Surat terbuka muslimin Reza Aslan dan Hasan Minhaj. Ahli agama Reza Aslan dan komedian sekaligus wartawan Daily Show Hasan Minhaj, keduanya Muslim Amerika, pada 7 Juli 2015, bersama-sama menulis sebuah surat terbuka kepada sesama Muslim Amerika mengenai perkawinan sesama jenis yang baru dilegalisasi oleh MA Amerika dan berlaku di seluruh 50 negara bagian. Surat mereka cukup panjang, dimuat pada web Religion Dispatches, 7 Juli 2015. Saya kutipkan bagian-bagiannya yang hemat saya penting diperhatikan, berikut ini./19/
Kini perkawinan sesama jenis sudah legal di Amerika. Keadaan ini mengguncang iman kalian. Kalian jadi khawatir tentang masa depan, dan bertanya apa artinya masa depan untuk anak-anak kalian. Kalian tahu, hak-hak kaum gay makin luas diterima, tapi secara pribadi kalian sesungguhnya tidak dapat merangkul perubahan ini.
Kalian dapat merasa tidak ada masalah jika berteman dengan gay atau mereka menjadi rekan-rekan sekerja kalian. Bahkan kalian dapat sepakat bahwa menjadi gay tidak membuat kalian terdiskualifikasi sebagai seorang Muslim. Tetapi secara pribadi, diam-diam kalian merasa bahwa adanya komunitas-komunitas LGBT adalah suatu kontradiksi yang real terhadap kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan kepada kalian.
Sebagai Muslim, kita adalah orang yang telah termarjinalisasi dengan dalam di dalam kebudayaan arus utama Amerika. Lebih dari separuh orang Amerika memandang kita dengan negatif. Sepertiga orang Amerika (yakni, lebih dari seratus juta orang) ingin kita membawa KTP khusus sehingga mereka dengan mudah dapat mengenali kita sebagai Muslim.
Kita harus tidak selamanya mempertahankan keadaan kita yang termarjinalisasi dengan memarjinalisasi orang-orang lain. Jika kalian menolak hak untuk perkawinan sesama jenis, tetapi lalu mengharapkan empati terhadap perjuangan komunitas kita, itu sama dengan kemunafikan.
Ingatlah bagaimana orang memandang saudara-saudara perempuan kalian yang memakai hijab atau saudara-saudara pria kalian yang berjenggot lebat saat mereka berjalan di dalam mall-mall. Ingat juga bagaimana di pelabuhan-pelabuhan udara orang melihat ke kalian atau mengomel kepada kalian.
Ingat juga bagaimana para pemimpin politik terpilih kalian sendiri dengan tajam mengkritik kalian. Itulah juga semua yang dirasakan saudara-saudaramu, lelaki dan perempuan, dari kaum LGBT, setiap hari dalam kehidupan mereka. Apakah kalian bersikap biasa-biasa saja dengan semua itu?
Kalian boleh berpikir bahwa hak-hak LGBT adalah suatu percakapan baru, sesuatu yang baru-baru ini saja bersentuhan dengan pemikiran Islam modern. Tetapi, percayalah kepada kami, tidak demikian halnya! Menantang status quo untuk memperbaiki masyarakat adalah salah satu fondasi bangunan agama Islam sendiri.
Tapi jika hati kalian tidak bisa menerima kalangan gay pada prinsipnya, ingatlah negara yang di dalamnya kalian ingin berdiam. Bagaimana pun juga, UU yang baru saja menjamin hak-hak komunitas-komunitas LGBT adalah UU yang sama yang melindungi masjid-masjid dan sentra-sentra komunitas kita, yang membuat sekolah-sekolah Islami kita tetap buka, yang memungkinkan kita mempunyai hak-hak dan perlakuan-perlakuan istimewa saat kita semua menghadapi kebencian dan fanatisme yang membanjir dari orang-orang Amerika sesama kita. Kalian tidak dapat merayakan yang satu dengan membuang yang lain.
Karena itulah, tidak cukup jika kita cuma ‘mentolerir’ keputusan MA. Mentolerir suatu komunitas lain hanya akan menimbulkan ketakutan-ketakutan tersembunyi terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan apatisme terhadap proses politik.
Sebagai minoritas-minoritas, kita tidak bisa hidup dengan dua emosi itu memenuhi kita. Kita harus melakukan lebih dari cuma mentolerir. Kita harus merangkulnya. Kita harus memperjuangkan hak orang-orang lain untuk menjalani kehidupan mereka dengan bebas, sama seperti kita juga ingin hidup kita bebas.
Hal terpenting yang kalian harus pikirkan sungguh-sungguh adalah ini: Belalah komunitas-komunitas yang termarjinalisasi, bahkan ketika kalian tidak sepakat dengan mereka. Ini bukan saja hal yang benar untuk kalian lakukan, tetapi ini juga adalah hal Islami yang setiap Muslim harus lakukan. Ingatlah, Allah itu sepenuhnya rahmani dan rahimi. Wujudkan ini bagi semua orang, bukan hanya bagi kalangan heteroseksual!”
