IslamLib – Sejak kecil, saya tidak pernah menyukai nuansa Hari Raya Idul Adha. Berbeda dengan anak-anak kebanyakan, selesai sholat Ied saya selalu pulang lebih dulu ketimbang menyaksikan penyembelihan hewan kurban. Bau darah dan pemandangan kambing atau sapi dikuliti di muka umum selalu menyesakkan dada saya. Mungkin karena itu pula saya tidak menyukai makan daging, meski tidak mendeklarasikan diri sebagai vegetarian.
Tempat tinggal saya di Semarang saat ini adalah perkampungan yang cukup padat. Masjid di samping rumah hampir tidak punya ruang lapang seperti masjid kebanyakan. Jika Idul Adha, hewan-hewan kurban yang sudah disembelih diletakkan begitu saja sebelum dipotong-potong dan dibagikan. Tepat di jalan kecil depan rumah yang juga nyaris tanpa halaman.
Yang paling tidak saya sukai adalah ketika seekor sapi harus dirubuhkan dengan berbagai cara untuk memudahkan penyembelihan. Ketika sapi tersebut roboh setelah diinjak atau dijegal, orang-orang pun bersorak gembira.
Saya juga selalu cemas melihat televisi pada saat hari raya atau beberapa hari setelahnya. Tayangan berita di televisi pasti seragam; pelaksanaan ibadah kurban yang dalam banyak kasus begitu vulgar. Gambar hewan dipotong terpampang dengan jelas.
Yang juga sering ditayangkan adalah orang beramai-ramai mengejar hewan kurban –misalnya sapi- yang lepas dari ikatan dan lari ketakutan mencium aroma kematian.
Jika sudah begitu, yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana perasaan umat agama lain yang menjadikan sapi sebagai hewan yang mereka hormati ketika melihat tayangan tersebut.
Belakangan ketika media sosial menjadi populer, saya selalu mengutuk dalam hati mereka yang begitu senang mengunggah foto hewan kurban yang sudah disembelih di akun mereka. Ibadah yang seharusnya sakral malah menjadi ajang pamer.
Bisa-bisanya orang foto selfie dengan makhluk yang sudah tidak bernyawa. Seperti tak ada bedanya dengan foto-foto kekerasan yang menghasut kebencian sebagaimana banyak beredar saat ini. Kalau bukan karena ibadah, mempertontonkan foto hewan sembelihan di media sosial pastilah sudah dikecam banyak orang.
Hari Raya Idul Adha bagi saya juga berarti narasi kekerasan dalam khutbah-khutbah tentang perintah Tuhan kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail. Penjelasan para khotib tentang penyembelihan hewan kurban sebagai simbol membunuh sifat kebinatangan dalam diri manusia semakin membuat saya kebingungan.
Bukankah hewan juga memiliki sifat penuh kasih, dan justru manusia di hari-hari belakangan ini semakin kehilangan nurani dan akal sehatnya sendiri?
Ingatan saya melayang pada foto seekor induk orang utan yang tak berdaya memeluk anaknya ketika dikepung oleh orang-orang yang akan membunuhnya demi perluasan kebun sawit. Para pejabat yang tak cuma korupsi, tapi bangga dan cengegesan saat memakan uang rakyatnya sendiri. Atau pada banyaknya orang yang mengaku paling dekat dengan Tuhan tetapi juga mendiskriminasi dan melakukan kekerasan pada orang lain karena alasan berbeda faham atau keyakinan.
The Imitation Game, sebuah film produksi Inggris memberi sedikit jawaban atas kegelisahan saya terhadap narasi kekerasan akhir-akhir ini. Film ini bercerita tentang sosok Alan Turing, ilmuwan matematika Inggris penemu komputer pertama yang mampu memecahkan kode Enigma tentara Nazi Jerman dalam Perang Dunia II sekaligus membuat pasukan Sekutu memenangkan perang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
Alan Turing, yang seorang homoseksual itu sering menjadi korban kekerasan terutama dari teman-teman sekolahnya. Menurut Turing, alasan utama mengapa orang menyukai kekerasan, adalah karena mereka menikmatinya.
Barangkali inilah yang terjadi. Dalam konteks pelaksanaan kurban yang terjadi saat ini, kita begitu menikmati proses saat hewan dipotong di halaman masjid atau lapangan. Bersorak sorai ketika hewan rebah ke tanah. Bangga mempertontonkan hewan yang sudah tak bernyawa di media sosial atau televisi. Puas dengan banyaknya jumlah hewan kurban yang meningkat dari tahun ke tahun.
Tapi pada saat yang sama abai pada esensi. Lalai mencerap makna dari simbol. Lalu ketika kembali pada rutinitas, makna menjadi hilang tak berbekas.
Tidak heran ketika kembali ke dunia nyata, yang kuat menikmati menindas yang lemah. Yang punya jabatan menikmati menyalah-gunakan wewenangnya. Yang punya duit menikmati berfoya-foya sambil menutup mata pada tetangga dhuafa di kanan kirinya.
Yang merasa kebenaran agama adalah milik mereka sendiri pun menikmati tindakannya berteriak-teriak menyebut nama Tuhan di jalanan sambil mengkafirkan orang yang berbeda faham atau keyakinan. Menikmati ritual mengejar-ngejar orang agar mengikuti kebenaran sambil mengacungkan pedang atau pentungan.