Yesus tidak pernah mengucapkan satu kata pun tentang homoseksualitas. Dalam semua ajarannya tentang banyak hal, tidak pernah dia menyatakan bahwa seorang gay harus dikutuk. Aku pribadi berpikir sangatlah indah jika seorang gay menikah dalam suatu upacara sipil. (Jimmy Carter)
Homoseksualitas yang terisolasi sendirian sangat tidak umum di dalam alam ini.”(Frans de Waal)
Yesus yang saya cintai tak pernah mengajar dan meminta saya untuk membenci siapapun. Bahkan terhadap orang yang memusuhi, Yesus meminta untuk musuh itu disayangi dan dicintai lalu dibimbing supaya rasa permusuhan dalam dadanya sirna. Sesama manusia, apapun orientasi seksual mereka, ya ada untuk kita cintai, dan cinta berarti mengakui hak mereka untuk hidup. Agama yang saya yakini adalah agama kebaikan hati, bukan agama kebencian atau permusuhan. (Ioanes Rakhmat)
IslamLib – Pada tahun 1973 The American Psychiatric Association (APA) mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental, dan dengan demikian posisi sebelumnya (tahun 1952) yang melihat homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental klinis dihapuskan./1/ Langkah yang progresif ini kemudian di tahun 1975 diikuti oleh The American Psychological Association (APA) dan juga oleh The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama. Kemudian, dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC) PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini akhirnya memutuskan (26 September 2014) untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”./2/
Ketiga lembaga yang telah disebut pada alinea pertama di atas (APA, APA, dan NASW) sudah memberi batasan-batasan yang jelas terhadap konsep modern “orientasi seksual” sebagai “suatu pola kelakuan atau watak yang menetap pada seseorang dalam mengalami ketertarikan seksual, romantik dan afeksional khususnya terhadap laki-laki, perempuan, atau sekaligus terhadap laki-laki dan perempuan.”
Karena didorong orientasi seksualnya ini, seseorang “membangun suatu hubungan pribadi yang intim dengan mitra pilihannya untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, persekutuan dan keintiman yang sangat kuat dirasakannya”, hubungan yang dipandangnya “memuaskan dan memenuhi semua harapannya dan merupakan suatu bagian esensial jati diri pribadinya”./3/
Orientasi seksual (OS) ini khas, berbeda dari komponen-komponen seks dan seksualitas lainnya, seperti seks biologis (hal-hal yang mencakup anatomi, fisiologi dan genetika yang membuat seseorang menjadi laki-laki atau perempuan), identitas gender (penghayatan psikologis sebagai laki-laki atau perempuan), dan peran sosial gender (menyangkut perilaku maskulin atau perilaku feminin, yang definisinya diberikan berdasarkan norma-norma kultural yang berlaku dalam suatu masyarakat).
Biasanya OS ini dilihat mencakup tiga golongan, yakni heteroseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks dari lain jenis), homoseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks sejenis), dan biseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks lelaki dan mitra seks perempuan sekaligus).
Bagaimana sikap Indonesia? Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas telah dihapus dari daftar gangguan jiwa./4/ Pada halaman 288 buku PPDGJ III tercantum dengan jelas kata-kata ini:
Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.
Dinyatakan juga bahwa yang termasuk orientasi seksual adalah heteroseksualitas, homoseksualitas dan biseksualitas. Ditulis juga di halaman yang sama bahwa meskipun bukan suatu gangguan jiwa, OS LGBT seseorang dapat menimbulkan penderitaan karena ketidakpastian tentang identitas jenis kelaminnya atau orientasi seksualnya yang menimbulkan kecemasan dan depresi.
Harus jelas buat anda: OS apapun bukan gangguan mental; tetapi ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan masyarakat kepada orang LGBT, juga oleh orangtua sendiri) dapat menimbulkan gangguan mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi, kecanduan narkotik, hingga kemungkinan bunuh diri, atau dia berusaha mencari bantuan untuk diterapi untuk menjadi heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan sebagai LGBT tipe distonik.
