Home » Gagasan » Pembaruan » Memahami Multitafsir Islam

Memahami Multitafsir Islam

4.5/5 (2)

Wajah gerakan dan pemahaman Islam di Indonesia semakin tampak beragam bersamaan dengan proses liberalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagian di antara mereka ada yang fundamentalis, yang memperjuangkan Islam sebagai dasar berkehidupan secara formal-skriptural. Tetapi tidak sedikit yang moderat, yang memperjuangkan secara substantif nilai Islam melalui jalur kultural seperti pendidikan dan dakwah.

Hanya saja, bersamaan dengan berkembangnya ragam penghayatan dan gerakan Islam juga muncul sikap-sikap keberagamaan eksklusif yang cenderung menghakimi kelompok lain. Yang lebih memprihatinkan lagi, sikap seperti itu justru ditampilkan oleh kalangan Islam mainstream.

Ada panafian terhadap asusmsi bahwa ragam gerakan Islam bukan sebagai sebuah proses dinamis-dialektik antara pemahaman agama dengan realitas sosial yang terus berubah. Acap kali muncul tuduhan terhada suatu gerakan keagamaan sebagai penyimpangan dan ancaman terhadap stabilitas kehidupan keislaman.

Seperti yang sering kita saksikan, adanya sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam menilai pemahaman orang lain sebagai penyimpangan dan penyesatan akidah. Tidak jarang pula mereka menvonis kafir dan menghalalkan darah sesama umat sendiri. Lebih dari itu, mereka meminta kepada pemerintah untuk membekukan seluruh kegiatan gerakan yang dianggap menyimpang itu.

Gejala seperti itu mengisyaratkan tidak akomodatifnya muslim ortodoks –demikian Martin Van Bruinessen menyebutnya- terhadap gerakan Islam minoritas. Dan ini berarti secara hegemonik telah terjadi monopoli tafsir kebenaran. Islam ortodoks tidak menyadari bahwa munculnya gerakan baru merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap keberagamaan dan institusi agama lama yang telah “mapan”.

Rupanya, dalam masyarakat kita telah tertanam kesadaran bahwa beragama yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang telah diwariskan oleh para pendahulunya. Keberagamaan tidak dilihat sebagai proses pencarian menuju kebenaran yang sejati. Keberagamaan juga tidak dikaitkan dengan proses dialogis antara pemeluk agama dengan multikulturalitas yang mengitarinya.

Perlu ditegaskan bahwa timbul dan tenggelamnya gerakan keagamaan minoritas merupakan gejala yang normal di masyarakat mana pun, dan kehadiran mereka mempunyai fungsi yang berguna dalam sebuah dunia sedang berubah dan masa transisi. Di samping itu, gerakan minoritas biasanya lebih efektif menanamkan nilai-nilai moral di kalangan anggota mereka ketimbang kelompok-kelompok keagamaan mainstream.

Memang, secara sosiologis sebagian dari gerakan-gerakan baru dalam agama –sebagaimana dicirikan Milton Yinger dalam Religion, Society and the Individual (1975)-cenderung memilih eksklusif, menutup diri dari lingkungan sosial, hubungan antaranggota sangat rekat, militan dan berbeda dengan corak keberagamaan mayoritas.

Sikap keberagamaan ini sedikit banyak akan mempengaruhi keseimbangan sosial yang diciptakan oleh budaya keagamaan mayoritas yang telah mapan. Atas dasar sikap keberagamaan seperti itu, aliran Islam minoritas dituduh menyimpang dari ajaran agama Islam dan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.

Ragam artikulasi

Dalam konteks itulah pentingnya kaum muslim melihat doktrin Islam tentang keragaman dan kebebasan artikulasi beragama. Alquran secara tegas mengritik sikap arogan dan intoleran terhadap tafsir orang lain dalam kalimat berikut: “Bagi setiap kelompok mempunyai tujuan, ke sanalah ia mengarahkannya, maka berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan.

Di mana pun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah berkuasa atas segalanya”. (Q.S. al-Baqarah/2:148). “Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia di bumi seluruhnya, apakah engkau akan memaksa manusia hingga semuanya beriman?” (Q.S. Yunus: 99).

Islam sangat menghargai perbedaan pemahaman dalam beragama. Pemahaman itu tetap memiliki peluang kebenaran dan keselamatan. Jangankan pengakuan terhadap perbedaan pemahaman dalam satu agama (Islam), dalam Alquran (Q.S. Al-Baqarah/2: 62) diisyaratkan adanya keselamatan dalam setiap agama.

