IslamLib – Pernahkah (kalau bukan sering?) Anda menjumpai jenis orang yang shalatnya tak pernah putus, dilaksanakan di mesjid pula; tutur katanya sopan, halus, ramah, sehingga meninggalkan kesan baik pada orang yang melihatnya? Biasanya kesan yang dilekatkan selanjutnya, setelah saleh, maka orang semacam itu dianggap penyayang!
Tapi betulkah begitu? Bisakah kita memastikan sejalannya antara ibadah ritualistik dengan perbuatan seseorang dalam kehidupan sehari-hari? Atau dengan kata lain, dapatkah disimpulkan orang yang rajin salat dan puasa pasti memiliki sifat baik dan penyayang kepada orang lain, minimal orang-orang di sekitarnya?
Jika Anda penikmat berita di televisi, internet, koran, dan radio, mata dan telinga Anda pasti akrab dengan pemberitaan korupsi, kekerasan, dan kriminalitas lainnya yang dilakukan oleh orang-orang yang dalam sehari-hari dianggap baik, sopan, penyayang, tak pernah putus salat dan sedekah. Dengan begitu, fakta ini telah menjawab pertanyaan di atas.
Saya sendiri sering menjumpai tipe orang yang saya istilahkan, “lain di luar, lain di dalam”. Dengan kata lain, mereka masuk pada kategori munafik. Bagi saya, tipe orang seperti ini sangat menjengkelkan.
Bagaimana tak jengkel, di depan orang lain, sebut saja si C sangat manis dan “alim”, tapi kepada orang terdekatnya ia dengan gampang mengeluarkan sumpah serapah, lalu membabi-buta melayangkan tangan ke seluruh anggota tubuh si keluarganya itu. Terus terang saya gagal paham dengan orang model si C ini.
Oke, memang hanya orang-orang tertentu yang punya determinasi tinggi dalam memaknai dan menerapkan nilai-nilai keseimbangan dunia-akhirat. Mereka yang mendapat hidayah. Orang-orang terpilih.
Mereka inilah yang bisa memaknai bahwa ibadah berlangsung dalam dua dimensi: secara vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) dan horizontal (hubungan antar makhluk Tuhan). Keduanya, harus berjalan seimbang dan saling mendukung, bukan sesuatu yang terpisahkan.
Saya bukan orang yang paham betul tentang agama. Namun, saya tak perlu paham dulu seluruh syariat agama untuk bisa lebih ramah, lembut, dan sayang pada orang lain, terlebih orang di sekitar saya. Pun tak perlu saya membaca teori dari filsuf X, atau dari psikolog Y, untuk sampai pada kesimpulan bahwa, “Ya… rasa saling cinta, sayang, kasih, dan damai adalah lebih baik dari kekerasan dan kebencian.”
Ada yang namanya naluri (kata hati), yang dengan sendirinya akan menolak kekerasan (keburukan), dan cenderung menuntun pada kelembutan serta kasih sayang (kebaikan). Sejauh mana naluri itu bisa menuntun pada kebaikan, tentu tergantung tingkat kualitas keimanan dan kesadaran seseorang.
Saya percaya, pada dasarnya fitrah manusia adalah baik. Karena pengalaman saya sendiri, tanpa embel-embel agama, suku ataupun ras, sebagian teman saya yang non Muslim, sebagian lagi mengaku belum ber-Tuhan, lebih ramah dan bahkan menjadi pejuang perdamaian. Saya percaya hal tersebut didorong oleh naluri kebaikan yang lebih memenangkan hati mereka.
Bukankah pesan inti dari salat, puasa, sedekah, mengaji, tak lain adalah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta kepada Tuhan sekaligus kepada sesama makhluk Tuhan?
Dalam keadaan salat misalnya, mestinya hati kita akan merasa teduh, damai, dan tentram sebab kita merasa lebih dekat dengan Tuhan. Di sinilah dimensi spiritual itu bekerja. Lalu, bagaimana bisa orang yang baru saja berada di alam damai (ketika salat) itu tiba-tiba berubah ganas mencaci dan memukul orang di sekitarnya?
Atau jangan-jangan ketika salat, orang semacam itu memang tak mengalami dahsyatnya rasa tenang dan damai? Mungkin hanya rasa biasa-biasa saja, atau bahkan huru-hara yang selalu dipenuhi kebencian? Entahlah.
Yang jelas, mereka yang ibadah formalnya rajin tapi dengan mudah membenci dan melakukan kekerasan fisik dan psikis (melalui lisan dan tangan) layaknya orang yang sekedar melakukan rutinitas seperti makan dan mandi, tanpa mengerti apa dan mengapa dua hal ini perlu dilakukannya.[]