IslamLib – Belakangan ini kasus-kasus yang menunjukkan gejala intoleransi atas nama agama dan keyakinan kembali menguat di Indonesia. Berangkat dari insiden terbakarnya masjid di Tolikara yang menimbulkan reaksi keras umat Islam. Menyusul kemudian peristiwa pembakaran dua gereja serta pembongkaran paksa puluhan gereja di Aceh Singkil. Setelah Walikota Bogor yang melarang perayaan hari Asyura oleh komunitas Islam Syi’ah, kita kembali dikejutkan dengan aksi pembakaran sanggar persujudan komunitas Sapto Dharmo di Rembang, Jawa Tengah.
Banyak ahli mengatakan bahwa kelompok intoleran itu sesungguhnya minoritas. Benarkah mereka minoritas?
Penampakan Fenomena Intoleran. Dalam cuplikan iklan layanan masyarakat yang ditayangkan beberapa stasiun televisi, Komarudin Hidayat senada dengan Azyumardi Azra, menyatakan bahwa Muslim Indonesia itu toleran. Kelompok-kelompok intoleran sebenarnya hanyalah minoritas. Pernyataan dua cendikiawan Muslim tersebut tentunya diam-diam diamini oleh sebagian besar Muslim di Indonesia.
Namun berpijak pada fenomena intoleransi mengatasnamakan agama yang terjadi akhir-akhir ini, bagi saya suara kelompok minoritas intoleran tersebut justru semakin nyaring, seiring kian senyapnya suara mereka yang konon mayoritas dan toleran.
Berdasarkan hasil survey tentang “Tolerance index” yang dilakukan oleh UNDP tahun 2013, disusul dengan hasil survey yang kurang lebih sama oleh Kementerian Agama tahun ini, disinyalir bahwa daerah-daerah dengan jargon ke-Islaman justru menunjukkan indeks toleransi yang sangat buruk.
Aceh, dearah yang dikenal sebagai Serambi Mekah itu, mendapat peringkat terburuk dalam hal penerimaan atas perbedaan agama dan keyakinan, hanya 35.149 suara yang bersikap toleran. Disusul dengan Lampung 39.479 suara. Adapaun Sumatera Barat yang berslogan: “Adat bersendi sara’, sara’ bersendi kitabullah” berada di posisi terburuk ketiga, dengan peroleha 42.944 suara. Disusul kemudian suara terendah ke-4 dan k-5 oleh Jawa Barat dan Yogyakarta.
Adapun indeks toleransi terbaik diduduki oleh Nusa Tenggara Timur dengan perolehan 60.891 suara.
Akan halnya terkait indeks menghormati perbedaan umat beragama, lagi-lagi provinsi Serambi Makkah menempati posisi paling buruk yakni, 35.467 suara, disusul kemudian oleh Provinsi Lampung dengan jumlah 39.902 suara, diikuti Sumatera Barat dengan skor 41.944 suara, Banten sebanyak 45.595 suara, diikuti oleh Yogyakarta dan Jawa Barat. Sedangkan yang menempati skor tertinggi masih NTT, sebanyak 57.641 suara.
Buruknya wajah toleransi antar umat beragama di daerah-daerah yang kuat mengusung jargon Islam, juga terjadi pada tataran kesetaraan dan upaya kerjasama antar umat beragama. Skor yang kurang lebih sama terjadi pada daerah-daerah tersebut di atas.
Hasil survey UNDP dan Kementerian Agama menguatkan riset sebelumnya yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada tahun 2007 lalu, bahwa 51,6% umat Islam menolak pendirian rumah ibadah non Muslim di lingkungannya, 64 % menolak menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah Yayasan non Muslim. Bahkan masih di atas 50 % orang tua yang melarang anaknya bergaul dengan non Muslim.
Lalu bagaimana mempertanggungjawabkan klaim bahwa Muslim Indonesia itu toleran? Berdasarkan indeks toleransi antar umat beragama dari survei-survei tersebut, sepertinya klaim yang menyatakan bahwa Muslim Indonesia toleran itu terdengar absurd.
Apa yang terjadi? Sebagian kita mungkin masih akan mengatakan, bahwa persentase Muslim yang toleran tetap besar jumlahnya dibanding mereka yang intoleran. Namun saya berpendapat, sepertinya tidak tepat membuat persentase mana yang lebih besar antara yang toleran dan yang intoleran. Sebab, lagi-lagi pernyataan itu menjadi absurd jika dihadapkan dengan fenomena di lapangan.
Menurut saya, untuk mengatakan toleran atau tidaknya Muslim Indonesia bisa dianalisa melalui fenomena-fenomena berikut ini: Pertama, anggaplah kelompok Muslim yang toleran memang lebih besar dibanding yang intoleran. Namun besarnya angka tersebut ditunjukkan melalui sikap yang pasif, bahkan cenderung mendiamkan. Dalam konteks fiqih, diamnya mayoritas terhadap fenomena intoleran menunjukkan kemungkinan antara menyetujui (ijma’ sukuti). Atau tidak setuju tetapi diam, maka tetap saja membuahkan tindakan intoleran.
Kedua, nyaringnya suara-suara Muslim intoleran yang seringkali diikuti oleh tindakkan diskriminatif, bahkan sampai pada tingkat vandalism (menghancurkan rumah ibadah milik kelompok agama lain; menyerang bahkan membunuh mereka yang berbeda keyakinan dalam tubuh Islam sendiri), justru lebih banyak dipicu oleh lembaga keagamaan resmi. Baik itu dilakukan atas nama lembaga maupun individu yang bernaung di bawah lembaga kieagamaan tersebut. Di pihak lain, negara dan aparatur pemerintahnya seringkali diam atau bahkan kalah dengan suara dan tindakan kalangan intoleran yang minoritas ini.
Ketiga, pada level basis (masyarakat), seringkali terlihat sikap pasif dan tidak peduli terhadap maraknya tindakan intoleransi. Sepanjang peristiwa-peristiwa tersebut tidak mengganggu kepentingan ekonominya. Fenomena ini kerap ditunjukkan oleh kalangan akademisi dan profesional lainnya yang tidak bersentuhan dengan isu keagamaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang langsung mempercayai isu dan pembalikan opini yang dilontarkan oleh kelompok intoleran. Misalnya isu terkait pemurtadan, pendirian rumah ibadah tanpa izin dan sebagainya.
Masihkah Ada Harapan? Salah satu penyebab maraknya intoleransi adalah sempitnya ruang pertemuan antar kelompok maupun individu umat beragama. Juga dikuatkan oleh makin banyaknya media yang bermunculan pasca reformasi, yang nampak sengaja membangun sentimen negatif melalui isu keagamaan. Jika asumsi itu benar, solusinya antara lain membangun kembali etos bertoleransi di tingkat basis.
Pertama, demi pluralitas, maka dialog dan kerjasama lintas agama dalam banyak segi, terutama menyangkut isu-isu kemanusiaan, sangat mendesak untuk terus diupayakan. Selain itu, bisa juga dengan mengajak generasi muda dan pelajar untuk mengalami kebersamaan dengan pemeluk agama lain melalui kegiatan live-in lintas iman. Kegiatan ini bertujuan untuk membiasakan penerimaan atas kemajemukan.
Last but not lease, perlunya membangun arus informasi yang memadai. Artinya, bagaimana agar umat beragama menjadi peka dan peduli, menuntut toleransi secara adil tidak hanya kepada agamanya, tapi juga terhadap agama lain.