Terus terang, saya tidak terlalu percaya dengan angka 76% muslim di Indonesia mendukung pemberlakuan syariah. Saya menduga ini ada kaitan dengan perasaan bersalah bila sebagai muslim, si responden menjawab ‘tidak mendukung pemberlakuan syariah’. Karena itu, saya tidak merasa bahwa data ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia menginginkan syariah. Walau bagaimanapun, data itu tetap menunjukkan bahwa ‘dukungan’ terhadap syariah di Indonesia masih lebih rendah daripada negara-negara seperti Malaysia, Afghanistan dan Pakistan.
Namun yang lebih penting dari itu adalah melihat bagaimana umat Islam memandang praktek-praktek sosial yang dalam kacamata masyarakat modern dipandang sebagai terbelakang.
Data tersebut menunjukkan bagaimana di negara-negara dengan dukungan syariat lebih kuat terdapat pula dukungan tinggi terhadap potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi penzinah dan bahkan hukum mati bagi mereka yang berpindah agama (bayangkan di Malaysia saja ada lebih dari 60 persen yang menyatakan muslim yang pindah agama layak dihukum mati). Demikian pula dengan hak perempuan, di negara-negara yang mendukung syariah, ada pandangan kuat bahwa hak waris anak perempuan seharusnya tidak sama dengan hak waris anak pria.
Saya tidak ingin berargumen bahwa Indonesia lebih beradab. Yang ingin saya katakan, data tersebut mengkonfirmasi bahwa ada sesuatu dalam Islam yang menyebabkan masyarakat yang menunjukkan tendensi menjadi lebih Islam akan cenderung menunjukkan kecenderungan ke arah lebih tidak menghargai hak-hak asasi manusia.
Pertanyaannya adalah, mengapa kecenderungan itu terjadi? Menurut saya, mereka yang menyatakan bahwa mereka yang murtad itu layak dihukum mati, atau mereka yang berzinah itu pantas dirajam. atau istri harus mendengar apa kata suami, memiliki pandangan semacam itu karena merasa bahwa Tuhan atau Nabi Muhammad memang mengeluarkan perintah dan ketetapan itu.
Dengan kata lain, pengabaian Hak Asasi Manusia itu dilandasi oleh ajaran Islam.
Indonesia saat ini masih berada dalam tahap yang ‘lumayan’ karena umat Islam Indoensia diwarisi dengan tradaisi keberagamaan yang cenderung rileks dan tidak kaku. Namun bila gelombang purifikasi ‘kembali ke Al Quran dan Sunnah’ menguat, apa yang terlihat berlangsung di banyak negara Islam sangat mungkin akan terjadi di negara ini.
Saya tentu saja percaya pada Al Quran adalah ayat-ayat Allah dan sunnah adalah panduan penting tentang bagaimana Nabi Muhammad hidup dan menjalani kehidupan. Keduanya layak menjadi rujukan. Tapi saya juga tidak percaya keduanya bisa dijadikan sebagai hukum positif untuk mengatur kehidupan masyarakat saat ini.
Harus saya tekankan, saya bukan ahli Islam. Saya bahkan tidak pandai mengaji, kalau itu hendak dijadikan indicator tentang kualitas keberagamaan seseorang. Namun sebagai seorang ilmuwan ‘sekuler’, saya melihat bahwa konsepsi tentang hukum Islam yang diyakini arus utama masyarakat Islam saat ini merupakan salah satu pangkal keterbelakangan Islam untuk memasuki peradaban kontemporer saat ini dan di masa depan.
Hadits. Saya ingin menunjukkan sebuah contoh yang bodoh tapi penting. Tahun lalu, Presiden Jokowi dikritik karena minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri saat memegang gelas di depan anak yatim. Ini dipermasalahkan karena sejumlah pihak merujuk pada hadits yang mengatakan seharusnya umat Islam menggunakan tangan kanan dan duduk pada saat makan dan minum. Bunyi haditsnya: “Apabila kamu makan dan minum, makan dan minumlah dengan tangan kanan, karena hanya setan yang makan dengan tangan kiri.” (HR Muslim)
Para pengeritik bisa saja adalah Jokowi haters. Tapi bahwa hadits itu – yang ternyata kemudian diketahui banyak diperdebatkan – digunakan untuk mempersoalkan cara makan dan minum seorang kepala negara tentu mencerminkan keterbelakangan. Saya menulis di madinaonline dengan bertanya: apa pula alasan untuk mewajibkan seseorang minum dengan tangan kanan?
