Home » Gagasan » M. Fadjroel Rachman: “Kebebasan Harus Dipertahankan”

M. Fadjroel Rachman: “Kebebasan Harus Dipertahankan”

Tolong nilai artikel ini di akhir tulisan.

Kalau sudah berakar dalam agama, mengapa masih perlu sosialisme?

Mungkin begini. Tuhan memang sumber kebenaran, tapi yang jadi masalah, dalam proses mencari kebenaran itu, agama sendiri punya banyak tafsir. Tafsir-tafsir itu ditambah pula dengan sejarah agama-agama yang juga tak kalah rumitnya.

Kalau bicara sejarah, dalam Islam sendiri, tiga khalifah pertama dibunuh para penentangnya. Bahkan Imam Husein yang cucu Nabi itu bersama 70 pengikutnya dibunuh oleh 30.000 pengikut Yazid bin Mu’awiyah. Kepalanya ditendang-tendang dan dibawa ke istana. Artinya, dalam sejarah agama sendiri, unsur kekerasan itu sudah ada sejak awal.

Nah, yang jadi persoalan, tafsir kebenaran ala siapa yang kita ikuti? Dalam Islam Sunni, ada beberapa versi dan aliran kebenaran. Bahkan dalam Islam Syiah pun juga beragam. Maksud saya, interpretasi sekelompok orang terhadap agama dan kebenaran agama itu sendiri memang harus dipisahkan.

Karena itu, kelompok sosialis seperti saya juga berupaya mencari formula agar kelompok-kelompok orang beragama ataupun tidak beragama bisa hidup atas dasar nilai-nilai bersama. Itu bisa saja kita ambil dari motivasi agama, semangat humanisme, filsafat, atau apapun.

Dengan begitu, kita oke saja untuk sama-sama ada. Kita saling menghormati dan bersama-sama membangun nilai dan norma-norma hidup bersama. Itulah yang diajarkan konsep masyarakat terbuka (open society) Karl Popper.

Dengan itulah manusia menjadi dirinya. Tapi problemnya, tiap-tiap orang mengabsolutkan interpretasinya atas Tuhan, agama, dan kebenaran. Ketika itu terjadi, muncullah inkuisisi. Karena itu, yang kita tolak adalah interpretasi yang absolut atas ilmu pengetahuan maupun agama.

Saya menolak interpretasi absolut terhadap keduanya. Saya membayangkan tiap-tiap manusia diberi kebebasan untuk menciptakan dirinya sendiri di dalam satu ruang sejarah yang terbuka.

Bung Fadjroel, ada reduksi besar-besaran tentang makna sosialisme dan komunisme. Misalnya anggapan sosialisme dan komunisme itu anti-Tuhan dan antiagama. Mengapa itu terjadi?

Orang-orang sosialis selalu mengatakan bahwa orang-orang komunis telah merampok nilai-nilai sosialisme. Alasan mereka, dalam buku Manifesto Komunis-nya Marx, sudah jelas-jelas dikatakan adanya sosialisme utopis yang berakar pada agama, jauh sebelum adanya sosialisme ilmiah.

Nah, kalau mau dalam kendali itu, sebenarnya kami telah berakar jauh ke sana. Tapi orang-orang komunis selalu mengatakan bahwa satu-satunya gagasan sosialisme yang absah adalah komunisme.

Ini mungkin sama dengan apa yang terjadi pada Islam sekarang. Tiba-tiba banyak orang terpana karena Islam disamakan dengan Alqaidah. Tiba-tiba orang tersentak. Itu sama dengan keheranan orang Kristen tatkala kelompok Kharismatik dianggap satu-satunya wajah kekristenan Indonesia. Jadi, di situ ada mutilasi gagasan.

Di Indonesia, itu terjadi karena di zaman Orde Baru semua yang berbau sosialisme, komunisme, bahkan liberalisme ditentang dengan keras. Jangankan di masa Orde Baru, sampai kini Jaringan Islam Liberal pun ditentang habis.

Artinya, kita memang tak pernah punya ruang publik yang sehat untuk membincangkan sebuah gagasan secara jernih?

Betul. Karena itu, agenda perjuangan terbesar gerakan sosialis adalah menjamin hak-hak sipil. Pokoknya, hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya, harus betul-betul dijamin dan diperjuangkan. Ini tak ada urusannya dengan dogmatisme, karena sebagian orang sosialis sudah tak peduli lagi dengan Marx.

