Home » Gagasan » Kembali ke Makanan Tradisional, Mungkinkah?

Kembali ke Makanan Tradisional, Mungkinkah?

3.75/5 (4)

IslamLib – Laju pertambahan penduduk atau populasi semakin hari semakin meledak. Akibat nyata yang bisa kita rasakan adalah padatnya jumlah penduduk, meningkatnya kebutuhan pangan, menyempitnya lahan tempat tinggal, membludaknya pengangguran dan karena itu meningginya tingkat kriminalitas di berbagai pelosok negeri.

Masih banyak permasalahan yang bisa ditimbulkan oleh meningkatnya populasi di negeri ini. Jumlah manusia yang semakin tak terkendali mengakibatkan meningginya polusi dan karena itu kelembaban udara semakin tak terkendali, suhu panas yang meningkat, cuaca serta musim yang sulit diduga. Akibat langsungnya adalah, ketidakteraturan pola tanam di lingkungan yang berbasiskan pertanian sebagai pokok pencaharian kehidupan.

Tulisan pendek ini hanya akan mengungkapan sedikit pandangan penulis berangkat dari keprihatinan keterbatasan pangan (dan karena itu ada kebijakan impor yang membuka kemungkinan korupsi uang negara) untuk mencoba memanfaatkan kembali makanan-makanan lokal yang “dulu” pernah dijadikan makanan pokok di pelosok-pelosok negeri.

Saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa beraslah yang menjadi makanan paling pokok di Indonesia. Sementara masih banyak bahan makanan yang disediakan bumi pertiwi namun tak termanfaatkan. Beras yang kemudian dimasak menjadi nasi merupakan primadona makanan pokok di Indonesia. Ini fakta yang tidak bisa diingkari. Ini tidak salah. Hal ini benar.

Namun jika merunut uraian dalam pengantar di atas: dengan semakin meningkatnya populasi, sementara jumlah lahan pertanian (dalam hal ini sawah) semakin hari semakin menyempit, maka produksi gabah akan sulit ditingkatkan. Selain itu, industrialisasi merupakan “dosa besar” lain yang  mengakibatkan mentalitas agraris di Indonesia perlahan sirna tak berbekas.

Penyebab lain dalam permasalahan ini adalah konsep atau pandangan hidup. Yakni paradigma yang dulu pernah dibangun dan dipopulerkan begitu gencarnya: bahwa makan nasi (yang dari beras) akan dipahami lebih tinggi derajatnya dari yang lain.

Pendidikan anak-anak dari SD sampai SMA mengajarkan bahwa empat sehat lima sempurna terdiri dari nasi, sayur, lauk, buah dan susu. Dengan indoktrinasi ini, tidak salah bila semua lapisan masyarakat akan berupaya mewujudkan “Keluarga Sejahtera” dengan menjadikan nasi sebagai makanan pokok utamanya.

Konsep priyayi dan non priyayi juga mendukung pembasmian makanan non beras agar sirna dari meja makan masyarakat Indonesia. Dahulu golongan priyayi makan nasi, sementara non priyayi makan thiwul. Lebih ironis lagi manakala yang makan thiwul dipahami dan divonis sebagai kaum terbelakang.

Itulah sekilas sejarah yang menjadikan masalah pangan menjadi masalah emergency di Indonesia: masalah kekurangan beras di negara agraris yang berhiaskan sawah; masalah masyarakat yang mengantre beras jatah yang ,maaf, tidak layak untuk dikonsumsi.

Banyak upaya  dilakukan oleh pemerintah melalui slogan-slogan, namun tak pernah diikuti dengan tindakan nyata untuk mengeluarkan masyarakat dari jeratan masalah pangan. Slogan memang perlu, namun tindakan nyata dan konkret lebih dibutuhkan.

Jika pemerintah mau menggalakkan agar masyarakat mulai mengkonsumsi makanan non beras, maka masalah pangan bisa saja terselesaikan. Ada ubi jalar, talas, suweg, ganyong, uwi dan mbili, yang masih tumbuh liar di perbukitan dan sisa-sisa hutan Jawa. Tanaman-tanaman tersebut juga bisa tumbuh di mana saja, bahkan di sekitar pekarangan rumah.

Jika dengan semangat kebersamaan seluruh komponen masyarakat Indonesia mulai menyadari pentingnya memanfaatkan potensi tanah Nusantara yang kaya akan bahan makanan, penulis percaya bahwa masalah pangan akan segera teratasi.

