Home » Gagasan » Mengelola Kehidupan Beragama di Indonesia
Kementerian Agama RI (Foto: islamlib.com).

Mengelola Kehidupan Beragama di Indonesia

3.75/5 (4)

IslamLib – Pernyataan yang sering diulang-ulang Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, dalam pidatonya adalah: Benar bahwa tugas negara melayani kebutuhan kehidupan beragama dan berkeyakinan yang dianut oleh warga negara. Namun pertanyaannya, ketika agama dan kepercayaan tersebut masuk ke dalam ruang publik negara, siapa yang seharusnya mendefinisikan agama untuk keperluan administrasi? Dan batas-batas toleransi seperti apa yang harus dibangun dalam rangka pengelolaan agama dan keyakinan yang majemuk, dengan semangat yang tidak saja setara namun juga berkeadilan?

Beranjak dari pertanyaan paradigmatik Menteri Agama tersebut, setidaknya ada dua hal penting yang dapat diapresiasi.

Pertama, pemerintah melalui Kementerian Agama yang diberikan kewenangan mengelola keberagaman agama, tidak lagi bersikap defensif dalam merespon berbagai kepentingan kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.

Kedua, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, bersedia membuka peluang menegosiasikan kembali tata kelola keberagaman agama dan keyakinan yang merupakan fitur dasar dari demokrasi.

Meminjam kerangka teoritis John Rawls (1997) dan An-Na’im (2007), maka respon positif Menteri Agama untuk “merenegosiasi” tata kelola kehidupan beragama dan berkeyakinan harus diletakkan dalam ruang publik untuk diperdebatkan secara serius dan rasional.

Menegosiasi ulang tata kelola kehidupan beragama dan berkeyakinan bukan berarti memisahkan agama dengan negara sebagaimana dalam pengertian sekularisme klasik. Karena sekularisme seperti itu ternyata, selain bukanlah hal yang intrinsik dalam demokrasi, tetapi juga mengundang penolakan keras dari mayoritas masyarakat yang masih membutuhkan agama.

Menyelami persoalan. Selama ini tata kelola agama di Indonesia dibangun dalam kerangka pemikiran “Hurgronjesian”. Baik rezim Orde Lama maupun Orde Baru, meletakkan agama bukan menjadi sumber spiritual terdalam seorang hamba kepada Tuhannya, melainkan lebih sebagai alat politik untuk saling mengintervensi dan menguasai. Akibatnya negara tidak bisa netral terhadap agama-agama karena berbagai alasan politik.

Hubungan saling mengintervensi dan menguasai tersebut terlihat jelas dalam sejarah pertarungan sengit antara para pendiri bangsa tentang dasar negara, hingga bermuara pada pembentukan Kementerian Agama pada 3 Januari 1946.

Sebagaimana diketahui bersama, Kementerian Agama memiliki hubungan genealogis dengan “Kantoor Van Inlandsche Vor Zaken”, usulan Snouck C. Hurgronje yang dilanjutkan oleh Jepang dalam “Sumubhu” dan “Sumuka”atas usulan Ono Shinji dalam bingkai penjajahan atas liyan.

Dua nalar yang dibangun melalui kantor urusan agama, yang kelak menjadi Kementerian Agama, adalah: pertama, politisasi agama, terutama agama yang dianut oleh mayoritas, untuk menjinakkan gerakan yang mungkin muncul dan mengancam pemerintahan. Kedua, untuk kepentingan “mengadministrasi” agama-agama.

Persoalannya, dalam fungsi administrasi agama-agama, negara bukan hanya mengatur agama sebatas persoalan administratif, melainkan membangun “politik pendisiplinan”.

Negara telah membangun standar agama yang disiplin dan tidak disiplin berdasarkan pada kerangka berfikir kelompok “mainstream”. Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur apakah suatu keyakinan dapat disebut agama atau tidak, semuanya berpijak pada nalar “Abrahamic Religion“.