Baris terakhir surat terbuka mereka memuat kata-kata ini: “Rayakanlah! Jangan hanya mentolerir! Cinta sungguh-sungguh menang.”
Setelah mengamati sekian waktu, dan sudah saya prediksi sebelumnya, saya menemukan, ada banyak Muslim yang marah terhadap Reza Aslan dan Hasan Minhaj, padahal mereka yang marah ini bukan Muslim Amerika dan tidak memahami konteks sosial budaya dan politik yang di dalamnya Aslan dan Minhaj hidup.
Bahkan ada juga yang meminta surat terbuka mereka dicabut dari web Religion Dispatches, padahal mereka ini belum membaca surat mereka seluruhnya dalam bahasa Inggris dan mungkin sekali mereka juga tidak paham bahasa Inggris. Itulah suasana batin dan intelektual dunia Muslim sekarang ini.
Semakin Reza Aslan dan Hasan Minhaj dibenci dan dicaci karena surat terbuka mereka itu, semakin Islami mereka berdua dalam penilaian saya, dan semakin menjauh dari kerahiman dan kerahmanian Allah para Muslim pembenci itu. Reza Aslan dan Hasan Minhaj, dalam pandangan saya, betul saat mereka menyatakan cinta dan kasih sayang serta kemurahan Allah itu tak mengenal batas-batas, diberikan kepada semua orang dari orientasi seksual apapun. Agama-agama yang dibangun manusia, itulah yang membatasi kerahiman dan kerahmanian Allah.
Literalisme versus kritisisme. Tentang posisi kaum Muslim di Indonesia, tidak perlu saya beberkan lagi, karena mereka pasti juga menolak perkawinan sesama jenis. Yang sudah kita ketahui adalah bahwa beberapa peristiwa telah terjadi belum lama ini di Indonesia yang menunjukkan kebencian kaum beragama Muslim fundamentalis terhadap kaum homoseksual; kebencian ini timbul tidak sedikit karena teks-teks skriptural yang dipahami secara harfiah.
Saya menyebut mereka sebagai kalangan literalis dalam memahami teks-teks kuno kitab suci. Bagi mereka, hal apapun yang sudah tertulis sebagai teks kitab suci, teks ini apa adanya, harfiah, berlaku di segala zaman dan di segala tempat, mutlak mengikat umat pemakai kitab suci, kata mereka, sejak awal dunia hingga kiamat. Kata mereka dengan sangat yakin bahwa teks-teks kitab suci tidak perlu ditafsir-tafsir, tapi cukup hanya dibaca, dan pesan-pesan yang tertulisnya tinggal umat jalankan saja dengan taat, tanpa perlu ada keraguan sedikitpun.
Keyakinan kalangan literalis ini sesungguhnya naif dan tidak tepat, karena minimal dua penyebab. Pertama, mereka mengabaikan fakta kuat bahwa ketika teks-teks kuno kitab suci sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa kita sendiri, penerjemahan itu sendiri adalah suatu penafsiran. Tak ada penerjemahan yang bebas dari penafsiran.
Kalaupun kitab suci yang kita pakai masih ditulis dalam bahasa aslinya (misalnya bahasa Ibrani atau bahasa Yunani koine atau bahasa Arab zaman dulu), saat kita pada masa kini di dunia kita membaca teks-teks asli ini dan mau memahaminya kita berpikir dalam bahasa ibu kita, bukan dalam bahasa asli kitab suci kita. Dus, saat ini terjadi, kita pun harus menafsir teks-teks dalam bahasa aslinya itu dan mengubahnya dalam pikiran kita sendiri untuk menjadi teks-teks dalam bahasa ibu kita sendiri.
Kondisi ini pasti terjadi dalam benak kita sejauh kita mau memahami teks-teks asli yang kita baca, bukan cuma mau hafal mati dan ulang-ulang ribuan hingga jutaan kali begitu saja tanpa kita ketahui artinya dalam bahasa ibu kita sendiri, sejak kita kanak-kanak sampai kita wafat.
Kedua, mereka tidak bisa melihat dan tidak mau mengakui bahwa tidak ada seorangpun saat mendekati teks-teks kitab suci berpikiran kosong melompong (seperti selembar kertas putih bersih), alhasil, kata mereka, hanya tinggal diisi pesan-pesan kitab suci yang puritan.
Sesungguhnya, kapan pun juga kita membaca dan mau menangkap pesan teks-teks suci apapun, dalam benak kita selalu sudah ada paham-paham dan keyakinan-keyakinan yang kuat sebelumnya, yang terbentuk dan dibangun dari berbagai sumber di luar kitab suci sendiri (misalnya, dari aliran agama yang kita anut, dari indoktrinasi ajaran-ajaran guru-guru agama, dari buku-buku dan berita-berita yang kita baca dan dengar, dari berbagai pengalaman kehidupan kita, dari kedudukan dan tempat kita dalam masyarakat, dari tekanan-tekanan yang datang dari luar diri kita, dan dari ambisi-ambisi individual kita sendiri).