Mereka hanya mengatakan, kami memperjuangkan hak sipil dan hak politik tiap-tiap orang. Kalau ada yang kelompok yang dikepung karena berpikiran berbeda, mereka harus dibela karena berpikir adalah hak. Kalau jamaah Ahmadiyah dikejar-kejar karena keyakinan mereka, mereka harus dibela karena menganut keyakinan tertentu adalah hak.

Betapapun keyakinan itu dianggap menyimpang oleh mayoritas?

Ya. Sebab dengan kebebasan itulah orang dapat menciptakan dirinya; manusia bisa menjadi manusia. Pada titik ini kita bertanya: apa makna kebebasan? Yaitu kemungkinan untuk meragukan, berbuat salah, dan melakukan proses pencarian atau eksperimentasi, serta kemungkinan mengatakan tidak terhadap otoritas apa saja yang mengekang, baik otoritas politik, sosial, agama, filsafat, estetika, dan lainnya.

Dalam iklim kebebasan itu, selalu ada kesempatan untuk membuat salah. Dalam kerangka ilmu pengetahuan, itu disebut kemungkinan falsifikasi. Sebab, melalui proses error ellimination itulah kehidupan bisa berkembang. Artinya, orang belajar dari kesalahan. Dan di titik itu pulalah hak sipil bisa berkembang.

Bagaimana kaum sosialis menyikapi kasus-kasus kekerasan karena perbedaan keyakinan agama?

Kaum sosialis menentangnya, karena pelakunya sedang menentang dan merenggut hak sipil dan politik orang lain. Yang benar hanya Tuhan, sementara manusia hanya memberi tafsir atas kebenaran.

Karena itu, pernyataan orang-orang yang menyesatkan kelompok agama tertentu mestinya tak boleh ada kalau kita mengandalkan hak sipil untuk berkeyakinan tertentu. Hak kebebasan berpendapat, berkumpul dan berorganisasi, harus dilindungi, karena itulah jalan kita untuk ada bersama-sama.

Itulah norma-norma yang dicapai manusia dan diperkenankan agama. Kalau Tuhan mau, semua orang bisa menganut Islam yang seragam, atau menjadi satu Kristen. Tapi tetap saja ada keragaman. Justru dalam keragaman itulah timbul dialog, dan dalam dialog yang sehat akan tumbuh apa yang kita sebut kebenaran.

Tidak bisa seseorang mengatakan dirinya paling benar. Karena itu, kita selalu butuh ruang publik atau ruang demokrasi di mana dialog bisa dilakukan dengan cara-cara yang sehat sambil menghormati hak sipil orang lain.

Seperti apa negara yang diharap mampu mengakomodasi banyak kelompok dan aliran secara damai?

Sosialisme selalu mengambil jalan demokrasi. Jalan demokrasi itu berarti tetap dibelanya hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tiap-tiap kelompok. Sementara kalangan komunis berupaya merebut negara untuk menegakkan kediktatoran; dan itulah yang ditentang kalangan sosialis.

Bagi mereka, perlu ada satu kelas yang berkuasa (kaum proletar, Red), sementara perbedaan di luar aspirasi kelompok penguasa dihentikan. Ujung-ujungnya totalitarianisme. Bagi kalangan sosialis, sosialisme tanpa demokrasi berarti kediktatoran, dan sebaliknya, demokrasi tanpa sosialisme berarti ketidakadilan.

Agama sebetulnya juga punya potensi besar untuk totaliter, apalagi bila diinterpretasi secara absolut. Sosialisme juga begitu. Jadi semua ajaran, baik sekuler maupun dan nonsekuler, punya potensi totaliter dan membunuh orang.

Karena itu, yang kita pentingkan: setiap agama atau aliran pemikiran harus tetap mempertahankan iklim kritisisme dan kebebasan. Kebebasan di situ berarti kita bisa tetap membuat kesalahan dan belajar dari kesalahan. Tidak ada yang mutlak dari hasil pemikiran manusia. Yang benar hanya Tuhan. Tiadanya monopoli kebenaran mensyaratkan kita untuk tetap mempertahankan ruang demokrasi.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.