Rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh Menteri Kehakiman dan HAM menuai kontroversi. Pasalnya, rancangan ini dinilai terlalu memberi kewenangan yang sangat besar bagi negara untuk masuk dan mengatur ruang privat warganya. Begitu juga dalam hal delik pers. Alih-alih mengondusifkan kebebasan pers dan kebebasan ekspresi, malah ada penambahan pasal untuk mengekangnya.
Nursyahbani Katjasungkana, aktivis Solidaritas Perempuan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, menilai revisi ini bias gender dan bias kelas serta bertentangan dengan konstitusi dan HAM. Berikut penuturannya kepada Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) pada hari Kamis, 9 Oktober 2003.
Mbak Nur, apa tanggapan Anda terhadap rencana revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digagas oleh Menteri Kehakiman dan HAM?
Sebetulnya, secara keseluruhan, KUHP itu bukan hanya berisi bab soal kesusilaan menuai kontroversi, yang dari segi penamaan bab saja bisa kita persoalkan panjang lebar. KUHP memang mengurus relasi antara warga dengan negara dan warga dengan sesama anggota warga lain.
Makanya, dia menyangkut persoalan relasi dan kepentingan publik. Berdasarkan itu, visi yang mestinya dibangun adalah penghormatan terhadap HAM dan sekaligus difungsikan untuk membangun demokrasi.
Kalau dilihat dari sisi itu, apakah rancangan revisi KUHP ini sudah mencerminkan visi tersebut?
Jauh sekali. Dikatakan jauh, karena pertama, terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan pers. Sisi represinya bukan malah berkurang dari KUHP lama yang sudah kita perjuangkan. Hal-hal yang bersifat represi seperti itulah yang digunakan untuk menjerat Tempo, Goenawan Mohammad dan harian Rakyat Merdeka.
Pasal yang bermasalah adalah mengenai kejahatan makar terhadap negara. Di situ terlihat masih represif. Mungkin itu bisa dipahami, karena sebetulnya rancangan ini sudah selesai dibuat dalam kurun waktu antara tahun 1982-1992, di masa Soeharto masih sangat berkuasa. Pemikiran atau aspirasi orang untuk revisi undang-undang, memang sangat terpengaruh pada situasi politik saat itu.
Kedua, dalam persoalan yang berkaitan dengan relasi domestik. Di sini kita mencermati, revisi KUHP ini bukan semakin menghormati hak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan individu. Sebetulnya, tidak seorang pun boleh mengganggu kehidupan pribadi, rumah tangga dan keluarga, sebagaimana ditegaskan baik dalam UUD maupun UU mengenai HAM Nomor 39 Tahun 1999.
Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang ada dalam bab mengenai kejahatan kesusilaan itu, hendak mengatur hal-hal yang bersifat persoalan atau relasi domestik. Hukum pidana boleh saja mengurus soal relasi domestik, sejauh ada unsur kekerasan, paksaan atau ancaman, atau bila dilakukan terhadap anak-anak, khususnya dalam masalah hubungan seksual.
Ketiga, sudah lama sekali kelompok perempuan merasa bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHP, khususnya yang berkenaan dengan soal perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan, dan pornografi, tidak sesuai dengan prinsip perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Sebab, isinya sangat menempatkan perempuan sebagai objek seksual.
Oleh karena itu, pasal-pasal demikian dituntut untuk dikeluarkan dari KUHP menjadi UU khusus yang tersendiri, dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan atas korban, di samping pemberdayaan masyarakat.
Nah, menurut Anda, bagaimana seharusnya revisi KUHP ini?
Berdasarkan prinsip tadi, seharusnya pasal 310 dan 311 yang tertuang dalam KUHP lama, yang pada umumnya digunakan untuk merepresi dunia pers dan insan pers dikeluarkan dari KUHP, dan dijadikan undang-undang perdata saja.
Persoalan itu lebih banyak diatur oleh kode etik pers, sehinga lebih menuju pada peningkatan profesionalitas pers dan sekaligus menjunjung prinsipfreedom of the press dan freedom of the expretion yang berguna bagi pembanguan demokrasi.
Hal lain, ketentuan-ketentuan yang ada dalam bab tentang kesusilaan, khususnya pasal-pasal yang penuntutannya digantungkan pada pihak-pihak yang dirugikan, juga hendaknya keluar dari KUHP. Misalnya, pasal perzinahan yang dalam rancangan undang-undang KUHP baru memakai istilah permukahan.
Ini bukan perzinahan dalam artian umum, yaitu hubungan seks di luar pernikahan, tapi permukahan adalah hubungan seksual di antara pihak-pihak yang sudah terikat oleh ikatan perkawinan. Penuntutannya hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Pasal yang kini dikenal sebagai pasal kumpul kebo dalam RUU KUHP, penuntutannya juga hanya bisa dilakukan kalau ada pengaduan dari keluarga, kepala adat atau lurah/kepala desa. Nah, suatu peristiwa pidana atau peristiwa hukum yang digantungkan penuntutannya pada kerugian pihak-pihak orang perseorang yang terkait dalam relasi itu, sebetulnya termasuk karakteristik dasar hukum perdata. Karena itu, dia tidak bisa menjadi perbuatan pidana.
Percuma saja KUHP dinyatakan sebagai perbuatan kriminal, akan menjadi kriminal terus tanpa ada penuntutan, kecuali pihak yang dirugikan menuntut. Dari pada begitu, lebih baik menjadi hukum perdata, sebagaimana yang sudah dilakukan di Timor Leste.
Mereka mengadopsi semua KUHP kita, tapi khusus pasal-pasal yang digantungkan penuntutannya pada kerugian orang perseorangan atau individu, dikeluarkan dari KUHP dan dinyatakan sebagai civil procedure.