Serangan terhadap tulisan saya itu datang dari kanan kiri. Di berbagai media sosial, saya dikecam karena dianggap menghina hadits dan Nabi. Berbagai media Islam pun menuliskannya sebagai laporan. Salah satu yang cukup aktif adalah situs Republika.
Sejak hari pertama tulisan itu diluncurkan di madinaonline, wartawan Republika langsung meminta komentar beberapa sumber berbeda, antara lain: Direktur Pusat Kajian Hadits Jakarta, Dr. Ahmad Lutfi Fathullah; Imam Besar Masjid Istiqlal, KH. Ali Mustafa Yaqub dan Bendahara PP Muhammadiyah Anwar Abbas.
Ahmad Lutfi Fathullah menyatakan Allah memang mengatur sampai hal-hal terkecil dan orang yang mengikutinya akan mendapat pahala sementara yang tidak mengikuti hadits “akan lama masuk surga”. Lutfi juga menyatakan mereka yang berulangkali mengabaikan hadits, dapat dikategorikan sebagai inkarus sunnah (penolak hadits). KH Ali Mustafa Yaqub hanya menyatakan bahwa hadits itu sahih.
Bendahara PP Muhammadiyah Anwar Abbas menyatakan bahwa kalau ada hukum Allah yang tidak bisa dipahami manusia, itu mungkin terjadi karena keterbatasan akal manusia. “Jadi persoalannya bukan ayat atau haditsnya yang salah, melainkan akal manusia yang belum mampu memahaminya,”ungkapnya. Karena pernyataan itu Republika menulis judul: “Muhammadiyah Sebut Akal Ade Armando Belum Mampu Pahami hadits”.
Yang ingin saya tunjukkan dari ilustrasi itu adalah masalah yang ditimbulkan ketika hadits-hadits semacam itu dipercaya sebagai bagian dari aturan yang harus dipatuhi oleh umat Islam sampai saat ini. Ajaran itu sangat tidak masuk di akal – masak sih setan makan dengan tangan kiri — dan tak bermanfaat, dan tetap saja para ahli itu harus berargumen untuk menjustifikasi hadits tersebut.
Runyamnya, hadis-hadis semacam itu tersedia banyak. Contoh dari hadis-hadis lain yang dianggap memiliki tingkat kesahihan tinggi)
- “Rasulullah mengutuk laki-laki yang berpakaian seperti wanita dan berpakaian seperti laki-laki”.
- “Lima tuntunan fitrah: khitan, mencukur bulu di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, memotong kumis”.
- “Menguap itu dari setan. Maka apabila seseorang di antara kamu menguap, hendaklah ditahannya sedapat mungkin. Sesungguhnya jika seseorang di antara kau mengatakan ‘ha’ lantaran menguap, tertawalah setan”.
- “Siapa yang tidak mendatangi sautu undangan, sesungguhnya dia mendurhakan Allah dan rasulNya” .
- “Rasulullah mengutuk pembuat tato dan yang meminta ditato”.
- “Rasulullah bersabda: neraka diperlihatkan padaku, di sana aku mendapat kebanyakan penghuninya adalah wanita yang tidak bersyukur. Beliau ditanya: “Apakah mereka kufur terhadap Allah?”. Dia menjawab, “Mereka tidak berterimakasih kepada suami dan tidak berterimakasih atas perbuatan baiknya.”
- “Apabila salah seorang hendak dari kalian sedang sholat, lalu salah satu hendak melewati batas yang ia letakkan hendaklah ia menghadangnya. Apabila orang itu menolak, hadanglah ia dengan tenaga yang lebih keras.”
- “Apabila kamu berkata kepada temanmu di hari Jumat, diamlah! Padahal imam sedang berkhutbah, maka sesungguhnya engkaupun salah”.
- Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.”
- ”Laki-laki mana saja yang murtad, maka ajaklah dia (kembali pada Islam), jika ia tidak mau kembali pada Islam maka bunuhlah ia. Perempuan mana saja yang murtad, serulah ia kembali pada Islam, jika mereka tidak mau kembali, maka bunuhlah mereka.”
