Home » Gagasan » Kenapa Orang-Orang Baik Tertimpa Musibah?
Insiden Mina pada musim haji 2015. (Photo: Morocco World News)

Kenapa Orang-Orang Baik Tertimpa Musibah? Sekaligus Mengenang Bang Imaduddin Abdurrahim

4.41/5 (54)

IslamLib – Salah satu kuliah tauhid yang selalu saya ingat dengan baik hingga sekarang ialah yang pernah diberikan oleh alm. Imaduddin Abdurrahim. Bang Imad, begitu orang-orang memanggilnya, pernah mengatakan seperti ini: Hukum Tuhan itu objektif dan berlalu universal, baik kepada mereka yang beriman atau tidak. Hukum alam itu, dalam Islam, disebut “sunnah” – kebiasaan Tuhan.

Bang Imad mengutip sejumlah ayat dalam Quran: 17:77, 33:62, 35:43, 48:23. Ayat-ayat itu memuat pengertian sederhana: bahwa sunnah Tuhan di dunia ini tak akan berubah. Frasa “tak akan” perlu mendapatkan tekanan khusus, sebab kata kerja yang dipakai dalam Quran untuk mengungkapkan pengertian itu memang memuat partikel khusus yang berarti: “tak akan”. Sunnah/hukum Tuhan bersifat ajeg, regular, dan karena itu “predictable”.

Sekedar catatan: Sebetulnya ayat-ayat tadi itu lebih banyak berbicara mengenai hukum sosial, bukan hukum alam dalam pengertian sains modern.

Pengertian Bang Imad ini sejajar benar dengan konsep modern mengenai “natural law”. Sains modern didasarkan pada suatu “keyakinan” bahwa alam diatur oleh hukum yang berlaku universal, ajeg, dan seragam di seluruh sudut alam raya manapun. Bahwa konsepsi semacam ini oleh Bang Imad dipandang sejajar dengan konsep Quran tentang sunnah Tuhan, bagi saya, sangat menarik, sekaligus menimbulkan sejumlah pertanyaan. Tapi itu isu lain.

Yang menarik buat saya adalah cotoh yang dipakai Bang Imad. Jika sebuah bangunan memakai penangkal petir, maka kemungkinannya untuk terlanda petir sangat kecil. Sebaliknya, jika sebuah masjid tidak memasang alat itu, maka kemungkinannya terkena petir lebih besar, walau dia adalah tempat untuk menyembah Tuhan. Hukum alam itu buta: tak membedakan mana masjid, mana yang bukan.

Ceramah Bang Imad ini selalu terngiang terus di pikiran saya saat suatu bencana/musibah terjadi. Bagaimana kita, sebagai seorang beriman, menerangkan sebuah musibah? Ini pertanyaan yang menjadi renungan para ahli teologi dan kaum cerdik cendekia sejak dahulu kala. Sudah ribuan judul buku ditulis mengenai tema ini. Ada bidang khusus dalam teologi yang berkenaan dengan tema ini; disebut theodise.

Seperti tema cinta yang tak bosan-bosannya selalu diangkat dalam lagu-lagu populer, baik dangdut atau bukan, begitu juga tema tentang musibah ini. Setiap musibah menimpa, kita selalu tersentak dan berpikir kembali. Kekagetan kita makin akut dan mendalam saat musibah itu juga menimpa orang-orang yang baik dan saleh.

Salah satu penjelasan yang paling populer: musibah atau bencana alam adalah azab dari Tuhan. Baik kalangan Muslim atau bukan gemar memakai penjelasan ini. Ketika kawasan New Orleans di Amerika dilanda badai Katrina pada 2005, Pat Robertson, seorang tokoh Kristen evangelis/fundamentalis, mengatakan bahwa itu adalah azab Tuhan untuk Amerika.

Dari waktu ke waktu, penjelasan ini selalu kita dengar. Godaan untuk menggunakan penjelasan ini kian besar saat mereka yang tertimpa bencana itu adalah orang-orang yang dalam kaca mata moral agama dipandang “jahat”; morally decadent. Jika sebuah bencana menimpa, katakanlah, kawasan Hollywood, kita bisa memastikan, teori azab itu akan langsung disambar sebagai satu-satunya penjelasan.

Yang menjadi soal ialah saat bencana itu menimpa kawasan orang-orang baik, atau bahkan orang-orang yang menyembah Tuhan seperti dalam contoh yang disebut oleh Bang Imad di atas. Bagaimana menjelaskan ini?

Orang-orang beriman tak bisa disalahkan sepenuhnya jika mereka memakai teori azab. Dalam Kitab Suci kita jumpai konstruksi semacam itu. Dalam Quran, misalnya, banyak kisah yang memperlihatkan seolah-olah ada korelasi antara tindakan membangkang Tuhan dengan azab yang menimpa suatu bangsa/umat.  Kisah ini diajarkan dari generasi ke generasi dan menciptakan cora berpikir yang khas: bahwa bencana adalah cara Tuhan menghukum manusia.

