Home » Gagasan » Mengkaji Kembali Waktu Pelaksanaan Haji

Mengkaji Kembali Waktu Pelaksanaan Haji

3.95/5 (20)

IslamLib – Pelaksanaan haji tahun ini diwarnai banyak insiden, pertama musibah jatuhnya Crane di Masjid al-Haram, dan, kedua, musibah banyaknya jemaah meninggal di Mina. Bukan hanya tahun ini saja sebenarnya. Setiap tahun nyaris sama. Berjubelnya ribuan bahkan jutaan manusia pada waktu dan tempat yang sama, tentu rentan mengakibatkan insiden demi insiden.

Menarik membaca gagasan brilian kyai NU, Masdar F. Mas’udi, di web ini (Baca: “Masdar F. Mas’udi: “Waktu Pelaksanaan Haji Perlu Ditinjau Ulang”). Pandangannya sangat relevan; berlandaskan langsung pada ayat al-Quran. Menurut Masdar, anjuran al-Quran dalam hal ini sangat jelas, yakni “al-hajj asyhurun ma’lûmât” (waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah ditentukan). Al-Quran menggunakan kata asyhur (bulan-bulan), bukan ayyam (hari-hari).

Ada permasalahan yang oleh mayoritas umat menjadi alasan keberatan dengan gagasan itu, dengan “logic” sebagai berikut. Pertama: ritual haji berpedoman pada manasik (tata cara) yang diajarkan oleh Nabi sebagaimana bunyi hadis: “Hendaklah kalian mengambil manasikku.” (Hadis riwayat Muslim, 4/79). Kedua: Ada sabda Nabi berikut ini: “Haji adalah Arafah (wukuf di Arafah).” (Hadis riwayat Tirmizi, al-Nasa’i, dll.). Ketiga: Nabi melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Pokok soalnya ada di poin ketiga di atas. Mayoritas berpendapat: Oleh karena Nabi melakukan wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah, maka wukuf di Arafah harus dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah juga, sesuai dengan “sunnah fi’liyyah” atau tindakan Nabi. Di sini sumber permasalahannya.

Pertama, apakah ada perintah langsung dari Nabi bahwa wukuf harus dilaksanaan pada tanggal 9? Kita simak bunyi hadis lengkapnya:

“‘Ya Rasulallah! Bagaimanakah haji itu?’ Maka, Rasul menjawab, ‘Haji itu adalah Arafah (wukuf di Arafah). Barang siapa datang sebelum salat Subuh dari malam jama’ (malam Muzdalifah yang mengumpulkan semua jamaah haji di sana) maka sempurnalah hajinya. Hari Mina itu adalah tiga hari. Barang siapa ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari maka tiada dosa baginya. Dan, barang siapa ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya.’ Kemudian beliau menyuruh seorang laki-laki berdiri di belakangnya dan menyerukan hal itu.” (Hadis riwayat Tirmizi, al-Nasa’i, dll.).”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan al-Hakim pun disebutkan, bahwa “Haji adalah Arafah”. Menurut al-Hakim, “Hadis ini sahih, sekalipun Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Pada hadis sahih tersebut tidak disebutkan tanggal kapan persisnya wukuf di Arafah itu mesti dilakukan.

Kedua, pemahaman bahwa wukuf harus jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada logika deduktif: bahwa manasik haji harus berdasarkan ajaran Nabi yang menegaskan bahwa haji adalah Arafah. Oleh karena Nabi melaksanakan wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, kesimpulannya: Wukuf harus jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Logika deduktif tersebut benar, tetapi memiliki permasalahan mendasar. Mari kita bertanya lagi: Berapa kali sesungguhnya Nabi berhaji? Pertanyaan ini penting untuk mengkaji mengenai sunnah Nabi dalam berhaji. Ada perbedaan di kalangan ulama perihal ini.

