Home » Gagasan » Memahami Homoseksualitas Agar Tidak Kelewat Batas

Memahami Homoseksualitas Agar Tidak Kelewat Batas

4.1/5 (20)

Perbincangan seputar homoseksualitas seolah tak akan pernah ada habisnya, berbagai diskursus yang berkaitan erat dengan tema ini menjadi topik bahasan utama di mana-mana. Meski harus pula diakui bahwa kebanyakan perbincangan itu tidak pernah benar-benar membincang perihal homoseksualitas, ia kerap hanya kepentok pada urusan boleh tidak boleh, halal dan haram. Dalil-dalil yang terdapat dalam agama digunakan laiknya senjata untuk membabat habis homoseksualitas.

Tidak usah diperdebatkan (lagi) perihal sahih tidaknya dalil-dalil tersebut, sebab yang menjadi penting di sini adalah; apakah –jikapun dalil-dalil itu memang sahih­- agama ada hanya untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar saja?

Apakah Tuhan memberikan agama hanya sebagai ‘alat saring’ bagi siapa-siapa yang akan dimasukkan ke dalam surga dan siapa-siapa yang akan dijegal ke neraka saja?

Penolakan terhadap keberadaan LGBT kerap disandarkan pada ayat alquran surat Al-Huud: 77-83. Di sini Allah menceritakan perihal nabi Luth dan kaumnya yang dikenal dengan sebutan kaum Sodom.

Tentang ini, tampaknya baik Yahudi, Nasrani dan Islam memiliki satu sumber yang sama, sebuah kesamaan sumber yang tampaknya menjadi (juga) kesepakatan bersama untuk secara bersama-sama melarang homoseksual.

Dari ketiga agama serumpun itu, dinyatakan bahwa Tuhan akhirnya menghancurkan bangsa Sodom dan Gomorah, anggapan yang selama ini berlaku cenderung meyakini Tuhan nesu karena alasan seksualitas.

Hal ini di kemudian hari menjadi semacam landasan berpikir tentang bagaimana seharusnya homoseksual itu disikapi. Para ulama Islam mulai dari Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abdullah abn Zubair, Abdullah bin Abbas sampai Imam Syafi’I bersepakat untuk menghukumi haram homoseksual.

Kesepakatan di atas juga didasarkan pada pelajaran yang mereka ambil dari kisah kaum Sodom; bahwa belum ada yang pernah diuji dengan dosa yang sangat dahsyat di seluruh alam sebelum kaum nabi Luth. Apa yang terjadi kemudian sudah gampang ditebak, banyak dari ulama-ulama Islam yang ramai-ramai memberi sanksi bagi siapa saja yang ‘ngeyel’ menyukai sesama jenis.

Di antaranya adalah, al Auza’i dan Abu Yusuf, keduanya menghukumi homoseksual setara dengan perbuatan zina, sehingga pelakunya harus dihukum dengan rajam hingga mati (stoning to death).

Ali bin Abi Thalib menghukumi pelaku homoseksual dengan hukuman dibakar dengan api, hukuman jenis ini disetujui pula oleh Abu Bakar. Ibn Abbas malah berpendapat bahwa pelaku homoseksual harus dihukum dengan cara dilempar dari bangunan yang paling tinggi dengan kepala terbalik kemudian disusul dengan batu besar.

Bagi saya, munculnya hukum-hukum seperti di atas disebabkan oleh kesempitan pemahaman tentang kejahatan apa yang sebenarnya dilakukan oleh kaumnya nabi Luth tersebut.

Benarkah mereka dihancurkan Allah karena pilihan homoseksual mereka, ataukah ada sebab lainnya? Hal ini juga merujuk pada hadis nabi yang melarang umatnya untuk melakukan perbuatan seperti yang pernah dilakukan oleh kaum Sodom sebelumnya.

Hadis ini diriwayatkan oleh HR Ahmad dan yang lain dengan sanad yang sahih.

“Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth, Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth, Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth.”

Tapi ingat, ini juga masih multitafsir. Perbuatan kaum nabi luth yang mana yang tidak boleh ditiru?

Banyak kalangan yang mulai melihat-ulang esensi kisah kaum Nabi Luth ini dengan pola pandang yang berbeda. Dan hal ini membawa pada kesimpulan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang Nabi Luth dan kaumnya adalah kumpulan ayat-ayat yang berbicara tentang moralitas yang –tentu saja– jauh lebih kompleks dari sekedar seksualitas belaka, bahkan ayat-ayat ini sama sekali tidak membicarakan perihal seksualitas (dalam makna making love).

Jika pun ternyata ada ayat yang nyerempet pada pemaknaan seks, maka seks yang dimaksud adalah seks dengan kekerasan, seperti pemerkosaan, sodomi, pelecehan seksual, dll. Juga tentang ketidakpatuhan kaum itu dan berbagai tindak kejahatan lain yang mereka lakukan.

Singkatnya, Allah menghukum kaum Nabi Luth ini karena banyak alasan lain di luar isu homoseksual sebagaimana yang dipahami selama ini.