Hanya saja, kita sudah sulit menerima penjelasan ini. Banyak orang yang marah saat sebagian kalangan menjelaskan bahwa tsunami di Aceh dulu adalah azab Tuhan. Penjelasan ini dianggap tidak sensitif terhadap korban bencana yang sebagian besar adalah orang-orang biasa yang sama sekali tak bersalah. Jika teori ini benar, kenapa yang “di-azab” bukan kawasan yang jelas-jelas menurut agama menjadi sarang “dosa”?

Penjelasan kedua, menurut saya, jauh lebih rendah hati, tidak menghakimi. Menurut penjelasan ini, musibah adalah ujian dari Tuhan. Dalam Islam, ini disebut sebagai ibtila’, atau cobaan. Semua agama mengenal teori ini. Kata Joseph B. Soloveitchik, seorang rabbi Yahudi: Suffering comes to ennoble man, to purge his thoughts of pride and superficiality. Penderitaan menimpa seseorang untuk membuatnya menjadi lebih mulia.

Ibn Ataillah (w. 1309), pengarang kitab populer al-Hikam, memiliki penjelasan yang kurang lebih mirip. Penderitaan adalah celah yang dibuka Tuhan agar manusia bisa mengenalNya lebih dekat, dan memahami rahasiaNya (wijhat min al-ta’arruf). Musibah adalah ujian yang pada ujungnya akan mendewasakan seseorang, baik secara spiritual, mental, dan psikologis.

Teori ini tentu saja bukan tanpa masalah. Jika musibah datang untuk menguji manusia, bagaimana dengan bencana yang skalanya begitu besar, di luar kemampuan manusia untuk menanggungnya? Apakah ujian semacam itu adil? Apakah adil menguji anak SD dengan soal yang mestinya untuk mahasiswa S3?

Setiap teori theodise yang mencoba menjelaskan hubungan antara hal-hal buruk dalam hidup manusia (terutama manusia yang saleh) dengan keadilan Tuhan selalu mengandung lubang dan kelemahan. Pada titik inilah, saya ingat kembali Bang Imad. Penjelasan dia, sejauh ini, saya anggap relatif lebih memuaskan ketimbang dua penjelasan sebelumnya.

Penjelasan Bang Imad hendak membawa kita kembali kepada hukum dasar yang berlaku dalam alam semesta: hukum alam, atau sunnah Tuhan, berlaku ajeg, objektif dan universal. Hukum ini tidak tebang pilih. Badai, banjir, gempa, dan bencana lain adalah fenomena alam yang memiliki hukumnya sendiri. Dia akan menimpa siapa saja: baik beriman atau tidak.

Manusia tidak bisa menghindar dari hukum alam. Yang ia bisa lakukan ialah memahami hukum itu, mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi, dan memperkecil sebisa mungkin dampak-dampak negatifnya. Pada dirinya sendiri, bencana semacam itu tidak memiliki makna apa-apa. Dia adalah gejala netral, sama dengan air yang mengalir menuju tempat yang rendah, atau matahari yang terbit di pagi hari.

Sudah pasti matahari pagi terbit bukan untuk menyambut sepasang penganten yang baru saja menikah, atau pegawai yang baru saja mengalami promosi. Matahari terbit adalah peristiwa alam yang netral. Matahari akan terus terbit, baik ada orang yang menikah atau tidak. Tentu saja manusia bisa saja memberikan makna tertentu kepada matahari yang terbit. Pemaknaan adalah tugas manusia agar suatu gejala alam menjadi “meaningful”, bermakna buat dia. Tetapi peristiwa alam per se, pada dirinya sendiri adalah kosong dari makna.

Tentu saja, teori Bang Imad ini tampak sangat “kejam” karena seolah-olah tak bersimpati sedikitpun kepada korban bencana. Saya mencoba menawarkan jalan tengah. Jika penjelasan Bang Imad bisa kita sebut sebagai teori hukum alam, dan penjelasan agama kita sebut sebagai teori makna, kita bisa memakai keduanya sekaligus.

Teori makna penting, karena bagaimanapun manusia selalu ingin mencari penjelasan moral-psikologis kenapa sebuah bencana terjadi. Penjelasan ini berguna sekurang-kurangnya sebagai sarana mitigasi atau mengurangi pengaruh psikologis suatu penderitaan atau bencana. Melarang orang memakai teori ini sama saja membiarkannya berhadapan dengan “kebrutalan alam” tanpa suatu pelipur lara. Ini sendiri sebuah kekejaman.

Tetapi teori azab memang harus dibuang sama sekali. Ini teori yang pada dirinya mengandung kelemahan yang susah ditolong. Teori ujian atau yang mirip-mirip dengan itu tetap relevan kita pakai. Meskipun kita harus tahu bahwa teori ini ada batasnya. Pada titik tertentu, teori ini tidak jalan lagi dan susah untuk menjadi kerangka penjelas.

Di saat kita terpojok inilah, teori Bang Imad berguna. Pada akhirya bencana adalah sesuatu yang sejak awal mesti kita pahami sebagai fenomena alam yang netral. Ia punya hukumnya sendiri. Kita harus memahami hukum itu agar kita bisa mengelola dampak-dampaknya. Baik beriman atau tidak, anda bisa terlanda oleh hukum ini.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.