IslamLib – Inilah pengalaman pertamaku menginjakkan kaki di pulau Madura, tepatnya di kabupaten Bangkalan. Di kota ini, kiai ditempatkan pada kedudukan dan simbol tertinggi dalam kultur masyarakat setempat. Fenomena ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi kota-kota lainnya di Madura, bahkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia,yang secara kultur ke-NU-an begitu kuat menancap.
Sebut saja Sumenep, Pamekasan, dan Sampang. Seluruh kota yang ada di Madura, secara keseluruhan, memiliki kultur pengkhidmatan yang begitu besar soal kedudukan kiai yang mereka anggap sebagai imaji tuhan di muka bumi.
Di Bangkalan, kita akan sangat sulit untuk memisahkan kehidupan kiai sebagai manusia biasa di satu sisi, dengan kehidupan kiai sebagai pemuka agama di sisi lain. Problem ini terletak dari landasan masyarakat umum bahwa kiai melulu merupakan kepanjangan tangan tuhan. Makanya kiai dikategorikan sebagai salah satu entitas sakral.
Kesulitan ini dalam praksisnya memunculkan integrasi dari dua unsur tadi sekaligus. Seolah-olah kiai adalah malaikat yang tidak pernah salah; tidak pernah alpa; dan tidak pernah berdosa. Apapun yang dikatakan atau dilakukan oleh kiai akan selalu dianggap benar, kendatipun faktanya secara moril sangat bertolak-belakang dengan nilai-nilai dasar humanisme pada umumnya.
Eksistensi kiai dalam pandangan masyarakat Bangkalan, disimpan di tempat paling luhur. Pengkerdilan pada eksistensi kiai di satu masa akan dianggap juga sebagai pelecehan pada agama di masa yang lain. Di sini, mengkritisi kiai berarti sebuah dosa besar.
Karenanya, apapun yang dikatakan oleh kiai, masyarakat Bangkalan akan manut dan tunduk, sami’na wa ato’na. Sekalipun berbeda pendapat misalkan, mereka paling tidak akan berusaha menyembunyikan ketidak-sepakatannya dengan kiai serapat mungkin.
Sejarah munculnya kiai dalam struktur kelas masyarakat di Bangkalan, tidak terlepas dari kontribusi mereka di masa lalu. Di jaman pergerakan dan kemerdekaan, bahkan jauh sebelum itu, kiai tampil sebagai status sosial pembaharu, yang membedakannya dengan kelas lain semisal raja dan para priyayi.
Kiai merupakan satu-satunya kelas sosial yang hidup langsung berdekatan dengan penderitaan rakyat. Makanya mereka (kiai) banyak disukai. Kiai mutlak menjadi simbol perlawanan rakyat. Kiai adalah panglima, garda terdepan harapan mereka.
Beda halnya dengan para raja dan priyayi. Mereka hidup dalam kemewahan, mereka mudah disuap, bahkan mereka tak segan-segan ikut bersekongkol dengan pihak penjajah,untuk bersama-sama mengeksploitasi rakyat.
Proses sejarah tampilnya kiai sebagai kelas sosial ini tentu berpengaruh kuat dalam membentuk pola relasi kiai-society di masyarakat Bangkalan. Yang faktanya, mereka sulit untuk melepaskan diri dari keterlibatan kiai dalam segala urusan kehidupan mereka: soial, ekonomi, dan politik.
Efek historis yang paling krusial, yang berkembang di masyarakat, adalah tertanamnya rasa enggan, takut, dan segala macam jenis inferioritas diri, saat mereka berhadapan dengan kiai. Apalagi corak masyarakat Bangkalan adalah masyarakat feodal. Tentu, ini bukan fenomena yang juga muncul sesaat.
Feodalisme telah lahir jauh-jauh hari ketika nusantara masih berbentuk kerajaan-kerajaan kuno, dan dilanjutkan pada masa-masa kolonialisme. Setidaknya praktek feodalistik telah memberikan stimulus pada pelembagaan pola pikir, khususnya bagi masyarakat Bangkalan.
Hal mudharat yang dihasilkan dari proses feodalistik yang terlalu kaku, akhirnya akan meyeret masyarakat dalam kubangan fanatisme buta, sebagaimana yang sudah penulis gambarkan di atas.
Kondisi masyarakat yang diwarnai benih-benih fanatisme ini sudah pasti akan menghasilkan tatanan civil society yang juga mandeg. Karena sikap kritis yang semestinya menjadi ruh kehidupan masyarakat sipil yang terbuka dan egaliter, tidak berfungsi sama sekali. Sebab feodalisme, dogma agama, dan fanatisme telah mengaburkan aspek profan dan nonprofan dalam dimensi nalar kritis mereka.
Singkatnya, stagnasi sekularisasi dalam pemilahan posisi kiai, akan mengarah pada rancunya integrasi dua ikhwal yang diametral ini: kiai sebagai pemuka agama dan kiai sebagai masyarakat biasa.
Jika ini tetap terjadi, dampaknya akan berlanjut pada praktek-praktek lain di luar dimensi religiusitas. Karena sikap dan tindakan apapun yang diambil oleh kiai (meskipun sebagai masyarakat biasa) akan dipersepsikan sebagai tindakan moral kegamaan.
Urgensi lainnya adalah bagaimana mungkin mereka akan menjadi masyarakat kritis, yang mampu berpikir secara mandiri, bila faktanya mereka masih sangat ketergantungan pada kiai.
Bagaimana mungkin juga mereka akan bangkit berusaha mengkritisi segala kebijakan yang merugikan mereka, bila nyatanya jati diri mereka secara tidak langsung telah tercerabut dari akar intensionalitas eksistensi mereka sendiri.