Dalam banyak kajian keislaman terdapat banyak sekali ‘gaya’ pengharaman terhadap homoseksualitas. Hal ini dapat dipahami karena hukum yang ditimpakan atas pilihan homoseksual merupakan produk hukum yang muncul pada masa-masa awal penyebaran Islam, yakni hukum yang terbentuk di tengah-tengah konteks perang.

Hukum yang keluar saat itu, karenanya, cenderung fungsionalis; diperbolehkannya sesuatu (halal) asal berfungsi dalam memberikan keuntungan, dan tidak diperbolehkannya sesuatu (haram) selama ia tidak memiliki fungsi atau bahkan merugikan.

Dalam banyak kajian disebutkan bahwa homoseksual saat itu diharamkan sebab ia dipandang sebagai sebuah pola seksualitas yang tidak memberikan ‘keuntungan’, hal ini tentu masih dalam kerangka fungsionalis tadi.

Seks yang dianggap ‘benar’ saat itu adalah seks yang dilakukan dengan lawan jenis, sebab hal ini dapat memberikan kemungkinan terbesar (bukan kepastian loh ya) terhadap kehamilan dan kelahiran manusia baru.

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?

Bahkan saat itu, lelaki diijinkan untuk ‘berkreasi lebih’ dengan menikahi lebih dari satu perempuan, dan bukan sebaliknya.

Alasan lain yang sepertinya terlalu dipaksakan untuk mengharamkan homoseksual adalah menyamakan homoseksual dengan tindakan zina. Hal ini tentu bermasalah, zina diartikan sebagai perilaku seksual yang terjadi diluar pernikahan.

Sementara itu, masalah besar untuk homoseksual di Indonesia adalah; bukannya mereka tidak mau menikah, tetapi negara tidak pernah mau memfasilitasi hak bahagia mereka. Nikah dilarang, tidak nikah tetap diancam.

Siksaan yang paling menjijikan untuk homoseksual adalah stigma buruk yang mengira mereka sebagai penyebab HIV-AIDS. Banyak masyarakat yang meyakini (secara salah) bahwa virus mematikan ini merupakan kutukan Tuhan bagi para Homoseksual.

Sehingga, jika terdapat seorang homoseks yang mengidap virus ini, maka masyarakat akan dengan mudah mengartikannya sebagai adzab Tuhan. Karena itu, satu-satunya cara untuk selamat dari virus mematikan ini adalah bertobat. Loh! Orang sakit kok malah disuruh bertobat, bukannya berobat?

Hal ini sama salahnya dengan guru sekolah yang meminta muridnya yang sakit untuk menulis surat ijin tidak masuk. Yang benar itu adalah, yang sakit harusnya berobat, baru nanti setelah sembuh, masuk kembali ke sekolah dengan membawa surat keterangan dari dokter yang merawatnya. Sakit kok disuruh bikin surat!

Tuduhan di atas tentu hanya sebatas stigma dan bukti ketidaktahuan, karena kerap kali ketika HIV-AIDS menimpa masyarakat non-homoseksual, masyarakat berubah haluan dengan tidak lagi menyebutnya sebagai “kutukan”, tetapi “ujian tuhan”.

Mungkin mereka yang menyebar tuduhan tersebut belum membaca laporan Ditjen PP& PL DEPKES RI yang menunjukkan bahwa dari faktor resiko, inveksi HIV masih sama dalam lima tahun terkahir ini, yakni dominan terjadi pada heteroseksual yang pada tahun 2014 saja mencapai angka 8.922, bandingkan dengan homoseksual yang bergelayut pada angka 2.518.

Karenanya, tidak berlebihan untuk menyebut stigma ini sebagai contoh dari perangai sebagian besar masyarakat kita yang terlalu asik dengan kemapanan sebuah kebiasaan yang –sayangnya- tidak pernah dibaca ulang.

Kegagalan lain dalam memahami homoseksualitas terletak pada bayangan bahwa homoseksualitas pasti tentang hubungan seks sesama jenis. Padahal seksualitas jauh lebih kompleks dari sekedar urusan esek-esek itu, terdapat setidaknya empat elemen penting di dalamnya, yakni; orientasi, perilaku, identitas, dan ekspresi.

Akhirnya, hukum haram terhadap homoseksual perlu dikaji lagi, terutama dengan sudah adanya berbagai kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa homoseksual bukan penyakit, aib, apalagi kutukan.

Beberapa kajian tersebut antara lain; G.H. Hamer dan P. Copeland, dalam. The science of desire (1994), Simon LeVay, dalam. Queer science: the use and abuse of research into homosexuality (1996), Vernon, A. Rosario (ed.), dalam. Science and homosexualities (1997).

Atau bisa juga berkenalan dengan hasil penelitian Prof. Henry Benyamin dari Amsterdam Hospital Belanda, yang menemukan bahwa pola otak waria cenderung menyerupai milik wanita; ukurannya kecil, warnanya terang dan jumlah neuronnya sedikit.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.