IslamLib – Pengakuan terhadap prinsip kebebasan bersumber dari kebesaran hati. Sebaliknya, hati yang kecut dan jiwa yang kerdil akan selalu takut pada kebebasan. Atas dasar ini saya menolak anggapan Paus Benediktus XVI dalam pidatonya beberapa bulan lalu, bahwa ayat 256 dari Surat Al-Baqarah yang berbunyi la ikraha fi al-din—tidak ada paksaan dalam agama—sebagai pilihan Rasulullah dalam kondisi yang lemah dan di bawah ancaman.
Padahal kalau kita menyimak dari asbâb al-nuzûl (sebab-musabab turunnya ayat), ayat tersebut turun pada periode Madinah, manakala Rasulullah dan umat Islam sangat kuat, bukan pada periode Makkah manakala Rasulullah masih lemah. Jadi, pengakuan terhadap kebebasan beragama merupakan pilihan berdasarkan keberanian, bukan ketakutan.
Pada periode Madinah, kita sering disuguhi dengan kisah peperangan Rasulullah, namun bukan berarti, peperangan adalah penaklukan akidah. Saya ingin mengutip beberapa riwayat yang dirilis oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengenai ayat la ikraha fi al-din.
Hadis nomor 4668 yang diperoleh al-Thabari dari Ibn Hamid yang sampai mata-rantai periwayatannya (sanad) pada Ibn Abbas, bahwa ayat ini turun pada seorang bapak bernama al-Hashin dari bani Salim bin Auf, ia telah memeluk Islam, tapi masih memiliki dua anak laki-laki yang masih Kristen.
Konon ia meminta kedua anaknya agar masuk Islam namun mereka abai. Akhirnya al-Hashin mendatangi Rasulullah dan berkata, “A la astakrihuma fa’innahuma qad abaya illa al-nashraniyah?” (apakah saya tidak bisa memaksa mereka, karena mereka telah menolak ajakan saya, dan mereka tetap memeluk Kristen? Pertanyaan al-Hashin tesebut direspon dengan turunya ayat itu.
Sayangnya ada golongan Islam “Qitalis” (dari kata qitâl artinya perang) berusaha menasakh (membatalkan) ayat ini dengan ayat-ayat “pedang”. Mereka memakai hadis nomor 4690 hasil riwayat Musa bin Harun dalam tafsir al-Thabiri juga. Redaksi hadis ini lebih lengkap dari yang pertama.
Syahdan ada pedagang minyak dari Syam (Syiria saat ini) yang datang ke Madinah. Ia bertemu dengan dua anak laki-laki al-Hashin, dan mengajak mereka masuk Kristen. Ternyata dua anak laki-laki itu mau dan bersama pedagang tersebut mereka pergi ke Syam. Ayah mereka al-Hashin terpukul dan melaporkan kejadian tersebut pada Rasulullah. Adapun respon Rasulullah mirip dengan riwayat di atas.
Namun dalam riwayat ini ada tambahan yang berasal dari Musa bin Harun, “wa lam yu’mar yawma idzin biqitali ahli kitab” (waktu itu belum diperintahkan untuk memerangi ahli kitab). Dan berdasarkan riwayat ini, kaum “Qitalis” itu menyatakan bahwa ayat la ikraha fi din dinasakh oleh ayat-ayat perang dalam Surat Bara’ah (al-Taubah).
Pada hemat saya, pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat yang menegaskan kebebasan dan perdamaian dinasakh oleh ayat-ayat perang merupakan pendapat yang berlebihan dan ngawur.
Kalau kita cermati, ayat 256 dari surat al-Baqarah itu kasusnya adalah tidak boleh ada paksaan dalam agama, dan pengakuan terhadap agama ahli kitab (penganut agama yang memiliki kitab suci) Karena pada waktu itu yang dikenal hanya Kristen, Yahudi, dan Majusi, merekalah disebut ahli Kitab.
Namun saat ini, cakupan ahli Kitab ini bisa diperluas, meliputi seluruh agama yang memiliki kitab suci. Pendapat ini telah dimulai sejak Muhammad Abduh dalam tafsirnya al-Manar yang memasukkan agama Hindu dan Budha sebagai golongan ahli Kitab.
Sedangkat ayat-ayat dalam surat al-Taubah memiliki kasus yang berbeda dan tidak bisa menasakh ayat 256 al-Baqarah. Pertama ayat dalam surat al-Taubah itu ditujukan untuk kaum musyrik di Makkah bukan ahli Kitab. Misalnya ayat 5 yang berbunyi, faqtulu al-musyrikin haytsu wajadtum—bunuhlah orang yang musyrik itu, dimana saja kamu temui—redaksi ayat ini menggunakan kata-kata “musyrik” bukan “ahli kitab”.
Kedua, perintah perang disebabkan pengkhianatan kaum musyrik Makkah terhadap perjanjian genjatan senjata Hudaybiyah. Maka sebabnya adalah politis, bukan teologis. Tidak secara otomatis karena musyrik lantas diperangi.
Kalau saja perbedaan keyakinan menjadi sebab peperangan maka kita tidak akan pernah menjumpai fakta sejarah bahwa Rasulullah berdamai dengan kelompok non-muslim. Walhasil, kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh Rasulullah bukan pada saat ia takut dan lemah, namun sebaliknya, saat ia berani dan kuat.