Home » Gagasan » Kebebasan Beragama atau Bukan, Harus Dibela!
Photo: Poster Boy/flickr.com

Kebebasan Beragama atau Bukan, Harus Dibela!

4.17/5 (12)

IslamLib – Kebebasan adalah jiwa kemanusiaan. Sekali ia dipisahkan dari hidup, selamanya hidup tidak akan berarti apa-apa. Sampai kebebasan terangkul kembali ke dalam jiwa tiap-tiap individu manusia.

Di dunia ini, tak satupun dari manusia menghendaki kebebasannya dicekal atau dirampas, ditiadakan atau dimatikan. Kita menghendaki kebebasan, sebagaimana yang lain pun menghendaki yang demikian. Pencekalan atau perampasan kebebasan sebagai hak azali manusia, terang hanya akan melahirkan konflik dan perpecahan. Konflik dan perpecahan itulah yang akan menghancurkan suatu bangsa, sekuat apapun fondasi dan tatanannya.

Sebagai satu bangsa yang besar karena keberagamannya (agama, kepercayaan, etnis, suku, dsb.), kuat karena persatuannya, negeri ini jelas dituntut untuk menjaga kebebasan tiap-tiap kebebasan individunya. Bahwa menjaga kebebasan merupakan agenda mutlak yang harus manusia Indonesia jalankan. Terlebih di tengah keberagaman realitas kehidupannya dalam masyarakat.

Pertanyaannya, bagaimana kita harus membela keberagaman itu? Pertama, keberagaman dalam hal kepercayaan/keyakinan (beragama atau tidak) harus kita pandang sebagai satu dari sekian banyak realitas kehidupan bangsa kita sejak dulu. Di lain perkataan, keberagaman beragama atau tidak itu adalah fakta sosial yang sulit untuk kita bantah. Entah bagaimanapun lihainya para pembantah itu, tetap akan ada celah demi hanya untuk menggugurkan bantahan-bantahannya.

Pernah salah seorang pemimpin bangsa kita menyeru bahwa di Indonesia, tak pernah ada istilah agama atau kepercayaan yang diakui atau tidak oleh Negara. Dan bahwa di Indonesia, tiap manusianya diberi kebebasan untuk menjalankan kepercayaan menurut keyakinannya masing-masing, bahkan beragama atau tidak sekalipun.

Sayangnya, apa yang pemimpin kita itu telah serukan, gugur dalam prakteknya. Bagaimana tidak, perilaku dan tindakannya sungguh tak sejalan dengan ucapan-ucapan manisnya sendiri. Di satu kesempatan, ia mengecam aksi kekerasan atas nama agama. Di lain kesempatan, ia justru melegitimasi aksi tersebut dengan sejumlah perumusan regulasi. Itulah mengapa banyak pihak menolak pemberian kehormatan atas dirinya sebagai pemimpin yang toleran. Alih-alih toleran, ia justru merestui aksi kekerasan atas nama agama. Ia kontradiktif. Ia intoleran itu sendiri.

Ya, bicara soal keberagaman agama, tentu harus kita pandang bahwa semua sama sebagai bagian dari kehidupan manusia dan warga Negara. Menolaknya berarti menghianati cita-cita besar bangsa ini: berbeda-beda tetap satu jua. Dan menerimanya adalah konsekuensi logis yang harus kita jalankan sebagai manusia dan warga Negara pula.

Kedua, menerima keberagaman sebagai bagian dari kehidupan harus kita pandang pula bahwa ia berarti mensyaratkan adanya sebuah pembelaan. Hal ini sangat berlaku ketika ada pihak-pihak yang berusaha abai apalagi sampai menolaknya. Sebagai contoh, ketika kaum Ahmadiyah atau Syiah diusik di negeri kita karena alasan perbedaan, di titik inilah kita harus mengadakan pembelaan atasnya.

Alasan apapun yang dipakai untuk mengusik seseorang atau kelompok tertentu, bahkan ketika ia atau mereka dianggap berbeda, terang tidak bisa kita terima. Bukan hanya karena kita menghendaki kebebasan serupa sebagaimana yang ia atau mereka kehendaki, tetapi terlebih karena menghianati cita-cita kemanusiaan dan bangsa besar kita sendiri.

Menurut banyak pemikir, kebebasan beragama adalah fitrah kemanusiaan. Seperti dalam banyak literatur agama, hampir tak ada yang menolak ayat suci Tuhan yang menyebut, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Hal ini berarti bahwa tak ada kepercayaan (agama) mutlak yang harus berlaku secara universal. Semua tergantung dari individu atau kelompok tertentu yang meyakini dan menganutnya. Hematnya, kebenaran agama itu relatif di ruang publik, tetapi mutlak hanya di wilayah privat masing-masing.

Teori yang demikian itu sebenarnya sudah sangat klasik dan sederhana. Banyak orang telah menyerukannya. Hanya saja, fakta di lapangan tak semerdu yang kita dengar, tak seelok dengan apa yang kita idam-idamkan dalam benak.

Jika pemimpin saja enggan menaati kata-katanya sendiri, bagaimana kita sendiri sebagai rakyatnya? Dan meski pemimpin tidak serta-merta harus kita ikuti begitu saja, tetapi bagaimanapun juga, ia harus tetap menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya.

Jika memang tak mampu berlaku demikian, tak perlulah memberanikan diri hanya untuk tampil sebagai sosok pemimpin di bangsa ini. Kehancuran, hanya itu yang akan terjadi jika pemimpin tak seirama dalam hal ucapan dan tindakannya.

Sekali lagi, tak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan pencekalan atau perampasan atas hak orang lain. Jika alasan yang dipakai bahwa mereka berbeda, bukankah kita juga berbeda dari mereka? Jika kita membenarkan pengusikan tersebut karena alasan bahwa mereka berbeda, bukankah mereka juga harus kita benarkan untuk berlaku demikian dengan alasan yang serupa pula?

Sungguh, tiada guna kita saling cekal-mencekal atau rampas-merampas. Tiada guna bagi kita untuk saling sikut-menyikut, tendang-menendang di atas yang oleh Seokarno sebut “jembatan emas” ini. Tentu akan jauh lebih bijak bagi kita untuk bersikap toleran ketimbang saling usik-mengusik antar satu individu atau kelompok dengan yang lainnya.

Ingat, bukankah kita besar karena keberagaman kita? Bukankah kita kuat karena persatuan kita? Kenapa semua itu bisa kita lupakan?

Meski harapan acapkali tak sesuai dengan realitas, bukan berarti bahwa kondisi yang demikian adalah keniscayaan. Kita tetap butuh untuk mewujudkan bukan mengabaikannya. Hanya dengan upaya inilah kita benar-benar menjadi bangsa yang merdeka. Bahwa menghargai perbedaan adalah niscaya, dan bersatu dalam perbedaan adalah kemuliaan.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.