IslamLib – Negara wajib menyelenggarakan pendidikan buat rakyatnya karena demikianlah amanat konstitusi kita. Dalam pembukaan UUD 45, khususnya alinea keempat, dijelaskan bahwa pembentukan pemerintahan negara Indonesia setelah perjuangan kemerdekaan bertujuan untuk: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Rakyat yang cerdas pada dasarnya adalah masa depan sebuah negara. Ini tentu bisa disadari jika negara tersebut dipimpin para negarawan sejati dalam sikap serta pikirannya; bertindak kerakyatan dalam setiap kebijakannya.
Akan lain ceritanya jika elit penguasa negeri ini adalah kaum despot yang hanya manis dalam kata-kata namun sesungguhnya hanya memikirkan kelompok, kroni serta kepentingannya saja. Segala sesuatu hanya dihitung berdasarkan kalkulasi dukungan dan simpati publik demi melanggengkan kekuasaannya.
Wah, sepertinya kok saya malah melantur, ndak jelas mau membahas apa. Tapi, bukankah serba tidak jelas itu adalah ciri khas Bangsa Indonesia saat ini?
Kembali pada pembicaraan sebelumnya, bahwa negara yang waras pasti akan serius memikirkan pendidikan rakyatnya. Sebab, rakyat yang terbebas dari belenggu kebodohan bisa menjadi kekuatan sejati sebuah bangsa. Pada generasi cerdas inilah ke depan kita bisa mewujudkan jargon yang sedang ramai diperdebatkan, “Bela Negara”.
Menurut saya, bela negara bisa lebih masuk akal jika dilakukan oleh anak-anak muda yang cerdas, menguasai teknologi, bisa menggunakan nalar dan logika dengan benar serta terbiasa berpikir obyektif dalam melihat persoalan.
Jadi, kalau akhir-akhir ini dikabarkan akan ada mobilisasi massa yang dimaksudkan sebagai bela negara ala militer, tentu ini menjadi lucu.
Upaya tersebut nampaknya berangkat dari paradigma warga negara kelas satu yang seolah paling tahu tentang bagaimana negara ini.
Tanpa bermaksud merendahkan tentara kita, tapi melatih rakyat baris berbaris, memberi mereka dengan pelatihan ala militer, atau melakukan indoktrinasi ala P4 Orde Baru, itu merupakan kemunduran di tengah iklim keterbukaan informasi ini.
Silakan saja tentara membela negara dengan jalannya. Karena memang mereka diberi senjata dan pelatihan-pelatihan seperti itu untuk bela negara dalam pengertian “pertempuran” atau “peperangan”.
Tetapi, biarkan pula rakyat melakukan bela negara dalam porsi dan bidangnya masing-masing. Kalau pemerintah ingin memfasilitasi, lakukan dengan cara mencerdaskan generasi muda; penguatan sistem pendidikan.
Indonesia, negara yang begitu luas dengan berbagai kekayaan alam dan budayanya, hanya bisa diselamatkan oleh generasi masa depan yang cerdas. Mereka yang bisa menggunakan nalar serta logika dengan benar.
Generasi yang tak hanya mempelajari, namun juga menguasai ilmu pengetahuan. Singkatnya, generasi yang mempunyai wawasan seluas samudera dan siap berhadapan dengan berbagai tantangan di abad sekarang dan mendatang.
Persoalannya, apakah sistem pendidikan kita memiliki misi seperti itu? Sudahkah ia dirancang secara serius demi menghasilkan generasi yang benar-benar terdidik? Bukan generasi yang sejak kanak-kanak malah dibikin bingung oleh sekolahan?
Sekolah sejatinya berfungsi sebagai tempat pengembangan diri para siswa. Peran utama sekolah adalah mendidik anak-anak untuk mengolah cara berpikir mereka melalui metode-metode ilmiah yang bisa merangsang daya kritisnya.
Maka, sudah sepatutnya di sekolah mereka diajarkan untuk terus menerus mempertanyakan segala sesuatu dengan bebas dan terbuka. Sebab, bertanya adalah separuh dari kebenaran.