Tentu saja banyak sekali hadits lain yang menunjukkan keluasan wawasan dan kebijaksanaan nabi Muhammad. Salah satu contoh yang saya sukai adalah pernyataan Nabi bahwa : “Kalau sebuah urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran.”
Hadits mecerahkan semacam itu banyak tersedia. Namun, masalahnya, ada begitu banyak hadits lain yang terkesan menggelikan seperti yang saya kutip di atas, dan ini dianggap oleh banyak umat Islam sebagai aturan atau bahkan hukum yang harus diikuti sekarang, 14 abad setelah nabi wafat.
Apalagi mayoritas umat Islam juga tak pernah memperoleh penjelasan memadai tentang bagaimana hadits dikumpulkan. Dalam berbagai percakapan, saya mendapat kesan bahwa kebanyakan orang Islam memang menyangka bahwa hadits (dan sunnah) adalah rekaman catatan pernyataan Nabi yang ditulis atas perintah Nabi atau di bawah pengawasan Nabi dan dilakukan semasa Nabi hidup. Padahal sejarahnya sama sekali tidak begitu. Sejumlah hal penting yang perlu diketahui umat Islam, adalah, antara lain:
- Pertama, pengumpulan-penghapalan-pencatatan hadits bukanlah perintah Nabi. Itu adalah inisiatif para pemimpin Islam sesudah Nabi wafat.
- Kedua, mayoritas hadits itu mengandalkan ingatan dan hapalan, bukan bukti tertulis
- Ketiga, itu baru dibakukan lebih dari 200 tahun setelah Nabi atau sahabat meninggal. Artinya hadits itu dibakukan melalui rangkaian sumber lintas generasi.
- Keempat, di masa antara Nabi hidup sampai hadits dibakukan, ada ratusan atau catatan hadits dibakar dan ada hadits-hadits palsu disebarkan oleh berbagai kalangan dengan tujuan politik atau ekonomi tertentu.
- Kelima, dinamika politik turut berpengaruh terhadap proses pengumpulan hadits. Ada hadits palsu yang sengaja dibuat untuk kepentingan pemimpin politik tertentu, misalnya.
- Keenam, hadits sama sekali tidak sakral, hadits tidak terbebas dari kesalahan, ketidakakuratan dan mungkin
- Ketujuh, para editor hadits memang melakukan langkah yang sangat berhati-hati untuk menyertakan atau mengabaikan sebuah informasi ke dalam kitab hadits. Namun tetap harus dicatat, para editor hadits ini pada dasarnya adalah manusia pintar berintegritas yang bisa saja salah. Para editor hadits itu harus dipandang sebagai ilmuwan kredibel yang hebat tapi pada akhirnya adalah manusia biasa. Mereka bahkan bisa saja menyertakan atau tidak menyertakan satu hadits karena alasan kepentingan pribadi atau salah interpretasi atau hal personal lainnya. Apalagi, mereka harus menyeleksi ribuan ‘pernyataan’ Nabi yang diucapkan lebih dari 200 tahun sebelumnya dan sumbernya adalah ingatan orang.
- Ke delapan, dalam hal ingatan, tentu harus dipahami bahwa apa yang terekam dalam memori individu bukanlah sebuah catatan sempurna mengenai apa yang sesungguhnya terjadi.
- Ke sembilan, karena penghapalan hadits itu sebenarnya adalah semacam hasil inisiatif para penghapal dan bukan karena perintah Nabi, sangat mungkin informasi yang terekam dalam hapalan itu tercerabut dari konteks pernyataannya.
Saya menulis panjang di atas untuk menunjukkan betapa bermasalahnya hadis untuk bisa dipercaya sebagai hukum yang harus ditegakkan. Kalau dilihat dari kacamata metodologi ilmu pengetahuan modern, memang tidak pada tempatnya lagi hadits dijadikan sebagai hukum Islam saat ini.
Harus diubah mindset bahwa hadits adalah hukum karena hadits pada dasarnya memiliki begitu banyak kelemahan. Hadits penting untuk dipelajari sebagai rujukan, sebagai panduan, sebagai catatan sejarah. Namun pada saat yang sama, umat Islam harus sadar bahwa proses pembakuan hadits menyebabkan kita seharusnya tidak memandangnya sebagai kebenaran yang tidak terbantahkan.
