Hampir seluruh pesantren di Indonesia – terutama pesantren bercorak salafiyah –, tentunya mengenal dan pernah mengkaji kitab kuning. Teks-teks yang disusun oleh ulama klasik, yang kebanyakan berasal dari abad pertengahan, telah memiliki kontribusi sedemikian besar bagi perkembangan Islam Nusantara. Berbagai jenis ilmu dengan berbagai tingkatannya, mulai fikih, nahwu, sharaf, tasawuf, sampai berhubungan dengan tata kelola politik dan astronomi, masyarakat pesantren Indonesia mengenalnya lewat budaya kajian kitab kuning.
Mengapa disebut kitab kuning? Sebenarnya alasan penyebutan ini cukup sederhana. Jika Anda bertolak pada kitab-kitab dasar yang diajar di pesantren, akan mudah ditemui bahwa kitab tersebut dicetak dengan kertas berwarna kuning, yang sengaja tidak dijilid (bahasa Jawa: protholan). Model cetakan dan susunan yang sedemikian rupa menegaskan bahwa kitab ini sengaja dibuat sesederhana mungkin, sehingga setiap santri tidak akan merasa keberatan ketika membawanya dalam pengajian – dan tentunya lebih ekonomis.
Tidak diketahui secara pasti siapa yang pertama kali memperkenalkan budaya membaca kitab kuning di Indonesia, namun sebagaimana disebutkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam beberapa artikelnya tentang pesantren, bahwa kitab ini memiliki kaitan yang erat dengan peran pendakwah di Nusantara. Melalui pendekatan kitab kuning inilah Islam lebih didekatkan dengan kaum pribumi. Terlebih ketika para ulama memperkenalkan pesantren, kitab-kitab yang lebih tinggi tingkatan ilmunya dikaji lebih jauh, seperti kitab-kitab rujukan utama laiknya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, serta Alfiyyah ibn Malik, Al Umm, Muhadzdzab, dan Ihya’ ‘Ulumiddin.
Di balik semua kitab-kitab yang dikaji dan dibaca ternyata kita tidak disuguhkan mengenai topik khazanah Islam secara terbatas. Beberapa hal mengenai teknologi masa lalu, sejarah, tradisi perobatan, kemudian kisah-kisah keramat para ulama disebutkan dan diceritakan dalam berbagai naskah. Siapa yang menyangka bahwa ulama Nusantara mengkaji kitab-kitab yang berbicara dengan doa-doa khusus untuk berbagai hal, mulai dari penyakit batuk, mudah panen, sampai urusan enteng jodoh, seperti kitab Mujarrobat, misalnya. Ternyata, diam-diam semua perilaku yang klenik itu masih secara turun temurun diamalkan di pesantren.
Pesantren menegaskan dirinya sebagai lembaga yang berpondasi pada ilmu ‘amaliy, yakni mengajarkan ilmu-ilmu yang mampu dikontekstualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Syekh Az Zarnuji, bahwa sebaik-baik ilmu adalah ilmu haal, yakni ilmu siap pakai, yang menjadi dasar ilmu ibadah dan perilaku sehari-hari. Contohnya, salah satu ilmu yang disorot tentang ilmu haal tersebut adalah kedokteran, yang berfungsi untuk menjaga kesehatan dan menghilangkan penyakit.