Sangat disayangkan, saya membaca sebuah berita di koran online Kompas, 19 Februari 2016, bahwa psikiater dan direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza di Kemenkes RI, dr. Fidiansyah SpKJ MPH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One 16 Februari 2016, menyatakan kepada publik Indonesia bahwa OS LGBT adalah gangguan jiwa sebagaimana, menurutnya, telah dinyatakan dalam buku tebal PPDGJ III yang sudah dirujuk di atas.
Tak lama sesudah acara di TV One itu, muncul cukup banyak kritik di berbagai media massa (online dan cetak) terhadap dr. Fidiansyah yang dinilai telah memelintir dan menutupi kebenaran ketika dia dengan sengaja tidak membaca bagian-bagian penting dari buku PPDGJ III yang dengan terang menegaskan bahwa OS LGBT bukan gangguan mental, sebagaimana sudah diungkap di atas./5/
Lebih memprihatinkan lagi, saya dapat kabar tak bagus dari sejumlah teman yang mereka kirim dalam bentuk screenshots lewat HP dan juga lewat akun FB dan akun Twitter saya. Konon (!) pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) telah mengeluarkan sebuah pernyataan sikap sepanjang dua halaman yang pada intinya sejalan dengan pendapat dr. Fidiansyah.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP PDSKJI, dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ (K). Mereka menyatakan bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Menurut mereka juga, semua kalangan OS ini perlu “direhabilitasi”, dan riset tentang OS perlu diadakan dengan berbasis kearifan lokal, budaya, aspek religi dan spiritual bangsa. Sekarang ini situs web www.pdskji.org sudah tidak bisa diakses lagi, entah mengapa (dan juga saya tak berminat untuk tahu).
Hemat saya dalam hal ini PP PDSKJI telah mengubah fakta ilmiah yang telah memperlihatkan bahwa OS LGBT memiliki basis kuat pada genetika dan biologi―dan dengan demikian sama sekali bukan suatu gangguan kejiwaan―dengan menjadikan riset OS LGBT sebagai riset tentang hal-hal yang non-genetik: kearifan lokal, budaya, agama dan kerohanian bangsa sendiri.
Kita semua tahu, hasil riset ilmiah yang menemukan basis kuat genetis untuk OS LGBT sama sekali tidak bisa dipelintir atau diubah menjadi riset tentang hal-hal yang non-genetik itu. Tentu saja, pendekatan yang komprehensif terhadap usaha memahami dan menjelaskan OS LGBT sangat disambut baik oleh siapapun sejauh usaha ini tidak menutup fakta terpenting bahwa OS LGBT juga punya basis kuat pada gen manusia, sebagaimana nanti akan saya bentangkan panjang lebar.
Selain itu, belum lama ini Menristek RI, Muhamad Nasir, sempat mengeluarkan sebuah larangan untuk semua bentuk kegiatan yang terkait dengan LGBT (misalnya seminar, diskusi, konsultasi, konseling) di semua kampus di seluruh NKRI.
Tapi bagi mahaguru psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, sikap Menristek ini hanyalah sebuah reaksi bertahan (defense mechanism) yang mewakili salah satu unsur dalam masyarakat yang melihat kaum LGBT sebagai suatu ancaman yang membahayakan masyarakat. Selanjutnya, Prof. Sarlito Wirawan menegaskan bahwa “Saya yakin LGBT di Indonesia tidak akan punah, karena LGBT itu sebagian dari sunatullah juga.”/6/
Legalisasi perkawinan sesama jenis seks di Amerika. Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengambil sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama jenis seks untuk seluruh warganegara Amerika di semua 50 negara bagian. Keputusan ini diambil dengan kemenangan tipis kubu para hakim agung yang liberal versus kubu para hakim agung yang konservatif (5:4).