Kembali ke pokok persoalan semula, menurunkan derajat hadits dari hukum menjadi panduan atau sekadar ilustrasi sejarah biasa menjadi penting dilakukan karena banyak sekali bentuk kekerasan atau penindasan HAM ataupun tindakan anti demokrasi saat ini bersumber dari hadits.
Sebagai contoh, dalam kontroversi LGBT yang berlangsung bulan lalu, Tifatul Sembiring menyebarkan hadits yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk membunuh kaum gay. Bila hadits semacam ini digunakan sebagai hukum, kita bisa bayangkan betapa tidak beradabnya masyarakat yang terbangun dengan hukum semacam itu.
Kembali saya harus ulang, saya tidak anti sunnah dan hadits. Namun untuk menjadikan Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam, hadits tidak bisa lagi dijadikan hukum.
Al Quran. Tingkat keterandalan Hadits ini tentu berbeda jauh dengan Al Quran. Dari apa yang saya pelajari, isi Al-Qur’an adalah ayat-ayat Allah yang diturunkan secara bertahap pada Nabi Muhammad semasa ia menjadi Rasul. Begitu ia selesai menerima wahyu dari malaikat, Nabi – yang buta huruf — akan mengumpulkan orang-orang yang dipercayanya untuk menghapalkan ayat-ayat tersebut atau juga menulisnya secara akurat. Itu yang melahirkan para penghapal Al-Qur’an yang hapal persis isi Al-Qur’an dari ayat pertama sampai terakhir.
Melalui proses itu isi Al-Qur’an terjaga. Begitu di generasi berikutnya ada banyak penghapal Al-Qur’an meninggal, ayat-ayat itu pun dibukukan. Antara lain karena percaya bahwa Allah akan melakukan intervensi suci dengan menjaga kemurnian Al-Qur’an, mayoritas umat Islam percaya, isi Al-Qur’an pada abad 21 adalah identik sama dengan isi Al-Qur’an pada abad ke 7.
Saya pun memiliki keyakinan begitu, saya percaya secara umum apa yang kita baca sebagai teks Quran itu adalah kalimat-kalimat yang disusun Allah. Saya percaya-percaya saja bahwa Nabi Muhammad itu tidak mengedit apa yang disampaikan Allah melalui Jibril.
Saya percaya bahwa Nabi Muhammad kemudian meminta para pengikutnya menghapal agar, dan sebagian lainnya mencatat di berbagai medium, apa yang disampaikannya agar ada mekanisme kontrol terhadap integritas isi Al Quran.
Memang belakangan saya tahu bahwa sebenarnya dalam sejarah Al Quran, ada beberapa versi mushaf Al Quran. Apa yang kita baca sekarang adalah versi yang dinyatakan sebagai versi tunggal menurut Khlaifah Usman bin Affan. Di masa ia memimpin, semua mushaf yang lain dimusnahkan.
Dengan kata lain, penentuan bahwa versi yang terbenar adalah versi yang kita baca saat ini bukanlah ditentukan oleh Tuhan, melainkan seorang penguasa yang tentu saja tidak bebas dari kesalahan. Namun, mengingat adanya tradisi penghapal Al Quran itu, bagi saya nyaman untuk mengamini bahwa (sebagian besar) isi Al Quran itu memang adalah ayat-ayat Tuhan.
Hanya saja percaya bahwa Al Quran itu adalah ayat-ayat Allah berbeda dengan percaya bahwa isi Al Quran itu adalah hukum yang harus diterapkan sepanjang masa. Allah sendiri tidak pernah mengatakan begitu. Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mengatakan begitu. Adalah manusia biasa yang memperlakukannya begitu, sebagai hukum.
Al Quran itu jelas bukan kitab hukum. Kalau Tuhan mau menurunkannya sebagai kitab hukum, ya bentuknya tidak seperti Al Quran yang kita kenal sekarang. Tuhan tinggal menulis, kurang lebih: “Inilah hal-hal terlarang dan hukuman yang harus diberikan kepada para pelanggar hukum.
Satu, dilarang membunuh orang. Hukuman untuk membunuh orang: jiwa balas jiwa. Kedua, membunuh bisa dilakukan kalau untuk mempertahankan diri. Ketiga, yang dimaksud dengan mempertahankan diri adalah …. (mudah-mudahan pada titik ini, Anda sudah paham yang saya maksud).”