Oleh karena standar disiplin atau tidak disiplin suatu agama berdasarkan nalar Abrahamic Religion, maka sistem keyakinan yang tidak menggunakan standar tersebut, seperti keyakinan lokal misalnya,  tidak dapat disebut sebagai “agama”.

Konsekuensinya kemudian, agama dan kepercayaan lokal ini mendapat perlakuan diskriminatif, bahkan memperoleh stigma menyimpang dan sesat. Dari sinilah sesungguhnya akar permasalahan keberagamaan di Indonesia itu bermula.

Wujud renegosiasi tata kelola agama. Menegosiasi ulang tata kelola agama penting demi membangun iklim demokrasi yang harmonis di tengah masyarakat agama yang beragam. Tentunya tidak ada satu rumusanpun tentang tata kelola agama yang benar-benar jitu dan dapat diterima setiap kelompok.

Demikian halnya dengan membubarkan Kementerian Agama, selain bukanlah kebutuhan mendesak, tetapi juga akan kontra-produktif bagi bangsa Indonesia dan sejarahnya.

Sebagai sebuah perspektif, bebarapa tawaran yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah: Pertama, meninjau ulang pengertian agama dan keyakinan itu sendiri. Mengartikan agama sebagai A=tidak dan gama = kacau, serta menjadikan “Abrahamic Religion” sebagai satu-satunya standar diakuinya sebuah agama, selain tidak memiliki rujukan yang memadai, tetapi juga bias nalar kolonialisasi.

Kedua, perubahan struktur dalam tubuh Kementerian Agama juga perlu dilakukan. Pemisahan dirjen atau pembimas berdasarkan agama-agama harus dikaji-ulang. Karena hal tersebut hanya memperlihatkan sikap negara yang masih tidak netral memperlakukan keberagaman agama di negara ini. Sebagai gantinya, dirjen-dirjen tersebut cukup dirampingkan dalam satu wadah, yakni Dirjen Kerukunan Antar Umat Beragama.

Selain itu, dirjen-dirjen yang bias kepentingan agama mayoritas, perlu juga untuk direkonstruksi. Dirjen yang selama ini khusus mengurusi haji, diubah menjadi Dirjen Urusan Ziarah Tanah Suci (Pilgrimage), misalnya.

Dengan demikian, negara melalui Kementerian Agama, tidak lagi terkesan hanya bagi-bagi uang untuk agama-agama yang dianut secara mayoritas, sebagaimana kita lihat selama ini.

Ketiga, dua kemungkinan yang paling rasional dan dapat memenuhi rasa keadilan umat beragama dan keyakinan di Indonesia adalah: Menuliskan seluruh agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali atau; menghapuskan sama sekali kolom agama dalam kartu tanda penduduk.

Tawaran penghapusan kolom agama di KTP adalah pilihan yang paling mudah dan efektif. Sebab kolom agama dalam KTP selain tidak memberikan banyak manfaat, justru akan kontra produktif untuk daerah-daerah yang masih menyimpan potensi konflik berbasis agama dan keyakinan.

Keempat, jika memang agama dan keyakinan masih dianggap sebagai urusan penting yang harus ditangani negara, maka keduanya harus dikelola dalam satu atap, yakni dalam naungan Kementerian Agama.

Selama ini, sering kita lihat kementerian-kementerian lain, di luar Kementerian Agama, masih saja sibuk mengurus agama. Padahal wilayah kerja kementerian-kementerian ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan agama. Jika begitu, maka pertimbangan agama sudah harus lepas dari berbagai kebijakan yang dicanangkan oleh kementerian-kementerian tersebut.

Masalah lainnya, selama ini agama-agama resmi diurus oleh Kemenag, sementara agama-agama yang dianggap tidak resmi berada dalam tanggung jawab Kemendikbud. Ini juga urusannya menjadi sangat kompleks, karena kemudian melibatkan kepolisian dan Bakorpakem, yang semuanya sarat dengan nalar diskriminasi.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.