Berbagai paham dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya dalam benak kita ini saat kita mau memahami teks-teks kitab suci dalam ilmu tafsir disebut prapaham atau prasuposisi (presupposition). Nah prapaham ini sangat kuat mengendalikan pikiran kita ketika kita sedang membaca teks-teks kitab suci apapun.
Adanya peran prapaham ini dalam setiap usaha memahami kitab suci membuat pemahaman literalis atau pemahaman harfiah sama sekali tidak bisa didapat. Alih-alih menemukan makna harfiah teks-teks suci, si pembaca kitab suci malah membiarkan prapaham-prapahamnya sendiri menentukan makna teks-teks suci yang sedang dibacanya dan menganggap prapaham-prapahamnya ini sendiri sebagai firman Allah.
Ketimbang menemukan satu pesan teks suci yang jelas, pendekatan literalis malah menghasilkan sangat banyak dan beranekaragam pesan teks sejalan dengan banyak dan beranekaragamnya prapaham-prapaham para penafsir.
Sebaliknya, penafsiran yang bertanggungjawab adalah penafsiran yang tidak dikendalikan atau didikte prapaham, kendatipun prapaham ini masih bisa ada gunanya hanya di langkah-langkah awal penafsiran sebagai ancang-ancang saja, yang kemudian harus dilepaskan demi menemukan makna sebenarnya teks-teks suci. Menolak pendiktean oleh prapaham-prapaham kita hanya mungkin jika kita menafsir teks-teks kitab suci tidak literalistik, tetapi dengan memakai sebuah pendekatan lain, yang kedua.
Dalam situasi sosialpolitik yang tidak menguntungkan seperti sudah disinggung di atas, untuk meniadakan atau minimal mengurangi tekanan sosiopsikologis dan sosiopolitis terhadap kaum homoseksual, teks-teks skriptural yang tampak melarang dan mengutuk homoseksualitas perlu ditafsir ulang untuk melepaskan teks-teks ini dari dominasi konstruksi tafsiran tradisional literalis yang umumnya memang tidak memihak kaum ini.
Pendekatan yang kedua ini pendekatan yang saintifik terhadap teks-teks kuno kitab suci manapun, disebut sebagai pendekatan historis kritis. Digolongkan sebagai pendekatan saintifik karena memang dijalankan dengan melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu sejarah, linguistik, arkeologi, antropologi budaya, sosiologi, berbagai jenis kritik sastra, dan lain-lain.
Dengan pendekatan historis kritis, semua teks kuno kitab-kitab suci mutlak harus diperlakukan sebagai teks-teks yang terikat pada sejarah, kebudayaan dan sistem sosial zaman-zaman kuno yang di dalamnya para penulis teks-teks ini hidup, bergaul, bermasyarakat, berpikir dan memahami berbagai kenyataan. Dengan demikian, makna atau pesan teks-teks kuno kitab suci selalu terikat dengan konteks sejarah dan konteks kebudayaan masa lalu yang di dalamnya teks-teks ini ditulis (siapapun yang dianggap sebagai para penulis teks-teks ini).
Jadi, dalam penafsiran historis kritis adalah mutlak untuk kita mengenali konteks sejarah dan konteks kebudayaan di masa lampau ini, sebelum kita membawa teks-teks ini ke zaman kita di tempat kita. Hanya dengan kembali dulu ke masa lampau di dunia yang lain, prapaham-prapaham kita tidak akan mendikte kita dalam proses menafsirkan teks-teks kuno.
Setelah kita menemukan makna dan pesan teks-teks itu untuk orang di zaman kuno dan di dalam sistem sosial mereka sendiri, barulah kita dapat mengayunkan langkah yang kedua (disebut sebagai langkah hermeneutis), yakni menilai dengan teliti apakah teks-teks kuno ini masih relevan untuk zaman sekarang di dunia kita ataukah sudah tidak relevan lagi sehingga tidak perlu kita gunakan lagi.
Sebagai sebuah sumbangan dalam mendekonstruksi tafsiran tradisional literalis terhadap teks-teks homoseksualitas dalam kitab suci, tulisan ini fokus pada teks-teks Alkitab yang dalam pandangan pertama tampak dalam arti harfiah mengutuk kaum homoseksual. Teks-teks ini mau dipahami dalam konteks sejarah dan konteks kebudayaan serta sistem-sistem sosial di zaman-zaman kuno dan di tempat-tempat yang berbeda dari tempat kehidupan kita sekarang.
Ingatlah selalu, makna atau pesan sebuah teks suci kuno ditentukan bukan oleh Tuhan Allah di langit, tetapi oleh sistem-sistem sosial yang di dalamnya para penulis kitab-kitab suci hidup. Relevansi atau irelevansi teks-teks ini untuk kehidupan zaman sekarang di dunia kita dengan mudah kita akan dapat temukan sejauh kita memiliki kesadaran sejarah dan kesadaran konteks kontemporer kita sendiri.