“Dalam serangan yang diberkati itu, Allah telah memudahkan faktor-faktor untuk memperoleh taufik-Nya. Sekumpulan orang beriman dari tentara khilafah yang dimuliakan dan diberi pertolongan oleh Allah, telah berangkat ke medan perang. Mereka menyasar ibu kota negeri lacur dan hina, sekaligus pembawa bendera Salib di Eropa (Paris). Mereka sekumpulan pemuda yang memilih untuk menceraikan dunia dan menghadapi musuh demi mengharap syahid di jalan Allah, dalam rangka menolong agama, Nabi, para wali-Nya, serta menghinakan musuh-musuh-Nya. Mereka percaya (akan janji) Allah—kami meyakini demikian—sehingga Allah pun memberi mereka kemenangan dan membuat hati para Salibis gentar dan gemetar dengan luka yang menoreh negeri mereka.”
IslamLib – Kalimat di atas adalah penggalan paragraf kedua dari keterangan tertulis yang dirilis ISIS sehari pasca Tragedi Paris, Jumat (13/11) lalu. Mereka mengaku bertanggung jawab atas serangan membabi buta yang merenggut 129 nyawa tersebut. Belum habis duka di Paris, teror kembali menghantam kemanusiaan di Mali, tepat seminggu setelah tragedi Paris. Sedikitnya 20 nyawa melayang akibat teror dengan modus penyanderaan itu. Kali ini, kelompok al-Qaeda pasang badan.
Terlepas benar tidaknya klaim bahwa merekalah dalang di balik horor itu, dari separagraf keterangan yang dibuka dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu kita bisa menangkap tiga hal yang senantiasa menjadi landasan aksi teror kebanyakan para ekstremis: (1) Kebencian terhadap Barat dan Kristen; (2) Pengharapan surga melalui “bom syahid”; dan (3) Keyakinan bahwa Allah merestui aksi mereka.
Di atas itu semua, ada satu hal ganjil yang jika kita resapi benar-benar, terasa seperti kerikil di kepala: pencatutan nama Tuhan. Sebagaimana lazim terjadi dalam kasus-kasus kejahatan, pencatutan sebuah nama besar dilakukan sebagai back up untuk memperoleh legitimasi tindak kejahatan yang sedang dilakukan, atau mendongkrak superioritas di hadapan si korban, sehingga kejahatan yang dimaksud dapat berjalan mulus.
Dicatutnya nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla oleh oknum yang diduga pimpinan dewan dalam upaya perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia baru-baru ini, adalah contoh yang baik dalam kasus ini. Tentu saja, Presiden dan Wapres marah namanya dicatut.
Nama Tuhan, nyatanya, juga tak luput dari pencatutan. Bahkan, itu terjadi di nyaris setiap episode tragedi kemanusiaan yang dilakukan kelompok jihadis ekstrem macam ISIS. Jika bukan firman-firman-Nya yang disitir, maka pastilah nama-Nya yang diseret-seret sebelum mengeksekusi para korban. Atas nama Tuhan, demi Tuhan, untuk Tuhan. Di kasus Paris, pengakuan saksi mata yang melihat pelaku teror di gedung konser Bataclan memekikkan kalimat “Allahu Akbar” sebelum memberondongkan pelurunya ke khalayak secara acak sehingga menyebabkan 80 orang meregang nyawa, adalah contoh terdekat yang bisa kita simak.
Seberingas itukah wajah Tuhan, sehingga nama dan firman-firman-Nya bisa dicatut sebagai pembenaran tindakan barbar di luar batas kemanusiaan? Benarkah Tuhan “terlibat” dalam semua aksi brutal itu? Untuk menjawab ini, ada baiknya kita mengkajinya dari sudut pandang al-Asma al-Husna (Nama-nama Allah yang Baik).
Dalam al-Asma` al-Husna, Allah memperkenalkan diri-Nya untuk pertama kali sebagai ar-Rahman (Sang Maha Pengasih). Kita patut bertanya, mengapa Allah memilih ar-Rahman sebagai nama pertama dalam susunan 99 nama-Nya, padahal kita juga tahu Dia memiliki nama-nama lain yang identik dengan keperkasaan dan kekuatan seperti al-Qawiy (Sang Maha Kuat), al-Jabbar (Sang Maha Memaksa) atau al-Muntaqim (Sang Maha Membalas Dendam)? Mengapa pula nama ini yang dianjurkan untuk kita sebut sebelum memulai segala sesuatu (dalam basmalah)?