Hakim Agung konservatif John G. Roberts Jr. membuat sebuah pernyataan tertulis yang dibacakannya setelah keputusan diambil:
Jika anda berada di antara orang Amerika, apapun orientasi seksual anda, dan telah memilih untuk memperluas perkawinan sesama jenis seks, rayakanlah keputusan hari ini dengan segenap hati. Rayakanlah tujuan yang diinginkan dan yang telah dicapai.
Rayakanlah kesempatan untuk mengekspresikan secara baru komitmen kepada pasangan anda. Rayakanlah manfaat-manfaat baru yang sudah tersedia. Tapi jangan rayakan UU. Perayaan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan UU.
Di Rose Garden Gedung Putih, atas keputusan Mahkamah Agung Amerika ini, Presiden Barack Obama menyatakan hal berikut ini,
Ketentuan perundang-undangan ini adalah sebuah kemenangan bagi Amerika. Keputusan ini mengafirmasi apa yang jutaan orang Amerika telah percayai dalam hati mereka. Di saat semua orang Amerika diperlakukan setara, kita menjadi lebih bebas lagi. /7/
Tapi janganlah kita yang berpikiran jernih dan mengetahui segi-segi homoseksualitas merasa senang dulu. Reaksi-reaksi keras dan negatif dari banyak aliran agama-agama akan pasti bermunculan, di seluruh dunia, terhadap keputusan MA Amerika itu. Malah mungkin juga, kalangan pedofilik di Amerika akan menuntut hal yang sama, yakni meminta untuk pedofilia dipandang sebagai sebuah orientasi seksual lain lagi, bukan sebuah tindak kriminal.
Begitu juga, inses juga bisa saja nanti diminta untuk dipandang sebagai suatu kewajaran, bahkan sah di mata hukum. Tentu saja, dua kemungkinan ini sangat tidak masuk akal, sementara ini. Tetapi, di Amerika, apapun mungkin untuk terjadi. Jika ini terjadi (semoga tidak!), persoalan seksualitas manusia memang kembali akan makin rumit. Nekrofilia tidak usah kita persoalkan, karena sudah jelas perilaku seksual jenis ini adalah suatu kelainan jiwa.
Tetapi bagaimana pandangan rakyat Amerika sendiri terhadap perkawinan sesama jenis? Sebelum MA Amerika mengambil keputusan melegalisasi perkawinan sesama homoseksual, Pew Research Center telah melakukan survei pendahuluan yang luas yang berkaitan dengan isu-isu seksualitas manusia, isu homoseksualitas dan perkawinan sesama jenis khususnya, dalam hubungan dengan berbagai isu sosial, etnisitas, politik, kultural, keagamaan dan lain-lain. Survei PRC yang diadakan 12-18 Mei 2015 mengungkapkan kondisi-kondisi berikut.
Kurang lebih tiga perempat (73%) orang Amerika yang mengenal banyak gay dan lesbian, dan dua pertiga (66%) dari orang-orang yang memiliki teman-teman dekat atau anggota-anggota keluarga yang gay atau lesbian, menyatakan bahwa mereka mendukung perkawinan sesama jenis seks.
Dan hampir separuh (48%) orang Amerika yang memiliki banyak kenalan yang gay, dan 38% dari mereka yang memiliki sahabat-sahabat dekat atau anggota-anggota keluarga yang gay, dengan kuat mendukung kalangan gay dan lesbian untuk menikah resmi.
Tetapi ada jauh lebih sedikit dukungan terhadap perkawinan sesama jenis seks di antara orang-orang yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak mempunyai kenalan-kenalan yang gay atau lesbian. Begitu juga keadaannya di antara orang-orang yang tidak mempunyai teman dekat atau anggota keluarga yang gay atau lesbian.
Hanya 32% dari orang-orang yang tidak mempunyai kenalan yang gay atau lesbian yang mendukung perkawinan sesama gay atau sesama lesbian, dan 58% menolak (dengan 30% menyatakan bahwa mereka menolak keras perkawinan sesama jenis)./8/