Dengan iklim pendidikan yang demikian, maka kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara kita tidak akan terus tertinggal. Dengan begitu pula, apa yang dimaksud dengan bela negara itu sudah terwujudkan. Dalam hal ini, bela negara bisa dimaknai sebagai: membela negara dalam bentuk memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.
Tapi jika kita cermati, dan berani mengambil resiko diserang oleh orang-orang yang mungkin salah paham, ada banyak kontradiksi yang menurut saya bisa jadi kontra produktif dalam dunia pendidikan (baca : sekolah) kita dewasa ini.
Yaitu bercampurnya budaya ilmiah dalam dunia akademik, dengan pengajaran agama yang bersifat doktrinal. Padahal, sistem ajar melalui pendekatan doktrinal seperti itu sangat berlawanan dengan tujuan pendidikan di sekolah. Khususnya sekolah-sekolah negeri milik negara.
Di satu sisi, semangat ilmu pengetahuan menuntut untuk mempertanyakan segala sesuatu, lalu menjawabnya dengan kajian-kajian keilmuan, riset serta penelitian. Sementara pelajaran agama di sekolahan, sangat jauh dari karakter tersebut.
Sistem ajarnya lebih mirip seperti pengajian atau dakwah di mesjid-mesjid, yang tentunya menyulitkan siswa untuk bebas berpikir, bertanya, mengkritik. Apalagi meminta bukti sebagaimana tuntutan ilmu pengetahuan. Yang ditonjolkan dalam pengajaran agama hanyalah soal bagaimana siswa harus percaya, beriman.
Ini baru satu hal tentang rancu dan kontradiksinya pengajaran agama di sekolah negeri, yakni soal metode yang berlawanan.
Masalah lainnya, sekolah yang seharusnya mengajarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang berpegang pada kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran yang telah teruji melalui metode yang sangat ketat, juga mengajarkan cara yang berkebalikan dengan prinsip ilmiah tersebut.
Sekolah seringkali menanamkan doktrin: yang terpenting adalah percaya dulu, baru kemudian diambil kesimpulan. Ini berbeda dengan metode ilmiah yang dalam mengambil kesimpulan cenderung sangat hati-hati, dan selalu berpijak pada metode yang rigid.
Persoalan berikutnya adalah doktrin siapa atau doktrin kelompok mana yang mau diajarkan pada anak didik di sekolah negeri. Tentu kita semua tahu, di Indonesia ini banyak sekali kelompok agama, dengan doktrin yang tentunya berbeda anta satu dengan yang lainnya.
Contoh yang mudah, dalam Islam bahkan soal amalan saja bisa mengandung banyak sekali perbedaan. Bahkan karena perbedaan soal amalan kecil saja, tak sedikit yang akhirnya saling mengkafirkan. Seperti soal Maulid Nabi, ziarah kubur dan doa qunut yang biasa dilakukan oleh kaum Nadhliyin.
Masalah akan tak terbendung ketika, misalnya, NU berkuasa secara politik, lantas memasukkan amalan-amalan tersebut menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Lalu, bagaimana dengan kalangan Islam lainnya yang tidak sepakat terhadap pandangan/amalan tersebut? Tentu saja mereka akan keberatan tho? Begitu juga sebaliknya.
Atau, bagaimana jadinya jika ada kelompok ekstermis yang berhasil menyusup ke dalam dunia pendidikan dan memasukkan ajaran mereka. Tetiba anak-anak diajarkan tentang keharaman memberi hormat pada bendera, atau tentang kewajiban mendirikan negara Islam, misalnya.
Masih banyak contoh lain yang bahkan lebih fundamental secara prinsip keagamaan, dan begitu ia diterapkan dalam kurikulum pendidikan, bisa menimbulkan permasalahan fatal. Sebab, sekolah negeri adalah kepanjangan tangan negara dalam soal mencerdaskan kehidupan berbangsa. Selain itu, negara harus netral. Negara harus menjaga jaraknya secara seimbang dengan semua agama/aliran kepercayaan yang tumbuh subur di wilayahnya.
