Home » Gagasan » Ketika Iman Menjadi Plural
[Foto: thestonefoundation.com]

Ketika Iman Menjadi Plural

4.2/5 (20)

IslamLib – Sudah lama saya ingin menulis tentang pengalaman pribadi, tetapi baru sekarang saya punya keberanian. Saya memang bukan seorang teolog. Tulisan ini disusun sebagai sebuah hasil kontemplasi, pengalaman berpikir dan merasa pribadi yang ingin saya bagikan pada orang lain – siapa tahu berguna.

Jadi, semoga saja setelah membacanya Anda tak sampai merasakan dorongan untuk melontarkan komentar bernada hate speech, bigotry, atau bentuk-bentuk penghakiman lainnya, alih-alih memancing diskusi yang baik dan menyenangkan.

Sedikit latar belakang. Seumur hidup, saya seorang Katolik. Ada suatu masa dalam hidup ketika saya yakin bahwa orang-orang yang tidak percaya pada Yesus Kristus tidak akan masuk surga. Untungnya, masa-masa itu sudah lama berlalu.

Setelah masa itu, saya mengalami evolusi periode: periode kegelisahan.

Mungkin Anda pernah merasakan kegelisahan yang sama dengan saya. Mungkin Anda pernah pula merasakan berada dalam sebuah roller coaster iman, yang pada suatu titik menggaungkan suatu pertanyaan mahabesar:

Bagaimana mungkin Tuhan tega memasukkan orang-orang baik ke neraka – orang-orang baik yang diciptakan-Nya sesuai gambar-Nya – hanya karena mereka tidak seagama dengan saya?

Serius. Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti banyak bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang baik, dan pada saat itu yang penting bagi kita adalah mereka orang baik. Titik. Apa iman dan agama mereka menjadi tidak, atau kurang, relevan saat kebaikan mereka sedang kita rasakan.

Semakin tidak relevan lagi seandainya teringat oleh kita, tepat pada saat itu juga: mungkin, ada suatu interpretasi tertentu dalam doktrin iman kita yang membuat mereka, orang-orang baik itu, pada akhirnya harus masuk neraka juga. Bagi saya, hal itu sangat tidak masuk akal.

Kenapa pula harus ada banyak agama? Ini juga perkara membingungkan. Ada orang yang secara sederhana percaya akan konsep totalitarianisme dalam klaim kebenaran: agama saya benar, yang lain salah. Biasanya ini terjadi pada orang-orang yang memeluk agama “langit”, agama yang diwahyukan. Dan ini jadi masalah, karena seringkali ujung-ujungnya jadi menghakimi.

Ada pula yang percaya konsep relativisme: menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua agama itu sama baiknya. Banyak jalan menuju Roma. Silakan pilih yang mana saja. Lagi-lagi ini jadi masalah: berarti orang yang beragama A alih-alih B sedang melakukan sesuatu yang useless, karena toh semuanya sama saja.

Saya tidak tahu persis bagaimana prosesnya. Tapi, pada suatu titik, perjalanan berpikir saya berhasil menuntun saya kepada suatu versi jawaban yang saya rasa paling ramah, paling fair, dan paling realistis pula: ini semua adalah perkara keunikan.

Saya percaya bahwa iman pada dasarnya adalah panggilan. Dalam iman Katolik, hal ini juga diajarkan: Tuhan yang memanggil manusia kepada-Nya karena kasih-Nya yang begitu besar, bukan sebaliknya.

Iman itu given, bukan murni pilihan manusia. Dan karena ia given, karena ia diinisiasi oleh Kasih Tuhan, maka ia diberikan sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing penerimanya. Kata Tuhan dalam salah satu ayat Alkitab: sampai jumlah persisnya rambut di kepala kita pun Ia tahu.

Iman, bagi saya, adalah pemberian yang unik dari Tuhan (atau Allah, atau YHWH, atau Semesta, atau The One, atau apa pun sebutannya). Dan ia spesifik. Orang yang beragama Kristen menghayati iman Kristen karena Tuhan memanggilnya dengan cara demikian, cara unik dan spesifik yang hanya cocok untuknya saja dan mampu dijawab oleh dirinya sendiri saja.

Begitu juga orang yang beragama lain: Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, “aliran kepercayaan”, agnostik, dan sebagainya. Di antara sesama orang Kristen atau Islam pun, setiap orang akan punya perjalanan spiritual yang berbeda-beda.

Atau bahkan bagi para ateis. Ya, saya percaya bahwa para ateis pun punya panggilan masing-masing, karena ada banyak orang ateis yang baik hatinya. Mungkin lebih baik dari kita yang mengaku teis ini.

Dalam konsep iman yang unik dan spesifik inilah, menurut saya, ia menjadi tidak bisa dibanding-bandingkan, tidak bisa juga dinilai, oleh kita yang menerimanya.

Bagaimana caranya kita bisa menilai sesuatu sebagai baik atau buruk, lebih atau kurang, bila hal yang dibandingkan itu berbeda-beda? Apa standarnya?

Satu-satunya yang bisa kita bandingkan adalah output-nya: bagaimana tindak-tanduk kita dalam masyarakat, bagaimana cara kita memperlakukan orang lain, apa kontribusi kita demi kebaikan bersama, bagaimana kita menciptakan damai di bumi.

Terkait dengan teori relativitas: bahwa semuanya pada dasarnya sama baiknya, sehingga memilih yang mana pun sama saja. Sejujurnya saya juga tidak bisa setuju dengan pendapat itu.

Kalau iman itu unik dan spesifik, artinya bagi tiap-tiap orang yang menerima dan menjawab panggilannya, iman itu adalah sesuatu yang whole. Utuh. Penuh. Lengkap, seperti lingkaran. Spesial, seperti kado ulang tahun dari orang kesayangan.

Pernyataan “semuanya sama saja” mengandaikan suatu kondisi di mana bagian-bagian dari “semuanya” itu bisa diukur dan diperbandingkan, seperti potongan-potongan sebuah kue tar. Tapi bila masing-masing dari bagian-bagian itu adalah utuh, penuh dan unik ke dalam dirinya sendiri, usaha membandingkannya akan menjadi sia-sia.

Saya tidak tahu bagaimana seharusnya tulisan ini ditutup. Tapi ada satu kalimat tanya dalam Injil yang terus menerus terngiang dalam kepala saya. Kalimat ini disampaikan oleh Pontius Pilatus saat Yesus dihadapkan kepadanya oleh bangsa Yahudi untuk diadili. Ia bertanya pada Yesus, “Apakah kebenaran itu?”

Dalam konteks pertanyaan itu dan ocehan yang berusaha saya sampaikan barusan, sesungguhnya saya merasa, dalam hidup ini, masing-masing dari kita adalah Pilatus-Pilatus kecil yang sedang bertanya.

Sungguh, tak banyak lebihnya daripada itu.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.