksanaannya. Padahal datangnya Nabi Muhammad Saw bukanlah dengan pedang yang terhunus, yang memaksa-maksa orang lain untuk melakukan hal ini dan meninggalkan hal itu. Bacalah Al-Quran, dan lihatlah bahwa ia berusaha memanggil manusia-manusia yang sadar, berusaha membangunkannya dengan ajakan renungan dan pengamalan ibadah-ibadah, yang dari kesemuanya itu, lahirlah sosok manusia yang secara sadar tunduk dan patuh pada Tuhannya.

Dengan kata lain, kembali kepada poin utama di atas, bahwa dengan jalan pendidikanlah umat manusia dilepaskan dari kebodohan, hingga menjadi manusia-manusia tercerahkan. Untuk itu ketika membaca Al-Quran,ayat-ayat yang berisi izin berperang, dan yang berisi info pengalaman perang Nabi yang disertai pertolongan Tuhan jangan dianggap sebagai cermin supaya hal yang sama dilaksanakan saat ini. Sebab, sekali lagi, perang tersebut tidak lain hanyalah jembatan, supaya terbuka kesempatan mengajarkan pesan wahyu kepada kalangan yang lebih luas.

Ketika membaca kitab suci ini, pandangan harus tertuju kepada hal yang justru diperjuangkan oleh Nabi melalui perang dan pertumpahan darah, yakni kebebasan untuk mendidik manusia. Seandainya manusia tidak sempat memperoleh pendidikan ini, maka hilang sudah kesempatan baginya memperoleh pencerahan, yang menjadi kunci baginya mendapat petunjuk, yang akan menjadi penyelamat hidupnya di dunia dan akhirat. Singkat kata, ketika menemui ayat-ayat perang, pahamilah bahwa itu adalah bentuk aksi heroik untuk memperjuangkan kebebasan mendidik manusia.

Begitu pula ketika membaca pengalaman hidup Nabi dalam Sirah. Jangan terpaku pada perang Nabi melawan orang-orang jahil seperti Abu Jahal dan Abu Lahab. Jika demikian, maka setiap orang yang kita anggap tidak “islami” akan dianggap sebagai Abu Jahal, Abu Lahab, wa akhawatuhuma.Melainkan perhatikanlah perjuangan Nabi yang rela melaparkan dan mengurung dirinya dari keramaian dunia untuk merenungkan kebesaran Tuhan. Perhatikan tindak penuh kasih Nabi kepada murid-murid pertamanya; Khadijah (istrinya), Ali (sepupunya), dan Abu Bakar (sahabatnya). Perhatikan, bahkan Nabi mendirikan sebuah sekolah sederhana di samping Masjid Nabawi, yang civitas academica-nya disebut Ash-habu al-Shuffah. Dan akhirnya perhatikan Nabi yang membebaskan Makkah, dan membebaskan semua penghuninya, siapa pun dia, dan mengulurkan tangan kepada mereka untuk mendidik dan mengasuh mereka semua.

Walhasil, para teroris dan ekstremis bukannya diinspirasi oleh Al-Quran dan teladan Nabi, melainkan bertindak atas kesalahpahaman. Perang yang hanya merupakan alat, medium temporal, dan episode kecil dari narasi besar Islam, dianggap sebentuk tugas dan tujuan utama. Sementara kebebasan untuk melaksanakan pendidikan demi pencerahan umat manusia yang diperjuangkan Nabi, bahkan harus dengan berperang, tidak nampak bagi mereka sebagai hal yang utama. Kemudian bagi seorang Muslim yang komitmen pada agamanya, seharusnya menjadi orang yang gigih berjuang mendidik anak-anak manusia, berusaha menghidupi mereka, bukan justru membunuhnya.

Sementara mereka yang berhasrat menggebu ingin mendirikan negara Islam, juga berjalan di atas kesalahpahaman. Tidak ada ikrar Nabi tentang sebuah negara. Tidak ada khithab Al-Quran tentang pendirian negara. Melainkan, sebagaimana diurai sebelumnya, bahwa adanya negara Madinah dahulu, dalam pengertian terdapatnya wilayah yang aman dan penduduk yang berkepedulian sama, adalah wadah bagi terjaminnya pelaksanaan upaya pendidikan yang menjadi amanah kitab suci. Maka ketika sudah ada negara, seperti bentuk modernnya yang kita alami kini, yang di dalamnnya terjamin kebebasan menjalankan amanah pendidikan ini, maka untuk apa ada upaya mendirikan sebuah negara lagi? Yang seharusnya dilakukan adalah berjihad menjaga kesatuan negara, yang di dalamnya kita bebas menjalankan amanah pendidikan dari Tuhan.

Wallahu a’lamu bi-sh shawab. []

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.