Home » Gagasan » Menuju Agama Cinta, Bukan Agama Kebencian ala Donald Trump

Menuju Agama Cinta, Bukan Agama Kebencian ala Donald Trump

4.2/5 (54)

Tulisan ini disampaikan pada Pidato Kebudayaan: “Agama Ideal di Masa Depan”  dalam rangka ulang tahun Jaringan Islam Liberal yang ke-15, Jumat, 01 April 2016 di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta.

 

Donald Trump barangkali adalah salah satu tokoh yang paling tidak disukai umat Islam saat ini. Di negaranya sendiri, ia disebut rasis. Pada Desember lalu ia menyerukan pelarangan sementara bagi orang Islam untuk masuk AS. Dalam sebuah wawancara dengan Anderson Cooper (CNN), ia mengatakan: “Saya rasa Islam membenci kita.”  Sikap tegasnya terhadap umat Islam ini dipercaya meningkatkan elektablitasnya menuju pemilihan Presiden. Di berbagai acara kampanye Trump, lazim terdengar hujatan anti Islam dari para pendukungnya.

Tentu saja kita juga mendengar ada begitu banyak pembelaan terhadap Islam dan muslim dilakukan. Salah satu yang mengagumkan adalah apa yang dilakukan sutradara film documenter terkemuka, Michael Moore. Ia menggalang kampanye #WeareallMuslim. Katanya dalam kampanye menentang Trump:

Kamu meminta pelarangan terhadap orang Islam untuk memasuki negara kita. Saya dibesarkan dengan keyakinan bahwa kita semua bersaudara, terlepas dari ras, keyakinan dan warna kulit. Artinya kalau kamu meminta pelarangan atas orang Islam, kamu juga harus melarang saya. Dan juga semua orang. We are all Muslim.

Katanya lagi:

Kita semua adalah anak Tuhan (atau anak alam atau apapun yang kamu percaya), kita semua adalah bagian dari keluarga umat manusia, dan tidak ada satupun kata atau tindakan yang kau lakukan yang dapat mengubah kenyataan ini. Kalau kamu tidak suka dengan aturan-aturan Amerika ini, kamu harus ke luar ruangan dan pergi ke salah satu Menara yang kamu miliki. Duduk saja di situ dan pikirkan apa yang sudah kamu katakan.

Trump bisa saja memainkan sentiment anti Islam sekadar untuk memenangkan pertarungan pemilih presiden. Namun bisa jadi, ini sebenarnya memang dilandasi sikap yang mendasar. Bisa jadi, Trump memang betul-betul percaya bahwa umat Islam membenci Amerika karena ajaran Islam mengajarkan umat Islam membenci bangsa seperti bangsa Amerika.

Trump memang bukan manusia bijaksana. Ia pada dasarnya membenci imigran. Ia pada dasarnya senang melecehkan perempuan. Tapi dalam hal Islam, ada pernyataan-pernyataannya yang mungkin perlu diperhatikan oleh umat Islam dan mungkin sekali sejalan dengan pikiran banyak orang Amerika – bukan saja kaum ‘rednecks’ —  sehingga kampanyenya dengan mudah menarik perhatian para pendukungnya itu.

Pernyataannya tentang Islam sudah dikemukakannya sejak lama. Pada 2011, ia sudah bicara di – tentu saja – Fox News tentang Islam dan masalah Muslim di Amerika.  Dalam salah satu wawancara, ia mengatakan: “Saya tahu sebagian besar orang Islam adalah orang-orang yang baik (‘wonderful people’), namun jelas ada masalah Muslim.”

Ia juga mengatakan: “Al Quran adalah sebuah kitab yang menarik. Banyak orang bilang, Al Quran mengajarkan cinta . . . Namun ada sesuatu di dalamnya yang mengajarkan getaran  yang sangat negative . . . Terus terang saya tidak tahu apakah itu datang dari Al Quran, atau datang dari sesuatu yang lain . . namun saya melihat ada kebencian mendalam di sana yang saya belum pernah lihat sebelumnya.”

Dilihat dari pernyataannya, Trump nampaknya memang percaya bahwa ajaran Islam bermasalah dan ajaran itulah yang menyebabkan orang-orang Islam itu sedemikian membenci Amerika. Hanya saja, ia juga tak bisa sepenuhnya paham untuk menunjuk bagian mana dari Islam yang melahirkan kebencian itu. Ketika ia menyerukan pelarangan orang Islam untuk masuk AS itu, ia menggunakan istlah ‘pelarangan sementara sampai para wakil rakyat kita bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam wawancara dengan Cooper, ia juga mengatakan bahwa yang sebenarnya ia perangi adalah Islam radikal. Namun, katanya lagi, “sulit sekali untuk mengetahui mana yang radikal. Sulit sekali untuk memilah-milah. Karena kita tidak tahu yang mana yang radikal, yang mana yang tidak.”

Saya bukan pecinta Trump. Saya berharap jangan sampai Amerika Serikat  memperoleh seorang presiden baru semacam dia. Tapi pertanyaan dan keingintahuan dia perlu dijawab secara memadai.

Mengapa Islam Penting. Islam adalah sebuah agama yang pemeluknya mengalami pertumbuhan tercepat di dunia. Menurut perkiraan PEW Research, bila saat ini umat Islam hanya merupakan 23,2 persen dari populasi dunia (1,6 miliar), pada 2050 angka ini akan melonjak 73 persen menjadi 2,8 miliar. Pada tahun itu, jumlah penduduk muslim akan hampir sama dengan penduduk Kirtsen.