Al Quran tidak ditulis dengan cara seperti itu. Kalau Tuhan memang menginginkan Al Quran menjadi kitab hukum, tidak masuk di akal mengapa Dia menuntut umat manusia mencari-cari sendiri hukum yang dimaksud di antara ribuan ayat yang ada.
Al Quran penuh dengan cerita, metafora, pernyataan, doa; sehingga kaum cerdik pandai harus melakukan proses seleksi yang mana memiliki status apa dan bagaimana menafsirkannya. Sebagai ilustrasi sederhana, apa yang dikenal sebagai kutukan Tuhan terhadap LGBT merujuk pada cerita Nabi Luth yang juga tidak sederhana (episode nabi Luth itu muncl secara berulang-ulang di berbagai surat tanpa sebuah narasi utuh yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi).
Dalam Al Quran tidak pernah ada perintah Tuhan tentang bagaimana memperlakukan kaum gay. Yang ada cerita yang sesungguhnya bisa ditafsirkan dengan beragam cara. Masalahnya, cerita itu ditafsirkan oleh kaum ulama arus utama di masanya sebagai rujukan baku pelarangan LGBT dan sejak saat itu diwariskan dari generasi ke generasi.
Al Quran menyajikan beragam cerita yang menarik, memiliki pesan moral tinggi, namun bisa dipertanyakan apakah kisah itu sungguh-sungguh terjadi. Dengan kata lain, kisah nabi-nabi dalam Al Quran itu fakta historis atau sekadar ilustrasi yang dibuat untuk mempermudah penyampaian pesan moral kepada masyarakat buta huruf di tanah Arab di abad ke 7?
Misalnya saja, apa benar Nabi Adam dan Siti Hawa diusir dari surga cuma gara-gara tertipu ular jadi-jadian sehingga makan buah terlarang. Apa benar dia ditipu iblis pada saat malaikat lengah tidak mendampinginya? Pertanyaan lanjutannya, kalau memang nabi Adam dan Siti Hawa yang melakukan kesalahan mengapa pula semua keturunan mereka harus menanggung akibat tidak lagi tinggal di surga hanya karena tindakan tercala orangtua mereka. Kalau begitu, apakah itu berarti kita semua menanggung dosa warisan?
Lantas juga, apa benar Nabi Yunus serius ditelan paus selama tiga hari dan tetap sehat untuk kemudian dikeluarkan lagi? Apa benar Nabi Musa membelah laut? Apa benar Nabi Ibrahim sempat hendak menyembelih anaknya karena diperintah Allah?
Apa benar nabi Sulaiman bisa berbicara pada semut dan bisa memerintahkan jin untuk membawa singgasana Ratu Balqis? Apa benar Nabi Muhammad Isra’ Miraj naik ke langit mengendarai buraq, menyaksikan surga dan neraka, dan menerima perintah Allah?
Kalau ada orang memberitakan bahwa itu terjadi di abad 21, orang itu pasti dianggap sedang meracau. Jadi kalau kita menganggap ini semua tidak rasional, mengapa kita harus percaya bahwa ini pernah terjadi di masa lalu. Kalau ada yang mengatakan, ya itu mukjizat; pertanyannya mengapa saat ini tidak lagi ada mukjizat? Dan kalau memang mukjizat spektakuler itu benar terjadi, segenap bangunan sains yang kita percaya saat ini bisa runtuh dengan sendirinya.
Bagi saya, keakuratan fakta cerita-cerita itu adalah hal yang tidak penting karena Al Quran memang bukanlah buku tentang fakta sejarah. Bagi orang yang belajar ilmu komunikasi, seperti saya, teks adalah ‘tanda’ yang maknanya berada di luar dirinya.
Teks adalah penyederhanaan dari gagasan yang bersifat abstrak. Teks hanyalah cara untuk mempermudah penulis menyampaikan gagasannya. Sebagaimana film Avatar adalah cara James Cameron untuk mengeritik hasrat imperalisme Amerika Serikat, Al Quran adalah cara Tuhan menyampaikan beragam gagasan tentang dunia.
Demikian pula, kalau begitu, Al Quran adalah tidak pernah merupakan kitab hukum. Sebuah teks adalah produk zamannya. Dia mencerminkan kondisi sosial-politik-budaya-ekonomi zamannya. Kita tidak perlu mengecualikan Quran dari prinsip itu. Apapun yang ada dalam Al Quran adalah gagasan-gasan yang perwujudannya dalam teks merefleksikan konteks zaman tersebut.