Kitab Ta’limul Muta’allim ini adalah salah satu kitab budi pekerti yang jamak dibaca di pesantren. Secara singkat, kitab ini menjelaskan mengenai tata krama seorang pencari ilmu dalam usahanya mendapatkan ilmu yang lebih mendukung kebaikan dunia. Az Zarnujiy berkata dalam mukadimah kitab ini terkait tujuan penyusunannya:
“Aku melihat bahwa para pencari ilmu saat ini keliru dalam laku dan metodenya,”
Secara etis, kitab ini sangat menarik untuk diamalkan. Namun menarik kita soroti bahwa dalam kitab ini dijelaskan bab mengenai hal-hal teknis yang dikatakan dapat menambah kecerdasan, serta meningkatkan hapalan. Beberapa hal itu adalah tidak memakan barang bernyawa, kemudian konsumsi kurma, kismis Arab, serta madu. Ini adalah sorotan kita dalam aspek kesehatan. Dianjurkan pula untuk banyak berpuasa (tirakat) ketika dalam proses mencari ilmu. Selain kitab Ta’limul Muta’allim tersebut, masih banyak hal unik dalam kitab-kitab lain yang menjadi kepercayaan di kalangan pesantren. Misalnya, beberapa kitab yang “membahas hal klenik” dianjurkan untuk menanam tulisan tertentu dalam tanah untuk menyuburkan tanaman.
Kepatuhan Akan Teks Kitab: Bergerak Menuju Modernisasi. Masih menjadi doktrin dalam sebagian pesantren, bahwa jangan sampai seorang santri memprotes atau melakukan kritik dalam mengkaji kitab kuning. Materi yang dikandung adalah hal yang mutlak dan tidak terbantahkan. Agaknya hal-hal semacam ini masih dipegang teguh dalam budaya kepesantrenan kita. Misalnya, beberapa kitab seperti Ta’limul Muta’allim, lalu Adabul ‘Aalim wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan
Bangsa Indonesia agaknya merupakan bangsa yang masih cukup percaya dengan hal-hal bersifat metafisis, seperti arwah leluhur, sesajen, tulah dalam hari-hari tertentu dan sebagainya. Meski tak sepenuhnya salah ataupun benar, ada keyakinan bahwa setiap kitab adalah sesuatu yang membawa keberkahan, sehingga melaksanakan ajaran sesuai dengan isinya adalah bentuk pencarian berkah dan usaha pendekatan diri kepada Tuhan dengan perantara para pengarang kitab.
Pesantren yang terbentuk dalam budaya aristokratik Nusantara yang amat kental, ditambah dengan adat yang dipegang teguh, menjadikan kedudukan seorang kyai adalah panutan lahir dan batin. Setiap ucapannya adalah instruksi yang amat penting diperhatikan. Selanjutnya, pesantren pada faktanya saat ini diharapkan menjadi pusat informasi pengetahuan, lebih dari sekedar tempat pengkajian ilmu-ilmu agama.
Santri di Nusantara telah menyusun sedemikian rupa bahasan-bahasan yang mengurai keadaan di masa kolonial, sebagai usaha pendekatan sejarah serta kajian-kajian ilmu terapan lain yang lebih maju. Salah satu aspek yang menarik untuk ditelusuri adalah bahwa kitab-kitab dan naskah yang terdapat di Nusantara masa lampau banyak menyumbangkan pengetahuan mengenai jenis obat-obatan, begitu pula dengan sebutan penyakit-penyakit yang mewabah pada pertengahan abad 18, dimana pesantren saat itu memiliki peranpenting dalam melawan kolonialisme.
Faktanya patut kita telaah lebih lanjut tentang relevansi kitab-kitab tersebut dengan riset dan perkembangan dunia saat ini. Apakah teks-teks kitab itu tetap perlu dipegang kuat-kuat? Apakah suatu berkah timbul dari mengambil dan mengamalkan naskah teks kitab apa adanya tanpa disertai kritik?
Kitab kuning tak sepenuhnya salah. Hanya saja, hal yang agak sulit adalah jika teks-teks itu masih dipegang teguh, sedang ilmu pengetahuan berkembang secara amat pesat, dan nyatanya banyak hal yang tidak terdapat pada masa penyusunan kitab kuning tersebut. Santri nampaknya harus mengenal dan memahami kitab kuning, serta selalu peka dan kritis dengan perkembangan teknologi serta informasi yang deras. Selain itu, menilik dari sikap tesktualis saat ini berpijak pada naskah-naskah kitab kuning: kita patut takut akan pemahaman yang konservatif dan kehilangan kokntekstualisasinya untuk peradaban Indonesia.[]