Munculnya multitafsir keagamaan, selain dilandasi oleh semangat teologis dan tafsir atas teks agama juga sebagai respons terhadap perubahan sosial. Pluralitas pemahaman keagamaan merupakan sunnatullah yang tak mungkin terbantahkan dan mustahil pula kita lawan dan hindari. Yang bisa kita lakukan terhadapnya adalah menghargai, mengakui dan mensyukuri.

Oleh karena itu, kita mengutuk segala tindakan kekerasan terhadap kelompok keagamaan minoritas. Kekerasan atas nama monopoli kebenaran yang mengabaikan pluralitas harus ditentang. Pentakfiran, intimidasi dan penghakiman terhadap aliran minoritas hendaknya dihentikan. Kecuali bila ada bukti bahwa kelompok minoritas ini benar-benar mengganggu tatanan sosial, seperti melakukan tindakan destruktif.

Barang kali penting untuk dikemukakan bahwa tidak mengakui keberadaan suatu paham/aliran keagamaan, sama saja dengan tidak menghargai hak asasi manusia. Keberadaan suatu aliran keagamaan tidak memerlukan pengakuan dari sebuah institusi apapun, termasuk institusi keagamaan.

Seiring dengan itu, dalam sejarahnya pelarangan terhadap berbagai aliran keagamaan dalam kenyataannya tidak efektif. Sebab, hal ini menyangkut keyakinan pribadi seseorang. Keyakinan tidak mungkin ditaklukkan dengan kekuasaan atau kekuatan mayoritas.

Hal ini merupakan prinsip kebebasan ekspresi keagamaan atau penafsiran terhadap ajaran agama. Pemaksaan dalam hal agama adalah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri dan secara diametral juga bertentangan dengan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka.

Menganut paham keagamaan yang berbeda dengan faham mayoritas umat Islam merupakan hak yang harus dihormati. Dalam Islam, keberagamaan menuntut ketulusan. Kata “Islam” sendiri berarti tulus dan pasrah. Ini hanya mungkin bila ada kebebasan untuk menerima atau menolak, faham keagamaan lain.

Oleh karena itu, setiap bentuk pengurangan dan pembatasan terhadap ekspresi keberagamaan atau kemerdekaan beragama, sedikit atau banyak akan menimbulkan kemunafikan, yang justru mengurangi nilai keislaman itu sendiri.

Islam adalah agama yang memberikan kebebasan kepada para pemeluknya untuk memahami dari berbagai sisi. Ini menggambarkan keluasan Islam yang memungkinkan untuk menampung berbagai produk penafsiran dan pemahaman.

Ibarat sebuah supermarket, di dalamnya terpampang berbagai jenis produk makanan, pakaian, peralatan dan lain-lain. Pengunjung yang masuk ke dalamnya bebas memilih dan menentukan produk apa yang ia kehendaki. Bila pengunjung menghendaki informasi tentang satu jenis produk bisa ditanyakan kepada ahlinya yang ada di tempat itu.

Begitu juga gambaran tentang Islam saat ini dengan segala produk tafsirannya. Mari kita sadari bahwa kini telah terpampang produk tafsir keislaman yang beragam, baik dalam aksi maupun pemikiran. Hal ini meniscayakan umat Islam untuk secara mandiri bebas memilih tafsir mana yang ia suka.

Dengan kata lain, hadirnya multitafsir menuntut umat Islam untuk beragama secara “swalayan”. Yakni, keberagamaan yang dilandasi oleh kemandirian, kebebasan dan tanpa paksaan menentukan pilihan terhadap satu produk penafsiran. Tetapi, tentu saja kesukaan terhadap satu pilihan tidak selayaknya disertai dengan penghinaan dan perusakan terhadap pilihan yang lain.

Beragama secara swalayan memungkinkan terwujudnya harapan bahwa perbedaan tafsir keagamaan akan menjadi ladang dialog konstruktif, kreatif dan saling memperkaya pengalamanengetahuan.

Juga dapat mengantarkan umat kepada sikap untuk saling memahami. Bukan sebaliknya, perbedaan sebagai lahan untuk menyuburkan konflik dan saling menyesatkan. Beragama secara swalayan menjanjikan suatu keberagamaan yang egaliter, humanis dan kompetitif dalam kebaikan di tengah hamparan multi produk penafsiran.

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.