Begitu umat Islam membaca Al Quran sebagai kitab hukum, di situ masalah dimulai. Sebagai ilustrasi kecil, dengan mengikuti logika bahwa sesuatu yang tidak dinyatakan terlarang berarti boleh, karena Al Quran tidak pernah melarang perbudakan, maka perbudakan menjadi boleh. Begitu pula, karena Al Quran tidak pernah melarang pria dewasa menggauli perempuan di bawah umur, maka menikahi anak kecil menjadi boleh.
Menjadikan isi Al Quran sebagai hukum yang harus ditegakkan sepanjang masa bermasalah karena melalui Quran, Tuhan sedang berbicara kepada komunitas barbarik di jazirah Arab yang mayoritas penduduknya buta huruf, tidak menghargai intelektualitas, sangat patriarkis, mempercayai perang fisik sebagai cara untuk menyelesaikan pertikaian dan memperoleh kekuasaan, memiliki tradisi memperbudak manusia, mengambil pampasan perang dan seterusnya.
Karena itu bisa dipahami Al Quran memang memuat banyak ayat yang bernada penuh kemarahan dan mengandung semangat peperangan. Sebagai contoh, beberapa pekan yang lalu di status FB, sayamemuji apa yang dilakukan Paus Fransiskus dengan mencuci kaki pengungsi muslim di Italia.
Bagi saya, tindakan Paus itu mencerminkan rasa persaudaraan antar umat manusia. Tanpa saya sangka, seseorang menulis di wall FB saya, dengan menyatakan apa yang dilakukan Paus itu haram karena “kaum musyrik adalah najis”. Ia kemudian merujuk pada At Taubah (28).
Keriuhan kontroversi tentang memilih pemimpin kafir di DKI sebagaimana terjadi saat ini juga merupakan buah cara memandang Al Quran sebagai kitab hukum. Para penolak Ahok berkeras bahwa ayat Al Quran (QS Al Ma’idah: 51) yang memerintahkan agar orang beriman tidak mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
Kalau Anda percaya Al Quran adalah hukum Tuhan maka Anda memang harus mempercayai hak waris perempuan adalah setengah dari pria karena surat An Nisa (11-12), mengatakan begitu. An Nisa (34) juga menyatakan kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.
Tapi kalau Anda percaya memang ayat Quran itu harus dipatuhi, Anda juga harus mengakui hak seorang majikan untuk berhubungan seks dengan hamba sahayanya karena Al Mu’minun (1-6) mengatakan: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman yaitu orang yang khusyuk dalam salatnya, . . dan orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki”. (Tidakkah kita sekarang paham mengapa para majikan di Arab Saudi merasa berhak menggauli para TKW Indonesia?).
Begitu juga, kita mungkin menjadi paham dengan perilaku ISIS, setelah membaca Surat At Taubah (29): “Perangilah orang2 yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan RasulNya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar.”
Apalagi di surat yang sama (39), dikatakan: “Bila kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih”.
Surat-surat yang mengobarkan peperangan banyak ditemukan di Al Quran. Dalam surat Muhammad (4) dikatakan: “Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir, maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka.”
Begitu pula melalui surat An Nisa (89), Allah berkata: “Janganlah kamu jadikan dari antara kaum kafir sebagai teman-temanmu, sebelum mereka berpindah pada jalan Allah. Apabila mereka berpaling, tawanlah mereka dan bunuhlah mereka di manapun mereka kamu temukan.”
Siapakah kaum kafir? Ada banyak definisi, tapi salah satunya termuat dalam Al Maidah (73) yang berbunyi: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga.”
Contoh ini bisa terus diperpanjang. Namun saya berharap ini sudah cukup untuk menunjukkan betapa berbahayanya menganggap Al Quran berisikan perintah Allah yang harus kita patuhi sepanjang zaman, di manapun kita berada.
Penetapan waktu berbuka dan mulai berpuasa dalam Al Quran misalnya relevan untuk kondisi Arab Saudi tapi jelas tidak untuk umat Islam di kota Tromso, di jantung wilayah utara Norwegia yang dikelilingi pegunungan yang tertutup salju sehingga di masa-masa tertentu mengenal apa yang disebut fenomena ‘matahari tengah malam’, yakni matahari tidak terlihat terbenam hingga tengah malam.