Pendapat Pertama, berdasarkan penelusuran ahli sejarah, Nabi melakukan haji hanya sekali saja. Nabi melaksanakan haji pada tahun 10H/632M. Itulah haji yang dikenal dengan haji wada’ (haji terakhir/perpisahan, karena tidak lama setelah itu Nabi wafat).

Hal itu dapat dilihat dalam hadis: “Abu Ishaq bertanya kepada Zaid ibn Arqam, “Berapa kali kamu berperang menyertai Rasulullah saw?”. Dia menjawab, “Tujuh belas kali”. Kemudian Zaid ibn Arqam bercerita bahwa Rasulullah saw berperang sembilan belas kali dan berhaji sekali setelah beliau berhijrah, yaitu haji wada’. Abu Ishaq berkata, “Wa bi-makkata ukhra” (Hadis riwayat Muslim).

Pendapat kedua, Nabi mungkin melaksanakan haji lebih dari satu kali dan tidak hanya di bulan Dzulhijjah. Kenapa disebut “mungkin”? Simak fakta sejarah berikut. Ada banyak kemungkinan untuk memahami kalimat “wa bi makkata ukhra” pada hadis di atas. Salah satunya, ia bermakna: “Haji yang lain ketika di Mekah”. Artinya, ada kemungkinan Nabi melaksanakan haji sebelumnya saat masih di Mekkah. Jika kita runut sejarah, sebelum haji wada’ itu, Nabi tidak pernah melakukan haji pada bulan Dzulhijjah.

Atau, jika hadis itu kita terima dan kita setuju bahwa Nabi pernah berhaji di Mekah, ini membuka ruang lebih lebar bagi kemungkinan tafsir bahwa Nabi melaksanakan haji di luar bulan Dzulhijjah. Kenapa? Karena, masyarakat Mekkah biasa berhaji pada bulan Dzulqa’dah sesuai dengan tradisi mereka yang sudah turun-temurun, bukan di bulan Dzulhijjah (seperti diceritakan oleh al-Azraqi dalam Akhbar Makkah).

Selain itu, menurut Ibn Hajar Al-Asqallani dalam Kitab al-Hajj wa al-Umrah, mayoritas ulama berpendapat bahwa perintah haji didasarkan pada ayat yang turun di Madinah (setelah hijrah) pada tahun 6 H/628 M. Sementara Nabi melaksanakan haji pada tahun 10 H/632M. Dengan kata lain: empat tahun setelah turunnya ayat yang memerintahkan haji.

Sesungguhnya, pada tahun 6 H, Nabi dengan disertai oleh 1500 (ada yang mengatakan 1400) sahabat, sudah berangkat pergi ke Mekah untuk melakukan haji. Tetapi batal, karena dihadang oleh sebagian penduduk Mekah. Kemudian terjadilah peristiwa yang disebut Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu isinya: Nabi dan para sahabatnya tak diizinkan masuk ke Mekah pada tahun itu, melainkan pada tahun berikutnya.

Setelah Perjanjian Hudaibiyah (tahun 6 H) itu, Nabi melaksanakan “haji” dari tahun 7 hingga 8 H. Nabi melaksanakannya tidak pada bulan Dzulhijjah, melainkan pada bulan Dzulqa’dah. Namun para ahli sejarah tak menyebutnya “haji”. Mereka menyebutnya umrah. Ada umrah yang dilakukan Nabi pada tahun 7 H, dan  disebut umrah hudaibiyah, merujuk kepada isi kesepakatan dalam Perjanjian Hudaibiyah di atas. Hanya saja, para ahli sejarah tak menyebutkan dengan rinci bagaimana ritual umrah yang dilaksanakan Nabi pada bulan Dzulqa’dah tersebut.

