IslamLib – Islam dapat ditinjau dari berbagai aspeknya. Namun belakangan, pandangan tentang Islam dipersempit pada aspek-aspek tertentu saja. Akibatnya, horison pemahaman Islam tampak sangat terbatas dan menyesakkan. Bagaimana itu terjadi, berikut perbincangan Novriantoni Kahar dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), dengan KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Arjawinangun, Cirebon.
Kang Husein, sebagai seorang kiai yang mengasuh pesantren, aspek-aspek apa saja dari Islam yang selama ini Anda ajarkan kepada para santri?
Saya pernah mengaji kitab kecil, namanya al-Arba’in al-Nawawiyah. Di situ ada hadis yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril, ketika menanyakan tentang Islam, iman, dan ihsan. Dari situ, saya merangkum adanya 3 aspek besar Islam. Pertama, aspek ideologi, akidah atau tauhid. Kedua, aspek hukum atau syariah; ini adalah aspek eksoteris Islam. Ketiga, ihsan, atau aspek tasawuf; aspek esoterisnya. Ketiganya menunjukkan sebuah bangunan Islam.
Jadi, di Islam ada yang disebut tauhid, akidah, atau kepercayaan kepada yang gaib-gaib. Tapi kepercayaan ini menuju kepada Tuhan. Untuk menuju kepada Tuhan, ada cara yang disebut syariah; yang perhatiannya pada hal-hal yang praktis.
Ini adalah media pembantu untuk mengarahkan kita kepada aspek lain yang lebih lanjut, yaitu aspek ihsan. Jadi ini adalah contoh keluasan Islam yang kalau kita elaborasi lebih jauh, kita akan menyimpulkan banyak sekali hal-hal yang bisa dikembangkan dalam Islam.
Bisa cerita tentang penjabaran berbagai aspek Islam itu dalam mata pelajaran di pesantren Anda?
Untuk tauhid, kita belajar kitab Aqidatul Awwam, yang bicara mengenaiwujud Tuhan, sifat-sifat Tuhan. Saya kira, buku ini memakai pendekatan rasional. Juga kitab Kifayatul Awwam, Nurudz Dzalam,dan lain-lain. Tapi karena audiensnya para santri pemula, maka penjelasan-penjelasannya sangat sederhana. Tapi kalau kita mengkaji lebih jauh, maka ini adalah aspek-aspek rasionalitas yang luar biasa di dalam Islam.
Yang kedua, aspek syariah. Aspek ini diwujudkan dalam interpretasi-interpretasi ulama dalam bentuk fikih. Dan ini banyak sekali dipelajari di pondok pesantren. Kitabnya yang terkenal adalah Fathul Qarib, Fathul Mu’in,dan Fathul Wahab. Sementara aspek ketiga Islam terbagi dalam dua kategori. Ada tasawuf akhlaqi atau yang membahas soal moralitas yang terukur. Tapi intinya adalah kejujuran, keikhlasan, dan berkata benar.
Ada juga tasawuf irfani yang lebih tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita tidak ingin dipuji, atau jikapun dipuji tidak pernah berubah, dan bila dicaci maki juga tak pernah berubah. Semuanya adalah untuk Allah.
Kitab tasawuf yang paling fenomenal dan selalu menjadi kajian pesantren adalah Ihya ‘Ulumiddin. Saya kira kitab ini juga bisa dibagi dalam beberapa bidang: rub’ul ibadat, rub’ul ilmi, munziyat, dan lain sebagainya. Itu adalah aspek-aspek Islam yang paling tinggi.
Tapi tak semua orang mendapat pelajaran Islam secara komprehensif. Belakangan muncul corak Islam yang mementingkan aspek akidah saja; membenarkan sesuatu yang dianggap benar secara akidah meski bersifat destruktif terhadap kemanusiaan. Bagaimana ini?
Saya kira itu karena pemahaman akidahnya sangat teosentris. Dan pandangan itu kemudian dihubungkan dengan ego dirinya sendiri. Mereka selalu mengatasnamakan Tuhan, sehingga penafsiran terhadap aspek-aspek Islam tidak dihubungkan dengan kerangka kemanusiaan.
Jika Tuhan mengatakan bahwa ada orang kafir, mereka bersegera ingin menyingkirkan karena dianggap berlawanan dengan akidah tauhid. Padahal kalau ditafsirkan secara lebih mendalam, itu menunjukkan bahwa manusia di hadapan Allah adalah sama dan beragam. Karena itu, tidak boleh ada kesombongan antara yang satu dengan yang lain.
Ketika orang mengatakan bahwa dia lebih tinggi daripada orang lain, sebetulnya ia telah melangkahi aspek tauhid yang benar. Karena itu, saya kira kita memerlukan penerjemahan yang baru atas aspek akidah. Pertama perlu ditegaskan bahwa ajaran-ajaran Tuhan adalah untuk manusia. Jadi ketika disebut kita harus mengabdi pada Tuhan, menurut saya di situ sudah ada aspek kemanusiaannya.
Bagaimana menerjemahkan agama untuk kemanusiaan itu dalam bentuk fikih yang berorientasi pada kemanusiaan?
