Sekularisasi
Banyak orang yang gagal paham mengenai konsep sekularisasi yang dirumuskan oleh Cak Nur dan menyamakannya dengan konsep sekularisme. Padahal dua kata ini, “Sekularisasi” dan “sekularisme” mempunyai pengertian yang sangat jauh berbeda. Dalam bukunya yang berjudul “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan” Cak Nur berulang-ulang menegaskan perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme.
Sekitar tahun 1970-an, saat Cak Nur pertama kali memperkenalkan dan menganjurkan “sekularisasi”, ia menjadi sosok yang banyak diperbincangkan. Ia mendapat banyak kritikan dan hujatan atas gagasannya tersebut bahkan ia dituduh dan dicap sebagai seorang “sekular”. Dalam beberapa kesempatan, Cak Nur memberikan penjelasan bahwa sekularisasi yang ia maksud berbeda dengan sekularisme. Ia pun menegaskan bahwa ia menolak dan menentang sekularisme.
Nampaknya kontroversi mengenai gagasan sekularisasi Cak Nur, berpangkal dari istilah “sekularisasi” itu sendiri. Memang tidak mudah untuk membedakan antara istilah “sekularisasi” dan “sekularisme”, keduanya berasal dari asal kata yang sama yaitu “sekular” yang mendapat “sufiks serapan” berbeda (-isasi; –isme).
Mengutip pernyataan yang dikutip oleh Cak Nur dari Samuelson bahwa kita harus waspada terhadap “tirani kata”, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Kata bisa menjerumuskan, apabila kita tidak memberikan tanggapan dengan cara yang wajar.
Sekularisme adalah sebuah paham, yaitu paham keduniawian. Mengutip dari Harvey Cox, sekularisme diartikan sebagai nama untuk suatu ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip sebagai agama baru (secularism is the name for an ideology, a new closed world view function very much like a new religion).
Sekali lagi ditegaskan Cak Nur bahwa sekularisme adalah paham keduniawian, paham itu mengatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah mutlak dan terakhir, tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya agama-agama menamakannya dengan hari kemudian, hari kebangkitan dan lain-lain.
Bagi penganut sekularisme, mereka adalah orang-orang sekularis, yang artinya, orang-orang yang menjadikan sekularisme sebagai sentral keyakinannya. Oleh sebab itu, sekularisme bertentangan dengan agama, khususnya Islam. Sebab, Islam mengajarkan tentang adanya hari kemudian (akhirat), dan umat Islam wajib meyakininya.
Berbeda dengan sekularisme yang berarti sebuah paham keduniawian, sekularisasi diartikan sebagai sebuah proses, yaitu proses penduniawian. Dalam istilah Harvey Cox disebut liberating development (perkembangan pembebasan).
Menurut Cak Nur, proses pembebasan ini diperlukan, karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang transendental dan yang temporal. Di sinilah diperlukan sekularisasi.
Jadi, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.Dari perbedaan pengertian di atas, jelas sekali bahwa Cak Nur mengharuskan adanya sekularisasi dan dengan tegas menolak sekularisme.
Mengenai hubungan antara agama dan negara, Cak Nur mempunyai pandangan bahwa agama dan negara tidak terpisahkan, namun tidak berarti bahwa antara keduanya itu identik. Karena itu, menurut Cak Nur, agama dan negara dalam Islam, meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan: tidak terpisah, namun berbeda.
Di sinilah pentingnya konsep sekularisasi. Tidak mencampuradukkan antara agama dan negara. Negara merupakan salah satu aspek kehidupan duniawi (sekular) yang dimensinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama merupakan aspek kehidupan lain yang dimensinya adalah spiritual dan individual.
Memang antara keduanya tidak dapat dipisahkan, namun tetap harus dibedakan. Oleh karenanya, Cak Nur menolak formalisasi agama dalam bentuk negara (negara Islam, negara Kristen, negara Hindu, dll) dan menerima Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa Indonesia. Menurut Cak Nur, Pancasila sejalan dengan nilai-nilai Islamdan Cak Nur menyebut Pancasila sebagaicommont platform atau kalimatun sawa semua agama di Indonesia.
Sekarang sudah bukan saatnya lagi untuk memperdebatkan Pancasila, apalagi berusaha untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi yang lain. Yang perlu dilakukan saat ini adalah menghayati nilai-nilai luhur Pancasila dan mengamalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain gagasan mengenai pluralisme dan sekularisasi, Cak Nur juga dikenal dengan jargonnya yang kontroversial, yaitu “Islam, Yes, Partai Islam, No?” Ide tersebut tidak serta merta dilontarkan Cak Nur tanpa proses pemikiran yang matang. Latar belakang munculnya jargon ini berawal dari kegelisahan Cak Nur melihat partai-partai Islam yang hanya sebatas simbol, tetapi telah kehilangan substansi.
Cak Nur menyadari betul banyak pihak yang menghujat dan menuduh dirinya sebagai anti Islam apalagi saat itu (tahun 1970-an) euforia untuk menegakkan negara Islam masih menguat, salah satunya melalui partai politik berbasis ideologi Islam. Sontak pernyataan Cak Nur tersebut mendapat banyak kecaman dan kritikan. Namun, di sisi lain Cak Nur berhasil mengubah pandanganmasyarakat untuk tidak terjebak pada simbolisasi dan formalisasi agama.
Jika kita kaitkan dengan kondisi saat ini, nampaknya jargon “Islam, Yes, Partai Islam, No?” masih sangat relevan. Partai-partai Islam masih terlihat hanya sebatas simbol saja, tidak mencerminkan Islam yang substansial. Ditambah lagi, kelakuan para politisi dari partai berbasis ideologi Islam semakin merusak image partai Islam.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan, mengapa partai Islam di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak pernah memenangkan pemilu. Itulah beberapa dari pemikiran Cak Nur yang masih sangat relevan dan kontekstual sampai saat ini.
Kini Cak Nur telah tiada. Sang Guru Bangsa telah berpulang kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi gagasan dan pemikirannya masih dan akan terus hidup sebagai inspirasi bagi generasi penerus. Biarlah Cak Nur tenang dan damai di sisi Allah swt, namun, ide-ide brilliannya harus terus dikembangkan dan dilestarikan untuk kehadiran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Semoga sumbangsih pemikiran Cak Nur menjadi ilmu yang bermanfaat, yang pahala kebaikannya akan terus mengalir pada si empunya. Al-fatihah…..
Wallahu a’lamu bish-shawab
Sumber:
Nurcholish Madjid. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, cet XI, 1998.
_______________ Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, cet VI, 2008.