Ini bisa kita maknai, pada dasarnya Allah memang lebih menyukai cinta dan kasih sayang bagi seluruh entitas ciptaan-Nya, alih-alih kemarahan dan ancaman. Dia lebih ingin dikenal dengan cinta kasih-Nya dibanding murka dan azab-Nya. Bagi Allah, tak ada yang lebih besar nilainya daripada cinta-Nya, bahkan jika dibandingkan dengan seluruh isi semesta, termasuk surga. Sikap kasih sayang lebih dikedepankan Allah dibanding sikap marah, bahkan terhadap hamba-hamba-Nya yang “bengal” sekalipun.
Hal ini selaras dengan firman Allah yang dikutip Nabi dalam hadis qudsi, “Sesungguhnya kasih sayang-Ku mendahului kemarahan-Ku.” (Muttafaq ‘Alaih). Gagasan Ibnu Arabi (1165-1240 M), sufi-filsuf yang lahir di Spanyol, soal nama-nama Allah juga sangat menarik dicermati. Dalam karyanya berjudul Syarh Asma`illah al-Husna, sufi yang dikenal dengan teori wahdatul wujud dan manifestasi Tuhan di alam ciptaan itu menyatakan, nama-nama Allah tidak hanya dimiliki oleh-Nya secara eksklusif. Para hamba-Nya juga boleh menyandang dan menginternalisasikan (takhalluq) nama-nama itu ke dalam diri mereka.
Nama Allah “ar-Rahman” (Sang Maha Pengasih), misalnya. Manusia, menurut Ibnu Arabi, juga bisa disebut “sang maha pengasih” jika dia menginternalisasikan nama ini dalam dirinya dengan cara “mengasihi semua makhluk Allah tanpa diskriminasi dan perbedaan. Kasih sayang itu berlaku umum, tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat.” Artinya, manusia dapat mencapai derajat paling tinggi sifat pengasih, namun sifat “maha pengasih” itu sesuai kadar keterbatasannya sebagai manusia, bukan sebagai Tuhan.
Dari sini, kita dapat menarik benang merah sebagai jawaban atas pertanyaan di atas: yang dilakukan para teroris itu tak lain hanyalah sekadar mencatut-catut nama Tuhan demi memuaskan nafsu hewani mereka. Bagaimana mungkin mereka menyitir kalimat Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang, sementara yang mereka lakukan sama sekali bertentangan dengan kasih sayang itu sendiri? Sungguh, Tuhan sepenuhnya terbebas dari tuduhan keji itu.
Lantas, murkakah Tuhan dicatut nama-Nya? Sayangnya, Tuhan tak kasat mata. Kalaupun Dia murka, kita tidak bisa memastikan apakah kemurkaan-Nya itu akibat nama-Nya yang disalahgunakan atau karena hal lain. Yang jelas, para pelaku teror tidaklah mendapat bagian dari cinta Tuhan. Apalagi jika yang diinginkan hanyalah semata masuk surga lewat jalan pintas “bom syahid”. Apa yang mereka lakukan tak lebih dari sekadar klaim cinta sepihak. Setidaknya menurut teori mahabbah-nya Syekh Abdul Qadir Jailani.
Dalam buah karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani, begawan sufi kelahiran Jailan, Persia, ini mengklasifikasikan pertalian cinta antara hamba dan Tuhan ke dalam sedikitnya dua kategori: al-muhibb (si pecinta) dan al-mahbub (si tercinta).
Menurutnya, al-muhibb adalah derajat yang lebih rendah dibanding al-mahbub. Sebab, si pecinta tidak otomatis menjadi si tercinta, apalagi jika perilakunya tidak disukai oleh pujaan hatinya. Lain halnya dengan si tercinta, dia otomatis akan mendapatkan hal-hal istimewa dari yang mencintainya, meskipun mungkin dia tidak menginginkan itu semua. Si pecinta (al-muhibb) masih harus diuji bukti cintanya, sedangkan si tercinta (al-mahbub) diberi bukti. “Pecinta dikekang, sedangkan orang yang dicintai dibebaskan,” begitu kata sang Sufi.
Para pelaku teror, dalam hal ini, masuk dalam kategori pertama: al-muhibb (si pecinta). Mereka mendaku sebagai orang-orang yang mencintai Tuhan dan membela agama-Nya, tetapi sayangnya, cinta yang mereka ungkapkan melalui aksi-aksi horor terhadap orang-orang tak berdosa itu “ditolak” Tuhan karena bertolak belakang dengan kasih sayang-Nya yang meliputi segala sesuatu (QS. al-A‘râf: 156).
Oleh karena itu, rasanya mereka patut mengasihi diri mereka sendiri. Sebab, mereka sejatinya adalah sekumpulan para jones (jomblo ngenes) kesepian yang cintanya bertepuk sebelah tangan, yang lantaran terbakar cemburu buta, menembaki orang lain lalu bunuh diri! Dan kita semua tahu, tak ada yang lebih menyedihkan dari orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Mesakne.