Bahaya laten ini tentu lambat laun akan merambah sampai tingkat paling kacau. Bayangkan, bila ternyata kiai mulai tergiur untuk terjun di dunia politik? Kira-kira apa yang akan terjadi dalam kehidupan masyarakat, dengan kondisi mereka yang begitu?
Tentu hal ini menjadi poin plus (keuntungan tersendiri) bagi kalangan kiai yang hendak terjun di dunia politik itu, sebab mereka mau tidak mau menaruh dua legitimasi langsung di pundaknya. Pertama, legitimasi yang bersumber dari kekuasan politik. Kedua, legitimasi yang berasal dari pengaruh status sosial mereka di masyarakat.
Maka jalan menuju puncak kuasa, dengan kondisi masyarakat seperti itu, akan sangat mudah dilakukan oleh elit politik yang berasal dari kalangan kiai.
Penjelasan di atas bukan sekadar omong kosong belaka. Kondisi tersebut benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat Bangkalan. Ra Fuad buktinya. Dia termasuk elit kiai yang berhasil masuk ke dunia politik. Tidak tanggung-tanggung, track record-nya di dunia politik terbilang sukses.
Di masa awal sepak terjangnya, dia adalah anggota DPR RI dari fraksi PKB, kemudian menjabat sebagai Bupati Bangkalan selama dua periode. Terakhir, posisinya adalah sebagai ketua DPRD Kabupaten Bangkalan. Dan selama karirnya, dia mencoba membangun kekuatan dinasti politik di Bangkalan. Dimana estafet kepemimpinan Bupati Bangkalan diteruskan oleh anaknya sendiri, Ra Momon.
Keberhasilan Ra Fuad dalam dunia politik tentu tidak terlepas dari anggapan umum bahwa dia adalah seorang kiai – waliyullah. Seseorang yang secara religiusitas tidak usah dipertanyakan lagi tingkat kesuciannya.
Identitas ini memang melekat pada dirinya dengan begitu saja, sebab menurut sumber yang penulis wawancarai, di Bangkalan ada anggapan kolektif yang berkembang, bahwa bila ayahnya seorang kiai maka anaknya pun mau tidak mau akan dianggap seorang kiai. Dan secara genealogi, kita tahu persis, Ra Fuad merupakan cucu dari Syaikhona Kholil Bangkalan, ulama yang memiliki kontribusi besar dalam disiplin keilmuan Islam.
Dengan begitu, otomatis kharisma Kiai Kholil Bangkalan menurun ke bawah – kepada trah penerus Kiai Kholil. Sebetulnya bukan hanya Fuad Amin yang dihormati oleh masyarakat Bangkalan, hal serupa pun terjadi pada garis keturunan Kiai Kholil Bangkalan yang lainnya. Logika umum ini telah mengangkat harkat dan martabat trah Kholil dalam stratifikasi sosial masyarakat Bangkalan. Status sosial mereka berada di struktur paling atas dibandingkan kelas masyarakat lainnya.
Popularitas Ra Fuad sebagai cucu kiai besar sangat membantunya ketika menjajal dunia politik. Sesampainya di tampuk kekuasaan resmi, setelah pada tahun 2003 Fuad terpilih sebagai Bupati, otomatis sumber kekuatan dan sumber legitimasi Fuad semakin bertambah kuat.
Dia bukan lagi hanya dihormati karena status sosialnya sebagai kiai, melainkan juga karena merangkap sebagai Bupati. Peluang ini tentu menjadi kesempatan emas bagi Fuad untuk bagaimana mengelola baik itu kekuatan formal dan informal di dunia politik, maupun sumber daya ekonomi yang ada di dalamnya.
Ia dengan leluasa memainkan setiap proyek BUMD untuk kepentingannya sendiri. Ia pun mewajibkan setiap SKPD untuk menyetorkan 10% fee dari tiap anggaran yang ada. Dan ia sendiri yang mengelola jaringan klebun (kepala desa) dan blater (orang kuat lokal) agar sewaktu-waktu bisa digunakannya sebagai alat politik atau mobilisasi masa.
Modal kepercayaan masyarakat Bangkalan terhadap Fuad (karena ia adalah seorang kiai, dan cucu dari kiai besar), telah ia khianati sendiri. Ikhwal tersebut ternyata sekadar ia jadikan sebagai instrumen politik untuk mencengkeram laju civil society.
Mungkin Fuad berpikiran: mana mungkin kiai dikritik, bila anggapan umum saja menyanggah kemungkinan berdosanya seorang.
Untuk itu, di Bangkalan, gelombang kritisisme pada perilaku Fuad yang korup dan inkonstitusi, tidak lahir dari kalangan santri atau sesama ulama yang memenuhi populasi Bangkalan, melainkan dari kelompok-kelompok sekular semisal MCW (Madura Corruption Watch) dan CIDE.
Anehnya, bahkan ini adalah aneh bin aneh bin aneh, kiai merupakan kalangan loyalis penting Fuad Amin dalam dinamika politik lokal di Bangkalan.
Perilaku Fuad dan pendukungnya yang jauh dari nilai-nilai religiusitas, paling tidak telah menggambarkan bahwa mitos kiai suci itu tidak pernah ada. Hukum Lord Acton-lah yang lebih berlaku di sini.
Bahwa siapapun dia, apapun dia, ketika dia bersenggama dengan kekuasaan yang tanpa kontrol, maka kelak dia akan melahirkan perilaku koruptif dari rahimnya sendiri. “Power tends to corrupts, absolute power corrupts absolutely.” Kata Acton.
Dan benar, takdir yang dituliskan Lord Acton datang sebagaimana mestinya: Fuad Amin pun ditangkap melalui operasi tangan oleh KPK. Masih percaya kiai itu suci?