Pada tahun 8 H, setelah berhasil menaklukkan kota Mekah (disebut fathu Makkah), Nabi pun –dalam rekaman sejarah yang kita baca– melakukan umrah di bulan Dzulqa’dah. Lagi-lagi, tidak disebutkan dengan rinci  seperti apa ritual umrah Nabi itu. Jika saja ada informasi detil mengenai ritual “umrah” yang dikerjakan  Nabi pada bulan Dzulqa’dah di dua tahun tersebut, kita tentu bisa mengetahui dengan pasti, apakah yang dilaksanakan Nabi itu umrah atau haji.

Adapun pada tahun 9 H, haji berlangsung tetapi tanpa disertai Nabi. Nabi mengutus para sahabat dengan dipimpin oleh Abu Bakar.

Ketiga, tanggal berapakah Nabi berangkat ke Mekkah untuk berhaji, setelah menerima wahyu mengenai haji pada tahun 6 H di atas? Nabi berangkat ke Mekah beserta para sahabat pada tanggal 6 Dzulqa’dah.  Bukan pada bulan Dzulhijjah (seperti diabadikan dalam The Cambridge History of Islam). Berbeda dengan pelaksanaan haji Wada pada tahun 10 H, di mana Nabi berangkat dari Madinah pada akhir Dzulqa’dah dan sampai di Mekkah pada awal bulan Dzulhijjah.

Berapa harikah perjalanan dari Madinah ke Mekkah? Empat malam. Itu diketahui dari penuturan Ibn Abbas pada saat menceritakan proses haji wada’. Menurutnya, perjalanan Nabi dan rombongan dari Madinah ke Mekah menempuh waktu empat malam seperti dituturkan oleh Al-Asqallani dalam Kitab al-Hajj wa al-Umrah.

Dengan informasi seperti itu, kita bisa mengatakan bahwa Nabi berangkat pada tanggal 6 Dzulqa’dah, menempuh perjalanan selama empat malam, dan sampai di Mekah pada tanggal 10 Dzulqa’dah. Dengan demikian, Nabi memberikan contoh pelaksanaan haji bisa dilakukan pada bulan Dzulqa’dah. Dengan kata lain, Nabi juga pernah melaksanakan haji di luar bulan Dzulhijjah. Namun, prosesi haji tidak jadi karena ada perjanjian Hudaibiyah.

Keempat, konsep miqat zamani. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa miqat zamani (waktu yang sah untuk melakukan haji) adalah pada tiga bulan yaitu Syawal, Dzulqadah, dan Dzulhijjah. Sayyid Sabiq, misalnya, dalam kitab Fiqhus Sunnah, menyatakan secara tegas bahwa ketiga bulan tersebut adalah waktu yang sah untuk melakukan haji.

Namun, konsep miqat zamani yang memberikan ruang sahnya haji dalam tiga bulan ini hanya diterapkan dalam menentukan jenis-jenis haji: yaitu haji tamattu’, haji qiran, dan haji ifrad. Jenis-jenis haji ini adalah pengaturan yang bersifat sangat teknis dan individual yang mengatur aktivitas berihram, tawaf qudum, sa’i, tahallul, tawaf ifadhah — apakah harus didahulukan atau bisa diakhirkan dalam rentang waktu tiga bulan itu. Hanya saja, apapun opsi haji yang dipilih di antara tiga pilihan di atas itu, wukuf tetap harus dilaksanakan di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Pemikiran Kiai Masdar di atas justru ingin menghembuskan pemahaman baru yang lebih segar: yaitu bahwa haji bisa dilaksanakan dalam rentang tiga bulan itu. Dengan memperlebar rentang waktu haji ini, tentu umat Islam akan memperoleh kemudahan. Dengan makin bertambahnya jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun, makin bertambah pula tekanan pada ruang tempat ibadah haji berlangsung, sebab ruang ini kosntan, tidak bisa diperluas. Yang mungkin mungkin diperluas hanyalah waktu haji.

Di sinilah ijtihad Kiai Masdar patut dipikirkan kembali. Sebab ijtihad ini pun juga tidak bertentangan dengan teks-teks yang ada.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.