Masalahnya, apakah pertumbuhan ini merupakan berkah bagi dunia atau sebaliknya? Bila memang di dalam Islam, ada getaran negatif (menggunaka istilah Trump), dan umat Islam adalah kaum yang taat pada ajarannya, perkembangan ini tentu mengkhawatirkan.

Umat Islam memang lazim berargumen bahwa Islam pada dasarnya adalah ajaran yang akan membawa perdamaian bagi dunia. Dalam kerangka argumen ini, Islam adalah agama yang mengajarkan kasih, persaudaraan, kesejahteraan, kesetaraan, keadilan sosial, dan beragam kebaikan lainnya.  Isam adalah rahmat bagi alam. Namun dengan melihat apa yang terjadi di dunia, tak mengherankan bila banyak pihak tidak terlalu terkesan dengan penjelasan itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, berita tentang Islam adalah berita yang menakutkan. Teror atas nama Islam berlangsung di banyak tempat secara berkelanjutan. Yang terakhir terjadi adalah  pembantaian di hari Paskah di Pakistan. Setidaknya 70 orang tewas. Para korban adalah masyarakat sipil biasa, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka dibunuh  karena mereka Kristen.  Mereka sedang merayakan paskah. Dan mereka dibunuh begitu saja.

Kita seringkali berargumen bahwa  dalam kasus-kasus semacam itu, yang bermasalah adalah kaum radikal. Mereka adalah ‘oknum’. Bukan agama yang harus disalahkan. Para pelaku kejahatan kemanusiaan itu adalah kalangan yang mungkin frustrasi, depresi, tertekan dan marah dengan ketidakadilan struktural yang terjadi, dan melampiaskan kemarahan mereka dengan meledakkan diri dan membunuhi orang.

Saya tidak akan membantah sebagian argumen itu. Tapi, benarkah agama tidak punya peran dalam kejahatan ini? Dengan kata lain, tidakkah ada sesuatu dalam Islam yang menyebabkan kekejaman itu lahir? Saya percaya, ada. Dan selama persoalan ini tidak ditangani, agama di masa depan memang akan menjadi kekuatan yang justru menghancurkan dan bukan membangun peradaban.

Jangan salah sangka mengenai saya.  Saya merasa, saya adalah orang yang relijius. Saya percaya pada Tuhan, saya percaya Dia menurunkan Al Quran dan Injil,  saya percaya bahwa Nabi Muhammad dan Nabi isa adalah dua dari banyak utusanNya, saya percaya pada Malaikat, saya percaya pada hari akhir, saya percaya pada takdir. Sebagai seorang muslim, saya sholat, saya berpuasa  saya berzakat,  saya tidak minum alkohol, dan seterusnya.

 Dengan kata lain, saya percaya agama. Tapi pada saat yang sama, saya percaya agama dalam format yang diyakini dalam arus utama saat ini mengandung muatan yang membahayakan. Saya percaya tafsiran sempitt agama adalah  ‘necessary condition’ bagi tindakan kekerasan atas nama agama. Selama kita hanya mencari penjelasan lain di luar agama atas kekerasan atas nama agama, Anda akan gagal menyelesaikan salah satu akar utama kekerasan ini.

Untuk itu saya ingin kembali merujuk pada hasil penelitian PEW Research pada 2013 tentang Islam.

Pada pertengahan 2013, PEW mempublikasikan studi yang dilakukan di 32 negara, baik negara Islam maupun negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ada banyak temuan menarik tentang cara pandang keagamaan kaum muslim di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain dengan spektrum keIslaman berbeda. Dalam kesempatan ini, saya akan memaparkan hanya sebagaian indikator cara pandangan keagamaan kaum muslim di Indonesia dibandingkan Malaysia, Pakistan, Afghanistan dan Turki.

Beberapa temuan yang penting:

  • 72 % muslim Indonesia mendukung pemberlakuan Syariah (dibandingkan dengan Malaysia 86%, Afghanistan 92%, Pakistan 84% dan Turki 12%).

Dari mereka yang percaya pada penegakan Syariah tersebut:

  • 92% di Indonesia menyatakan bom bunuh diri sama sekali tak dapat dibenarkan (Malaysia 74%, Afghanistan 58%, Pakistan 80%, Turki 78%).
  • 45% di Indonesia mendukung hukuman badan (cambuk, potong tangan) terhadap kejahatan seperti pencurian (Malaysia 66%, Afghanistan 81%, Pakistan 88%, Turki 35%)
  • 48% di Indonesia mendukung rajam untuk perzinahan (Malaysia 60%, Afghanistan 85%, Pakistan 89%, Turki 29%).
  • 18% di Indonesia menyetujui hukuman mati bagi mereka yang murtad (Malaysia 62%, Afghanistan 79%, Pakistan 76%, Turki 17%)
  • 93% di Indonesia menyatakan istri harus patuh pada suami (Malaysia 96%, Afghanistan 99%, Pakistan 84%, Turki 12%).
  • 32% di Indonesia menyatakan istri boleh menceraikan suami (Malaysia 8%, Pakistan 26%, Turki 85%)
  • 76% di Indonesia menyatakan hak waris yang setara antara anak perempuan dan pria (Malaysia 36%, Afghanistan 30%, Pakistan 53%, Turki 88%).

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.