Saya kira pendekatan ini sudah muncul dalam pandangan-pandangan Imam al-Ghazali di Ihya ‘Ulumiddin. Aspek-aspek formal di dalam fikih diberi makna-makna.yang terdalam, makna esoteris. Al-Ghazali sebetulnya ingin memadukan antara dua aspek Islam: yang eksoterik dan esoteris, dan mengantarkan kepada aspek yang lebih jauh nantinya, yaitu aspek yang esoteris.
Misalnya salat. Salat tidak hanya tindakan dan ucapan seperti yang kita tahu dalam fikih, tapi diberi makna-makna, misalnya ketundukan pada Allah. Itu kemudian diharapkan memunculkan etos “tanha `anil fakhsya’i walmunkar”.
Salat mestinya terefleksikan dalam kehidupan dengan tidak melakukan hal-hal yang buruk, al-fakhsya’, dan sesuatu yang diingkari, al-munkar. Sesuatu yang diingkari itu menurut saya adalah kegiatan merendahkan orang lain, merugikan, baik dari sisi ekonomi, pribadi, termasuk juga sisi identitas-identitas kultural yang ada. Jadi semuanya harus ditundukkan pada Allah, semua adalah ciptaan Allah, sehingga refleksi-refleksi sosialnya adalah bentuk-bentuk kemanusiaan.
Kang Husein bisa menjabarkan lebih lanjut bagaimana aspek eksoterik Islam itu diimbangi oleh aspek esoterisnya?
Saya teringat pernyataan seorang Imam Besar, yaitu Imam Malik: “Man tafaqqaha walam yatashawwaf, faqad tafassaq. Waman tashawwafa walam yatafaqqah fazandaq. Waman tashawwafa watafaqqah faqad tahaqqaq.”
Artinya, barangsiapa yang hanya melakukan satu ibadah formal tanpa ada ruh dari ibadah itu, maka dia bisa menjadi fasik. Artinya formalitas saja. Sepanjang formalitas itu benar secara hukum, maka dia lakukan. Seakan-akan tidak ada lagi yang salah. Padahal secara ruhani, dia bisa saja telah melakukan kesalahan. Tapi karena formalitasnya yang dilihat, maka dia bebas.
Lalu, barangsiapa yang mengikuti aspek-aspek esoteris saja tanpa ada aspek formalitasnya, maka sulit dibuktikan kebenarannya, karena tidak bisa dilihat orang. Karena itu, yang paling ditekankan oleh Imam besar itu adalah kedua-duanya harus muncul pada setiap tindakan. Jadi dia melakuakn secara formal, tapi formalitas itu juga harus diisi dengan ruh.
Dari ungkapan itu ada tiga tingkatan orang. Ada pembacaan teks secara lahiriah, kemudian ada logika, dan setelah itu ada hikmah. Nah, yang ketiga ini sebetulnya yang ingin dituju orang. Sehingga Islam tidak hanya bersifat formal, dan juga tidak hanya bersifat rasional, tapi juga bersifat kearifan, kebijaksanaan. Ini yang kita sebut dengan aspek esoteris dalam dunia pesantren.
Banyak sekali ayat Alquran yang berbicara bahwa Rasul diberi kitab dan hikmah atau kematangan spiritual dalam menghadapi persoalan-persoalan umatnya. Anda bisa memberi gambaran bagaimana kitab dan hikmah itu dapat menjadi dua kutub Islam yang indah?
Alquran maupun kitab suci-kitab suci itu sengaja diturunkan pada manusia dalam kerangka memberi petunjuk agar manusia menghargai ciptaan-ciptaan Allah dengan sebaik-baiknya. Alquran sendiri juga menyatakan bahwa kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi itu adalah rahmat bagi semesta alam.
Dalam masyarakat pesantren, rahmatan lil’alamin itu bukan hanya kasih sayang pada manusia, tapi juga pada alam. Karena semuanya adalah ciptaan Allah dan semuanya bisa memberi manfaat bagi manusia. Nah dari situ, saya kira Alquran dan kitab suci-kitab suci harus diterjemahkan oleh manusia untuk melahirkan relasi atau sikap hidup bersama yang saling berkasih sayang, saling mencintai di dalam masyarakat.
Ada pernyataan Alquran yang saya kira perlu dielaborasi lebih dalam. Misalnya “inna khalaqnakum min dzakarin wauntsa waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu. inna akramakum ‘indallahi atqakum.” Nah, kalimatlita’arafu ini menarik bagi saya. Dalam pandangan yang eksoteris, harfiah, ayat ini dipahami sangat dangkal, yaitu hanya mengenal, mengetahui nama, siapa saya dan sebagainya.
Tapi istilah ta’aruf itu sebenarnya jauh lebih mendalam daripada sekedar mengenal, tapi juga bagaimana masing-masing orang memahami bahwa Tuhan menciptakan perbedaan disamping semuanya punya keinginan dan kehendak yang sama. Semua ingin diperlakukan secara baik, mendapatkan kasih sayang antara yang satu dengan yang lain.
Jadi saya kira, hubungan antara kitab suci Alquran dengan hikmah tadi sebetulnya muncul di dalam kata ‘arafa atau ta’aruf tadi. Arif billah, atau orang yang mengetahui Tuhan adalah inti hikmah. Dalam terminologi sufisme, semuanya bermuara ke situ. Ma’rifatullah adalahpuncak dari segala perjalanan spiritual manusia untuk akhirnya tahu bahwa semuanya ciptaan Allah.