Pemerintah bisa melakukan propaganda melalui berbagai media massa untuk program tersebut. Yang paling ideal adalah menggunakan tokoh penting dan populer untuk memulainya. Kalangan artis atau selebritis bisa ada di garda depan dengan iklan dan propaganda yang lain.

Dengan menciptakan keadaan “Bangga” mengkosumsi makanan tradisional, maka masyarakat awam akan berlomba memanfaatkan hasil tanah melimpah di Nusantara ini untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Penciptaan kebanggan ini penting dan caranya cukup sederhana.

Selain itu, bisa sangat efektif. Sebab pola pikir feodalis/paternalis masih mengakar kuat di masyarakat. Jika ada tokoh panutan, baik itu pejabat, artis atau olahragawan yang mengkomsumsi makanan tradisional dan kemudian dipopulerkan lewat media massa, maka dengan segera masyarakat akan berbondong-bondong menirunya.

Dengan demikian, maka kita bisa memulai upaya pemanfaatan dan pengoptimalan lahan-lahan pertanian. Sebagaimana kita tahu, bahan makanan tradisional yang terdiri dari umbi-umbian cukup mudah untuk dibudidayakan. Sebab tanaman ini bisa tumbuh di mana saja. Ia bisa ditanam bersamaan dengan tanaman besar lainnya dalam lingkungan perkebunan. Tumbuhan ini juga tidak membutuhkan perawatan khusus sebagaimana padi.

Selain itu, cara membudidayakannya juga cukup sederhana: tinggal mencangkul dan memberi pupuk pada musim kemarau, kemudian mulai ditanam sewaktu musim hujan tiba. Kita bisa lihat, tanaman tersebut bisa dikelola dengan mudah, tidak serumit dan semahal tanaman padi di sawah.

Tumbuhnya kesadaran bahwa makanan pokok yang memiliki karbohidrat tinggi bukan hanya nasi melainkan juga umbi-umbian, sangat penting dalam situasi krisis pangan seperti sekarang ini. Karena itu pemerintah harus terlebih dulu menumbuhkan kesadaran tersebut di masyarakat.

Jika itu sudah terlaksana, maka bukan hanya soal pangan yang bisa teratasi, tetapi inni juga bisa menciptakan kreativitas masyarakat. Sebab tumbuhan yang menjadi makanan pokoknya bisa mereka tanam dengan mudah, maka masyarakat akan terdorong untuk memanfaatkan tanah di sekitar rumahnya dengan menanam sendiri segala jenis umbi-umbian itu.

Jika sudah begitu, maka ketergantungan akan beras bisa semakin menyusut. Anak-anak yang kekurangan gizi atau lebih populer dengan istilah gizi buruk, akan terminimalisir.

Perlu disadari bahwa akibat “pemerkosaan” tanah demi memproduksi beras sesuai dengan kebutuhan seluruh masyarakat, menjadikan tanah nusantara ini terluka. Tanah menjadi tidak sehat karena kelebihan bahan atau zat kimia di dalamnya. Ekosistem menjadi kacau. Kesuburan menjadi barang langka. Himpitan masalah akan segera menyapa dengan pupuk berharga menjulang, obat-obatan pestisida pun berharga mahal dan tidak diikuti dengan harga beras yang memadai. Karena itu masyarakat pun enggan menjalani profesi sebagai petani.

Kembali memanfaatkan makanan tradisional adalah sebuah solusi tercapainya swasembada pangan di negri ini. Dan semua itu mesti dimulai dari sekarang. Mesti diperjuangkan dengan semangat membara. Semangat yang tak kenal lelah dan malu.

Semangat yang juga bisa dibingkai dengan paradigma teologis. Sebab paradigma ini sangat efektif untuk pola pikir masyarakat Indonesia yang sangat bangga menyebut diri sebagai masyarakat beragama.

Dengan mengoptimalkan segala jenis tumbuhan dan tanaman untuk dmafaatkan, akan menolong bumi dari kehancuran segera.

Semoga tulisan sederhana ini mampu menggugah sesiapa saja yang membacanya agar ikut masuk dalam barikade perjuangan memanfaatkan makanan non beras. Makanan tradisional adalah solusi atau jalan keluar untuk menyelamatkan generasi dari kekurangan makan.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.