Home » Gagasan » Pembaruan » Gosip Pemurtadan Itu

Gosip Pemurtadan Itu

5/5 (1)

Hari Sabtu, 16 April 2004, saya bersama Ulil Abshar-Abdalla menghadiri acara bedah buku “Ada Permutadan di IAIN” karya Hartono Ahmad Jaiz, seorang alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Diskusi buku sedianya hendak dilangsungkan di gedung teater Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah. Tapi karena para pengunjung berjejal, maka secara mendadak acara dipindahkan ke mesjid dengan harapan dapat menampung para peserta yang menyentuh angka satu ribuan itu. Hartono Ahmad Jaiz pun sebagai penulis buku turut dihadirkan dengan didampingi seorang wahabi fanatik, Ahmad Tamimi.

Diskusi dimulai secara berurutan oleh presentasi Hartono, saya sendiri, Ulil Abshar, dan terakhir Tamimi. Kecuali Tamimi yang banyak mengamini karya Hartono itu, maka saya bersama Mas Ulil memberikan kritik terhadap buku tersebut.

Ada beberapa hal yang saya sampaikan. Pertama, gaya bertutur Hartono dalam buku itu sungguh tidak memikat. Dia menggunakan vokabuler yang vulgar, provokatif, bahkan cenderung kasar di dalam mengomentari sejumlah tokoh yang tidak sehaluan dengan dirinya. Misalnya, penempelan kata “jompo” untuk Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid.

Padahal, tanpa menggunakan kata itu sebenarnya pesan yang hendak dia sampaikan tak akan defisit. Bahkan, Hartono tidak segan-segan menguliti sejumlah intelektual Muslim hingga pada ruang-ruangnya yang pribadi dan fisikal; sesuatu yang mestinya tidak dilakukan oleh orang yang beradab. What a pity.

Kedua, ia menuduh bahwa di IAIN telah terjadi pemurtadan secara sistematis melalui kurikulum yang disiapkannya. Padahal, yang sebenarnya berlangsung bukanlah pemurtadan, melainkan sejenis pluralisasi penafsiran terhadap kitab suci.

IAIN hanya menghidangkan beragam tafsir hasil racikan para ulama, baik yang klasik maupun yang kontemporer, yang progresif dan konservatif. IAIN tidak hanya mengajarkan teologi Asy’ari, tapi juga Mu`tazilah. Bukan hanya madzhab Syafi’i, tapi juga madzhab-madzhab lain hingga merambah ke madzhab Ja’far al-Shadiq yang Syi’ah.

Para tenaga pengajarnya pun amat beragam. Di UIN (dulu IAIN) Jakarta misalnya, ada (Alm) Pak Harun Nasution, Munawir Syadzali (alm), Zainun Kamal, Kautsar Azhari, dll yang mewakili sayap progresif. Ada Ibu Huzaemah, Nabilah Lubis yang lebih mewakili kelompok konservatif. Dan kebanyakannya adalah kelompok moderat, seperti Quraish Shihab, Said Aqiel Munawar, Masykuri Abdillah, Azyumardi Azra, dan lain-lain.

Namun, apa hendak dikata, orang setingkat Pak Quraish pun oleh Hartono dimasukkan sebagai intelektual yang nyeleneh. Hartono mendaftar tidak kurang dari 26 intelektual Muslim di Indonesia yang tergolong nyeleneh itu.

Ketiga, buku itu banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam atau apa yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah berupa pluralisme, keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Nilai-nilai Islam yang terpatri demikian jelas dalam Islam itu seakan tidak menjadi perhatian Hartono ketika menulis.

Oleh karena itu, maka wajar saja sekiranya konten buku itu banyak berseberangan secara sharahah dengan Alquran, kitab referensi paling pokok dalam Islam. Misalnya, jika Alquran sebagaimana dalam al-Ma`idah ayat 5 memperbolehkan umat Islam menikahi kalangan ahl al-kitab, maka Hartono datang dengan jumawa untuk mengharamkannya.

Keempat, buku itu menunjukkan bahwa penulisnya kurang melakukan pengembaraan terhadap sejumlah kitab-kitab fikih karya para ulama terdahulu. Ia hanya mengambil beberapa kutipan dari satu-dua ulama. Dan hanya kepada kutipan-kutipan itu, Hartono berjangkar sepenuhnya dan dengan sembrono pasase kecil itu dipakainya untuk memvonis pikiran-pikiran keislaman lain yang berbeda.

Maka, karuan saja jika ia–dan para pendukungnya yang sengaja dihadirkan dalam acara bedah buku–cukup terkaget (mungkin marah) ketika sejumlah teks liberal-tidak mainsrteam dari kitab kuning semacam I’anah al-Thalibin karya Syatha al-Dimyathi, Ihya` ‘Ulum al-Din-nya Abu Hamid al-Ghazali, dibacakan. Disini saya hanya hendak menyatakan bahwa tafsir itu tidak tunggal dan monolitik.

Apa yang ditulis Hartono tentang pemurtadan di IAIN itu, pada hemat saya, tak lebih dari sebuah koleksi gosip atau rumor belaka ketimbang sebuah buku dalam pengertiannya yang hakiki. “Buku” itu ditulis sonder perhatian yang memadai perihal pentingnya validitas dan akurasi data.

Semoga di masa-masa yang akan datang Mas Hartono bisa menghadirkan buku-buku buah tangannya dengan disksi yang relatif terjaga dan terpilih, lebih bermutu, santun, dan beradab, serta–jangan lupa—lebih memikat dan mencerahkan.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.