Demikian pula kalimat-kalimat perang dalam Al Quran (atau kalimat anti Yahudi) adalah kalimat-kalimat yang ditujukan pada umat Islam yang di masa itu memang sedang berperang melawan kaum kafir, kaum musyrik, kaum munafik. Kalimat-kalimat diskriminatif terhadap perempuan adalah refleksi dari tradisi budaya patriarkis di masa itu. Karena itu hukum Islam dalam Al Quran dan juga Sunnah dan hadits adalah hukum yang tidak selalu relevan dengan kebutuhan umat manusia saat ini.
Masalahnya, inilah yang terjadi di dunia Islam saat ini, termasuk di Indonesia. Berbarengan dengan menguatnya semangat ‘kembali ke Islam sebagai solusi atas kekacauan dunia saat ini’, umat Islam kembali percaya bahwa mereka akan menemukan jawaban masalah dunia dengan menjalankan hukum agama sebagaimana ditetapkan dalam syariat Islam dan Fiqih.
Kini menguat semacam kepercayaan bahwa Tuhan sudah menurunkan sebuah paket hukum agama yang lengkap untuk menjawab persoalan-persoalan dunia. Agama ini harus terus dipertahankan dalam bentuk murninya dan kewajiban kita sebagai umat manusia adalah sekadar menjalankan hukum itu dan menyesuaikan bagian-bagiannya dengan konteks modern (misalnya saja, dalam hal bunga bank atau zakat dsb).
Ada kepercayaan bahwa Allah sudah memberikan ketetapan hukum, modul berperilaku, SOP cara-cara beribadat (vertikal dan horizontal), gagasan dan filsafat hidup pada umat manusia yang kalau diikuti akan menyelamatkan dunia dan membawa manusia ke surga.
Ada kepercayaan bahwa Allah sudah menurunkan aturan menata yang menata seluruh aspek kehidupan: berkeluarga, bertetangga, berpolitik, berbisnis, bermasyarakat, berbudaya dan setsruanya. Dari bagaimana memilih pemimpin sampai tangan apa yang harus digunakan kalau makan. Di mana itu semua bisa ditemukan? Di Al Quran, Sunnah, dan kesepakatan-kesepakatan ulama terdahulu.
Di situlah pangkal bencana bagi dunia saat ini. Ketika umat Islam kembali ke sumber-sumber hukum yang mereka percaya padahal sumber-sumber hukum itu mengandung muatan yang sebenarnya tidak relevan dengan kondisi ‘kekinian’, kakacauan pun terjadi. Menurut saya cara beragama semacam inilah yang akan membawa umat manusia ke dalam jurang keterbelakangan, kehancuran atau, sebaliknya, menjadikan agama ditinggalkan oleh umat manusia yang semakin rasional.
Sebagaimana saya katakan, kondisi indonesia masih jauh lebih baik daripada banyak negara di dunia Islam yang terus didera konflik atas dasar agama. Tapi kita tidak boleh lalai dengan meningkatnya jumlah tindak diskriminasi dan penyerangan terhadap keberagaman di Indoensia yang berlangsung di tahun-tahun terakhir ini: dari pelarangan pembangunan gereja di Bogor, Bekasi, pembakaran Gereja Aceh, pengusiran kaum Ahmadiyah di banyak tempat, pelarangan kaum Syiah merayakan assyura, penyerangan terhadap patung-patung di Purwakarta dan pelarangan bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang dianggap akan mengembalikan kebudayaan Sunda di daerahnya, pembakaran pemukiman Gafatar, teror terhadap pesantren waria di Yogyakarta, teror terhadap rencana pentas Tan Malaka, teror terhadap rencana pemutaran film Pulau Buru, teror terhadap fesitival film Kiri, dan juga tekanan agar Komisi Penyiaran Indonesia melarang tampilan presenter pria yang kewanitaan.
Pelajarilah kasus-kasus itu, dan Anda akan menemukan bahwa landasan teror dan serangan itu adalah kitab hukum yang tadi kita bicarakan.
Agama sebagai Ideologi dan Islam Liberal. Umat Islam di dunia akan terus tumbuh dengan percepatan yang tak ada padanannya. Pertanyaannya adalah: apakah Islam akan membawa manfaat atau mudharat bagi dunia?