Masalah lain terkait pelajaran agama ini adalah potensi diskriminasi yang dikandungnya. Bagaimana misalnya anak-anak non-Muslim yang akhirya memilih keluar kelas saat tiba pelajaran agama Islam. Sementara, sekolah tersebut adalah sekolah negeri, yang memang menampung siswa dari berbagai kalangan agama, bukan hanya Muslim saja.
Alih-alih menanamkan kebersamaan dalam perbedaan, sekolah justru memperjelas pembedaan dalam kasus pelajaran agama ini.
Apakah lalu saya akan mengatakan atau mengusulkan agar pemerintah menghapus pelajaran agama di sekolah negeri? Atau bahkan mungkin ada yang berpikir bahwa saya menganggap anak-anak tidak perlu belajar agama?
Bukan begitu. Bagi saya, pengetahuan tentang agama itu tetap penting. Sebab sepanjang sejarah kehidupan manusia, agama berperan sangat signifikan dalam membentuk peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa dunia.
Saya tidak minta pelajaran agama dihapus dari sekolah negeri, namun metode pengajarannya yang mesti diganti. Tidak lagi doktrinal layaknya dakwah-dakwah di pengajian.
Pelajaran agama harus berbasis pengetahuan. Metode yang dipakainya harus deskriptif: menjelaskan serta mengenalkan tentang agama dari perspektif ilmiah. Misal terkait sejarah perkembangannya, membahasnya dari sudut pandang sosiologi, antropologi, dsb.
Kalaupun masuk pada tema-tema terkait pandangan keagamaan, juga mesti dilakukan secara objektif, yakni menyajikan semua sumber yang ada, bukan semata mengacu pada keyakinan guru agamanya saja.
Dengan demikian, maka tidak akan terjadi kontradiksi dalam metode pengajaran di sekolah. Siswa tidak dididik sebagai generasi yang bingung. Sebab, sekolah mengajarkan mereka cara berpikir yang obyektif melalui metode ilmiah.
Lalu bagaimana dengan doktrin-doktrin agama? Kalau bukan sekolah, lantas siapa yang mengajarkan?
Ya, tentu pengajaran agama itu adalah wilayah keluarga dan lingkungan. Ada yang namanya Taman Pendidikan Alquran (TPA) buat yang masih anak-anak, atau ikut pengajian-pengajian tertentu sesuai afiliasi keagamaannya masing-masing, atau masuk pondok pesantren bagi mereka yang memang serius ingin belajar agama. Bagi yang Kristen atau lainnya, bisa masuk sekolah swasta Katolik/Kristen, dst.
Pengajaran doktrin agama bukan tugas sekolah (negeri). Negara tidak boleh terlalu masuk pada ruang iman warga negaranya, meskipun melalui jalur pendidikan sekolah. Negara justru harus hadir untuk memastikan semua warga negaranya bisa bebas melaksanakan keyakinannya, sebab itu juga merupakan perintah konstitusi.
Dengan cara demikian, dalam hemat saya, orang atau masyarakat tidak akan mudah lagi terprovokasi sebuah ceramah yang menyebarkan kebencian dan berita-berita yang tidak benar dari para pemuka agama yang sampai hari ini begitu bersemangat menyebarkan syiar kebencian. Masyarakat tidak mudah mengkafirkan pihak lain hanya karena mendengar ceramah atau membaca situs abal-abal berlabel Islami.
Guru agama juga musti mengubah paradigma, bukan lagi seperti juru dakwah atau ulama yang musti dituruti segala pendapatnya, tetapi layaknya akademisi yang memberi muridnya khazanah kekayaan wacana.
Sebagai penutup, saya mau mengutip Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 :
Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Entah undang-undang ini masih berlaku atau sudah diubah seiring pergantian kurikulum. Tapi, setidaknya bisa kita saksikan bersama, betapa bijaknya para pembuat undang-undang itu. Semua sifat baik dalam tujuan pendidikan nasional mereka tuangkan dalam undang-undang tersebut. Sebenarnya masih kurang sedikit, yaitu rajin menabung dan suka membantu orang tua.[]