Saya percaya, Islam hanya akan bermanfaat bila Islam berhenti menjadi hukum. Sudah tidak saatnya lagi menegakkan syariat Islam. Sudah tidak pada tempatnya kita mendengar pertanyaan di acara mimbar agama Islam: “Apa hukumnya memasak makanan sampai wanginya tercium oleh tetangga, tetapi kita tidak bisa berbagi karena lauk itu pas-pasan bagi keluarga?”; atau “Apa hukumnya berpegangan tangan saat berpacaran?”; atau “Apa hukumnya memilih pemimpin bukan Islam?”; atau “Apa hukumnya seorang muslim pindah agama?”.
Selama kita percaya ada yang namanya hukum Islam yang harus kita tegakkan dan apa yang disebut sebagai hukum Islam sudah ditetapkan oleh Tuhan, ketika itu pula kita menjadikan Islam terbelakang.
Dalam pandangan saya, cara terbaik untuk melihat Islam adalah memandang Islam sebagai ideologi. Sebagai Ide. Sebagai kesatuan gagasan dan keyakinan ideal tentang bagaimana manusia berperan sebagai khalifah di dunia yang akan membawa rahmat bagi sekalian alam.
Segenap contoh yang ada dalam Al Quran dan sunnah adalah representasi dari gagasan besar itu di dalam konteks waktu dan ruang tatkala Al Quran itu diturunkan dan semasa Nabi hidup. Hukum Islam sebagaimana yang kita percaya sekarang hanyalah perwujudan gagasan. Karena itu yang harus dipelajari bukanlah hukumnya, melainkan gagasannya.
Dalam hal ini, Islam pada dasarnya adalah sama dengan Kristen atau agama-agama besar lainnya. Semua diturunkan Tuhan, tapi pada titik tertentu berpisah karena perjalanan sejarah. Bagaimanapun, semua menawarkan ideologi serupa.
Konsepsi Islam dan Kristen dan agama-agama lainnya tentang keadilan, pemerataan, kesejahteraan bersama, kejujuran, demokrasi, perlindungan terhadap HAM, dan beragam nilai universal lainnya adalah sama. Perbedaannya adalah tidak pada tataran ide besar.
Tapi upaya untuk menjadikan agama sebagai ideologi yang menyelamatkan dunia semacam ini tidak mudah. Yang harus berperan di sini adalah kaum cerdik cendekia yang bersedia berpikir bebas yang memang berkutat dengan ide. Islam atau agama apapun hanya akan menjadi kekuatan untuk menghidupkan bila dipahami secara rasional. Kaum Islam Liberal pasti adalah salah satu di antara kelompok kecil yang diharapkan menjadi motornya.
Dalam pandangan saya, kaum Islam Liberal percaya bahwa manusia harus memiliki kebebasan untuk mempelajari sendiri Islam untuk memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Allah, tanpa terkukung oleh doktrin-doktrin yang diwariskan dari masa lalu.
Keunggulan kaum Islam Liberal adalah umumnya para anggotanya adalah orang-orang yang secara mendalam mempelajari Al Quran, Sunnah dan kesepakatan-kesepakatan ulama. Dengan kata lain, penafsiran ulang yang dilakukan kaum Islam Liberal tidak dilakukan dengan semena-mena.
Jadi, kalau mereka bicara soal Islam, mereka tidak hanya mengandalkan intuisi, kata orang atau akal sehat. Mereka fasih merujuk pada pandangan-pandangan, kajian-kajian ulama terdahulu yang sangat kaya karena mereka memang belajar Islam.
Kalangan Islam Liberal ini bersama-sama mereka yang berkutat di berbagai disiplin ilmu bisa mengembangkan jawaban-jawaban Islam di tataran ide terhadap persoalan-persoalan dunia. Hanya kalau ini terjadi, saya percaya di masa depan, Islam tidak akan menjadi ancaman bagi dunia.
Tidak perlu lagi ada Donald Trump yang bicara soal “saya tidak tahu apa, tapi saya merasakan getaran kebencian di dalam Islam”. Dan tidak perlu lagi ada orang sebaik hati Michael Moore yang harus dengan sengaja mengambil risiko dicaci publik Amerika karena membela orang-orang Islam di negaranya.
Michael, Anda silakan membuat film sebaik mungkin saja. Biar kami yang akan membuktikan pada Trump (dan kawan-kawannya) bahwa agama memang mengajarkan cinta…..
Bogor, 1 April 2016